Pertumbuhkan Ekonomi yang Tidak Inklusif Akan Melemahkan Potensi Pertumbuhan Masa Depan

Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies).

JAKARTA, investor.id – Direktur IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies) dan Staf Pengajar FEUI (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) Yusuf Wibisono menilai, pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif akan melemahkan potensi pertumbuhan di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan.

Yusuf mencontohkan fenomena “mantab” atau “makan tabungan” di kelas bawah dan menengah, terlihat jelas dari rata-rata simpanan mereka yang semakin kecil.

“Secara umum, semakin kaya kelas atas, semakin tinggi tabungan mereka dan semakin rendah konsumsi mereka. Sebaliknya, semakin miskin kelas bawah, semakin rendah tabungan mereka karena digunakan untuk bertahan hidup, sesuatu yang kita sebut makan tabungan. Dengan sebagian besar masyarakat adalah kelas bawah dan menengah, maka tertekannya konsumsi mereka akan menekan pertumbuhan ekonomi,” kata Yusuf kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (5/5/2024).

Sejak pandemi, kata dia, terlihat pola yang konsisten, pangsa tabungan kelas atas meningkat tajam dan pangsa tabungan kelas bawah semakin terpuruk.

Kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi.

Yusuf berharap ada respon kebijakan pemerintah yang harus ditempuh untuk memperbaiki hal ini untuk memperkuat kebijakan redistribusi pendapatan, baik melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan upah minimum.

Kegagalan reformasi perpajakan, yang diindikasikan oleh angka tax ratio yang stagnan satu dekade terakhir di kisaran 10% dari PDB, membuat redistribusi pendapatan dari kelas atas ke kelas bawah – menengah menjadi berjalan lamban.

Hal ini diperburuk dengan kebijakan upah minimum yang sangat konservatif dibawah UU Cipta Kerja sehingga menekan daya beli kelas buruh.

Menurut dia, dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal dan perpajakan yang komprehensif agar redistribusi pendapatan dan penguatan daya beli kelas bawah dan menengah dapat berjalan progresif.

“Penguatan daya beli kelas bawah dan menengah ini akan semakin progresif jika diikuti juga dengan reformasi kebijakan pengupahan yang mengizinkan kelas buruh menikmati kenaikan upah diatas tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Tidak Inklusif

Secara umum, Yusuf menilai pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir cenderung semakin tidak inklusif dan tidak berkelanjutan. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan semakin menurun sehingga terlihat semakin tidak berkelanjutan.

Antara 2015-2024, sambung dia, pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5% per tahun, lebih rendah dari 10 tahun sebelumnya, periode 2005-2014, yang mencapai kisaran 6% per tahun.

Lebih jauh, pertumbuhan ekonomi semakin tidak inklusif seiring dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja, kemiskinan dan kesenjangan yang semakin rendah. Bila pada 2013 investasi senilai Rp 1 triliun dapat menyerap hingga 4.594 tenaga kerja, maka pada 2023 investasi senilai Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 1.285 tenaga kerja.

Dengan penciptaan lapangan kerja yang terbatas, penurunan kemiskinan berjalan lambat. Bila pada 2015 angka kemiskinan di level 11,22%, maka di 2023 turun moderat di 9,36%.

Di daerah sentra nikel, seperti Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, angka kemiskinan justru semakin memburuk pascahilirisasi tambang. Lebih jauh, konsentrasi kekayaan oleh kelompok kaya terlihat semakin menguat.

“Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diatas 5%, adalah krusial bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. Tak heran bila di awal naik tampuk kekuasaan pada 2014 Presiden Jokowi menetapkan target tinggi untuk pertumbuhan ekonomi, yaitu 7% per tahun,” katanya.

Narasi dan gagasan besar pembangunan dari Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang dinilainya belum mampu mentransformasi perekonomian dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir ini.

Dalam 10 tahun terakhir, ketika Indonesia menikmati bonus demografi sejak 2012 dengan periode puncaknya pada 2020 – 2030, pertumbuhan ekonomi justru semakin turun.

Pada 2005-2014, kata dia, di era Presiden SBY, rerata pertumbuhan ekonomi kita 5,8%, dan jika tidak diperhitungkan periode krisis global 2008 mampu mencapai 5,9%.

Namun pada 10 tahun terakhir, pada 2015-2024, di era Presiden Jokowi, rerata pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya di kisaran 4,2%. Andaipun jika dikeluarkan periode pandemi 2020-2021, rerata pertumbuhan ekonomi tetap diperkirakan hanya akan di kisaran 5,1%, jauh dari target 7%, dan bahkan lebih rendah dari periode Presiden SBY.

Strategi Reindustrialisasi

Untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lanjut dia, membutuhkan strategi reindustrialisasi yang lebih dari sekedar pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang.

“Strategi pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang yang digencarkan pemerintah belum mampu mentransformasi ekonomi dan mengakselerasi pertumbuhan . Dengan pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang yang demikian gencar , pertumbuhan ekonomi masih stagnan di kisaran 5%,” katanya.

Kegagalan memanfaatkan bonus demografi berakar dari lemahnya pendalaman industri, bahkan sejak 2000-an kita mengalami gejala deindustrialisasi. Industri manufaktur adalah sektor penting yang menciptakan lapangan kerja secara luas dengan pendapatan tinggi.

“Lemahnya sektor industri dan rendahnya kualitas angkatan kerja membuat bonus demografi tidak memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi. Kita terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah (middle-income trap),” katanya.

Daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi, adalah gejala struktural yang mengkonfirmasi middle- income trap.

“Jantung permasalahan dari middle- income trap ini adalah lemahnya kapabilitas inovasi industri nasional, yang berujung pada rendahnya produktivitas bangsa. Deindustrialisasi adalah indikator yang paling jelas menunjukkan kelemahan industri nasional kita yang hingga kini masih mengandalkan industri padat karya tradisional sebagai komoditas ekspor utama seperti tekstil dan alas kaki, serta industri berbasis sumber daya alam seperti minyak sawit (CPO),” katanya.

Pemerintahan era Presiden Jokowi berupaya menahan deindustrialisasi dan berusaha membalikkannya menjadi reindustrialisasi  melalui kebijakan hilirisasi tambang. Namun kebijakan ini belum mendorong inovasi karena sangat mengandalkan modal dan teknologi asing tanpa terlihat upaya berarti untuk mendorong transfer teknologi dan kemampuan domestik.

Dalam kasus hilirisasi nikel, lanjut dia, bergantung secara berlebihan pada kekuatan pasar global, yang seringkali hanya memanfaatkan sumber daya alam yang murah dan pasar domestik yang besar melalui proteksi di tengah sistem politik berbiaya mahal.

Hal ini membuat perubahan struktural berjalan lambat dan tidak menghasilkan keunggulan komparatif. Hilirisasi nikel berhenti pada produk setengah jadi, tanpa pendalaman industri yang berarti. Indonesia terus menjadi negara konsumen, paling jauh hanya mampu merakit, tidak pernah mampu mencipta. Struktur industri masih terus dangkal.

Kesenjangan Ekonomi

Untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkualitas, sambung dia, satu indikator terpenting yang akan menjamin pertumbuhan ekonomi berkualitas dan memberi dampak kesejahteraan pada masyarakat adalah kesenjangan ekonomi.

Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi namun kesenjangan juga tinggi, maka pertumbuhan hanya akan memberi manfaat bagi si kaya dan tidak banyak bermanfaat bagi si miskin.

Saat ini misalnya, dapat dilihat dari tren menurunnya optimisme konsumen terutama di segmen konsumen kelas bawah. Menurut Yusuf  terkait dengan semakin melemahnya daya beli konsumen kelas bawah, hal ini mengindikasikan kesenjangan yang semakin meningkat.

Kecenderungan semakin lemahnya daya beli kelas bawah dan meningkatnya kesenjangan ini telah terlihat secara konsisten pascapandemi. Dengan indikator gini rasio saja, yang berbasis tingkat pengeluaran per kapita penduduk, tingkat kesenjangan  sudah menunjukkan peningkatan meski masih moderat.

Namun bila digunakan indikator lain yang berbasis pendapatan masyarakat, misal data tabungan dan simpanan masyarakat di perbankan, tingkat kesenjangan kita amat mengkhawatirkan.

Dengan indikator jumlah simpanan masyarakat di perbankan, terlihat terjadi fenomena “makan tabungan” di kelas bawah dan menengah, sedangkan kelas atas tidak mengalami hal ini, bahkan tabungan mereka terus menggelembung. Pascapandemi, kekayaan kelas atas meningkat jauh lebih cepat dibandingkan kelas bawah dan menengah.

Pertumbuhan kekayaan kelas atas yang jauh lebih tinggi dari kelas bawah dan menengah ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar: kekayaan si kaya tumbuh jauh lebih cepat dari si miskin.

“Ini adalah pola umum perekonomian terutama pascapandemi. Pola pertumbuhan ekonomi yang seperti ini, terjadi karena pemulihan ekonomi sangat didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas,” katanya.

Pemulihan ekonomi pascapandemi banyak didorong kondisi eksternal, terutama pulihnya negara mitra dagang utama dan kenaikan harga komoditas seperti batu bara dan sawit, serta pulihnya sektor keuangan dengan cepat dan kini pulihnya sektor transportasi dan pariwisata seiring berakhirnya pandemi dan tidak adanya lagi pembatasan mobilitas masyarakat.

“Dengan pola pemulihan seperti demikian, maka manfaat pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati kelas atas. Implikasinya, kualitas pertumbuhan rendah dan penanggulangan kemiskinan berjalan lambat,” pungkasnya.

Sumber :https://investor.id/macroeconomy/pertumbuhkan-ekonomi-yang-tidak-inklusif-akan-melemahkan-potensi-pertumbuhan-masa-depan