MEDIAINDONESIA, JAKARTA – DATA Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat 9,9 juta penduduk usia 15-24 tahun tanpa kegiatan (youth not in education, employment, and training). Penduduk usia 15-24 Ialah penduduk usia muda yang merupakan usia produktif dan sebagian besar merupakan gen Z yang lahir pada 1997-2012.
“Ini cermin kegagalan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas dan menjadi peringatan atas gelombang pengangguran di masa depan,” ujar Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, Minggu (19/5).
Selain itu, sekitar 10 juta penduduk usia 15-24 tahun yang tidak sekolah dan tidak pula bekerja mencapai sekitar 22,3% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional. Sebanyak 5,7 juta orang di antara mereka ialah perempuan dan 4,2 juta sisanya laki-laki.
“Dengan tidak bersekolah dan tidak juga bekerja, 10 juta penduduk usia muda ini tergolong tenaga kerja produktif yang tidak terberdayakan. Dapat disebut serupa dengan pengangguran terbuka,” imbuhnya.
Hal ini, kata Yusuf, tentu mengkhawatirkan, karena menggambarkan besarnya jumlah angkatan kerja kita yang tidak produktif. Karenanya,ini menjadi beban atau tanggungan orang lain.
Besarnya jumlah penduduk usia muda yang tidak bersekolah dan tidak bekerja mengindikasikan dua hal. Pertama, mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya kualitas SDM. Kedua, sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai bagi tenaga kerja tidak terdidik/terlatih.
Fenomena besarnya penduduk usia muda yang tidak bersekolah dan tidak bekerja ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita cenderung tidak inklusif dan tidak berkelanjutan. Dalam 10 tahun terakhir, antara 2015-2024, pertumbuhan ekonomi kita semakin menurun, hanya di kisaran 5% per tahun, lebih rendah dari 10 tahun sebelumnya, periode 2005-2014, yang mencapai kisaran 6% per tahun.
Lebih jauh, pertumbuhan ekonomi semakin tidak inklusif seiring dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja, kemiskinan, dan kesenjangan yang semakin rendah. Bila pada 2013 investasi senilai Rp1 triliun dapat menyerap hingga 4.594 tenaga kerja, pada 2023 investasi senilai Rp1 triliun hanya mampu menyerap 1.285 tenaga kerja.
Dengan dampak investasi dan pertumbuhan ekonomi pada penciptaan lapangan kerja yang terbatas, penurunan kemiskinan berjalan lambat. Bila pada 2015 angka kemiskinan di level 11,22%, di 2023 turun moderat di 9,36%.
“Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di atas 5%, ialah krusial bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. Namun dua periode pemerintahan Presiden Jokowi ialah dekade kutukan pertumbuhan 5%. Narasi dan gagasan besar pembangunan dari Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur, dan hilirisasi tambang gagal mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir ini,” kata dia.
Dalam 10 tahun terakhir, lanjutnya, ketika Indonesia menikmati bonus demografi sejak 2012 dengan periode puncaknya pada 2020-2030, pertumbuhan ekonomi kita justru semakin melemah. Pada 2005-2014, di era Presiden SBY, rerata pertumbuhan ekonomi 5,8% dan jika tidak perhitungkan periode krisis global 2008 mampu mencapai 5,9%.
Namun pada 10 tahun terakhir, pada 2015-2024, di era Presiden Jokowi, rerata pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,2%. Andaipun dikeluarkan periode pandemi 2020-2021, rerata pertumbuhan ekonomi tetap diperkirakan hanya akan di kisaran 5,1%, bahkan lebih rendah dari periode Presiden SBY.
Kegagalan memanfaatkan bonus demografi berakar dari rendahnya kualitas angkatan kerja dan lemahnya pendalaman industri, bahkan sejak 2000-an Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dini. Industri manufaktur ialah sektor penting yang menciptakan lapangan kerja secara luas dengan pendapatan tinggi. Lemahnya sektor industri dan rendahnya kualitas angkatan kerja membuat bonus demografi tidak memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi kita.
“Kita terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah (middle-income trap). Daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi ialah gejala struktural yang mengkonfirmasi middle income trap. Hingga kini kita masih mengandalkan industri padat karya tradisional sebagai komoditas ekspor utama seperti tekstil dan alas kaki serta industri berbasis sumber daya alam seperti minyak sawit (CPO),” tandasnya. (Z-2)
Sumber :https://mediaindonesia.com/ekonomi/672055/banyak-pemuda-menganggur-ekonomi-pemerintahan-jokowi-lebih-rendah-daripada-sby