Ekonom Ideas Ungkap Kelemahan Tapera yang Memicu Penolakan Pekerja dan Pengusaha

Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Selasa 4 Juni 2024. Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera. TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO.COJakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menanggapi program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Program yang berpijak pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2024 ini mendapatkan banyak kritik dan penolakan.

“Kebijakan yang bertujuan menghimpun dan memupuk dana pembiayaan pembangunan perumahan rakyat itu lahir dari kecenderungan semakin mahalnya harga rumah. Sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat,” kata Yusuf kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin malam, 3 Juni 2024.

Namun langkah pemerintah memaksa para pekerja untuk menabung dengan cara memberlakukan pungutan wajib Tapera kurang tepat sehingga menuai penolakan keras dari pekerja sekaligus pengusaha. “Ada banyak alasan yang melatari hal ini,” tutur dia.

Yusuf juga merespons akselerasi pembangunan 1 juta unit rumah. Menurut dia, beberapa kebijakan fundamental untuk akselerasi 1 juta unit rumah rakyat per tahun ini—yang krusial—setidaknya ada lima hal utama. Pertama, dukungan anggaran yang memadai dan dikembalikannya Kementerian Perumahan Rakyat. Sejak penggabungan Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat, pembangunan perumahan rakyat menjadi cenderung terabaikan.

“Kalah dari gemuruh pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi,” kata dia.

Alasannya, alokasi anggaran pembangunan perumahan rakyat selalu minimalis. Termasuk untuk subsidi perumahan rakyat yang hanya di kisaran 250 ribu unit. Kedua, komitmen penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat, terutama di daerah perkotaan dengan lahan terbatas. Dengan pemberian kemudahan dan insentif, biaya pembangunan rumah rakyat dapat ditekan. “Dukungan penuh dari pemerintah daerah mutlak dibutuhkan di sini,” ucap dia.

Ketiga, dia menjelaskan, komitmen meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat, harus diikuti dengan komitmen meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan subsidi, pembebasan Kredit Pemilikan Rumah (PPN), hingga kemudahan akses pembiayaan perbankan menjadi krusial di sini. Keempat, revitalisasi badan usaha milik negara atau BUMN untuk akselerasi pembangunan perumahan rakyat, terutama Perumahan Nasional, PLN, dan PDAM untuk jaminan pasokan listrik dan air bersih.

“Di saat yang sama, dibutuhkan dukungan dari developer swasta terutama melalui kewajiban pembangunan rumah murah,” kata dia. Terakhir, mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) perbankan nasional. Suku bunga KPR di Indonesia saat ini masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Bila suku bunga KPR di Singapura hanya di kisaran 3 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 6 persen, maka di Indonesia di kisaran 10 persen,” ujarnya.

Menurut dia, dengan suku bunga KPR tinggi dan umumnya bersifat floating, maka peminjam KPR selain dibebani biaya yang sangat mahal, juga beresiko tinggi bila terjadi kenaikan suku bunga di masa depan. Menurut dia, kredit rumah yang sangat mahal dan beresiko tinggi inilah salah satu penyebab utama tingginya angka backlog.

“Menjadi krusial bagi pemerintah dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mengarahkan perbankan agar menurunkan tingkat keuntungan mereka dan terus menurunkan suku bunga KPR serta membuatnya bersifat semakin flat,” ucap Yusuf.

Perihal Tapera, Yusuf menjelaskan, kebijakan pemerintah mewajibkan memotong gaji sebesar 3 persen dari semua pekerja, baik PNS, TNI dan Polri, pegawai Badan Usaha Milik Negara atau BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hingga pegawai swasta dan pekerja mandiri, secara umum memiliki tujuan baik. Yaitu mendorong kepemilikan rumah oleh masyarakat terutama kelas bawah.

Dorongan itu diharapkan akan menghapus backlog—kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah. Secara sederhana ini adalah kebijakan “tabungan wajib” untuk kepemilikan rumah. Di mana 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen dibayar pemberi kerja. Masalahnya, saat ini pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan berbagai potongan untuk bermacam program.

Misalnya potongan pada iuran jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan atau jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun, hingga cadangan pesangon.

“Tambahan potongan untuk Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha,” kata Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi Islam dan Bisnis Islam FEUI pada 2013-2015 itu.

Dia juga menilai, waktu pelaksanaan program Tapera sangat buruk. Pasca Undang-Undang Cipta Kerja, kenaikan upah buruh sangat rendah. Bahkan tak mampu sekadar mengimbangi inflasi. Dengan daya beli dan kesejahteraan yang semakin menurun dalam empat tahun terakhir dibawah rezim UU Cipta Kerja, maka pemotongan gaji pekerja untuk Tapera akan semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah.

Lebih jauh, kata Yusuf, kebijakan ini juga akan menambah beban da memperburuk daya saing pengusaha. Tanpa kebijakan ini saja daya saing pengusaha banyak yang sudah lemah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan. Menurut dia, pemerintah sebaiknya membatalkan kebijakan potongan untuk Tapera ini dan berfokus pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen keluarga Indonesia menuju zero backlog.

“Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18 persen keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga. Inilah angka backlog kita,” ucap staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.

Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1875855/ekonom-ideas-ungkap-kelemahan-tapera-yang-memicu-penolakan-pekerja-dan-pengusaha