JAKARTA, investor.id – Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono mengatakan, untuk melipatgandakan pendapatan masyarakat menuju status negara maju pada 2045, Indonesia membutuhkan transformasi ekonomi ke sektor bernilai tambah tinggi, terutama industri manufaktur.
Namun, dia belum melihat langkah yang cukup meyakinkan ke arah perubahan struktur perekonomian. Untuk mencapai Indonesia emas pada 2045, Indonesia membutuhkan industrialisasi yang masif, dengan kontribusi industri manufaktur pada Produk Domestik Bruto atau PDB setidaknya di kisaran 30%.
“Namun kondisi kita saat ini justru sebaliknya, yaitu mengalami deindustrialisasi. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB justru terus menurun dari kisaran 27% pada 2005 menjadi kini hanya di kisaran 19% pada 2023,” kata Yusuf kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (18/6/2024).
Struktur ekonomi Indonesia terlihat dari komposisi barang ekspor, karena ia secara langsung menunjukkan daya saing perekonomian. Dilihat dari struktur ekspor, struktur ekonomi Indonesia hari ini tidak banyak berbeda dibandingkan 5 dekade yang lalu.
Pada tahun 1970-an, ekspor utama adalah komoditas yaitu, minyak dan gas bumi. Di era tahun 1980-an dan 1990-an, ekspor utama adalah barang industri manufaktur ringan berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti kayu lapis, tekstil, garmen dan alas kaki.
Kini, di era 2020-an, ekspor utama masih barang industri manufaktur berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti batu bara, minyak sawit, tekstil dan produk logam dasar. “Dapat dikatakan, dalam 3-4 dekade terakhir, tidak ada pendalaman industri nasional kita,|” katanya.
Gelombang kejatuhan pabrik-pabrik tekstil yang masif belakangan ini menurut Yusuf merupakan bukti nyata dari puncak permasalahan industri manufaktur terutama industri padat karya. Hal ini semakin menguat dalam satu dekade terakhir, yaitu daya saing yang semakin melemah.
Faktor utama kejatuhan industri padat karya adalah permintaan yang semakin melemah, tidak hanya dari pasar ekspor namun juga dari pasar domestik. Lemahnya permintaan pasar membuat banyak pabrik beroperasi jauh dibawah kapasitasnya sehingga biaya produksi menjadi sangat tidak efisien.
Di saat yang sama, industri padat karya di pasar ekspor harus menghadapi kerasnya persaingan dari produsen asing terutama dari China dan juga Vietnam dan Bangladesh, yang harga produknya sangat kompetitif.
Hal ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan impor sehingga penyelundupan barang impor termasuk produk industri padat karya adalah marak, sehingga proteksi terhadap industri domestik melalui hambatan tarif dan non tarif tidak efektif.
“Akibatnya, pasar domestik industri padat karya kita juga tergerus signifikan. Daya saing industri padat karya kita menurun drastis baik di pasar ekspor maupun domestik,” jelasnya.
Kondisi industri padat karya ini sebenarnya menggambarkan kondisi sektor industri manufaktur secara keseluruhan.
Hingga kini, seperti terlihat pada langkah pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja, upaya menarik investasi mengandalkan kemudahan merekrut dan melepas buruh secara murah, insentif perpajakan dan kemudahan penguasaan tanah.
Sementara itu, negara lain telah jauh bergerak menarik investasi dengan keunggulan kompetitif seperti kualitas SDM, keunggulan birokrasi dan adopsi teknologi tinggi melalui investasi R & D yang masif. Indonesia masih terus mengandalkan lahan dan upah buruh murah untuk menarik investasi.
Dalam 7 tahun terakhir Indonesia menarik investasi besar di sektor pertambangan dan industri pengolahan logam, atas nama hilirisasi tambang, namun itu semua diatas biaya insentif perpajakan yang sangat besar, kemudahan penguasaan tanah hingga kebebasan merekrut buruh termasuk buruh asing. UU Cipta Kerja mengukuhkan iklim investasi berbasis upah buruh dan biaya lahan murah.
Disisi lain, pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur dalam PDB terus menurun, dari kisaran 27% pada 2005 kini hanya di kisaran 19% pada 2023.
Padat Karya
Di era 1990-an, investasi di Indonesia didominasi oleh investasi di sektor industri manufaktur, terutama industri padat karya berorientasi ekspor.
Pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB mencapai puncaknya pada 1997, dan setelah kejatuhan akibat krisis kembali pulih di 2000-an. Namun setelah itu, pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun hingga kini, dari kisaran 27% dr PDB pada 2005 menjadi hanya kisaran 19% dr PDB pada 2023.
Deindustrialisasi dini ini ditandai melemahnya daya saing industri manufaktur khususnya industri padat karya, sehingga pasca era 2000-an investasi perlahan mulai meninggalkan industri padat karya, kecenderungan ini menguat dalam 10 tahun terakhir.
Hal ini yang menjelaskan mengapa investasi kini semakin lemah menyerap tenaga kerja. Bila pada 2013 setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap 4.594 tenaga kerja, maka pada 2023 setiap Rp 1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.28t tenaga kerja.
Investasi di industri padat karya kini didominasi oleh Vietnam, Bangladesh, dan India. Indonesia semakin dipandang tidak kompetitif dimana biaya produksi cenderung semakin mahal. Ketika terjadi perang dagang China – Amerika Serikat, yang mendapat limpahan berkah adalah Vietnam, bukan Indonesia.
Relokasi industri padat karya dari China lebih memilih Vietnam, bahkan sebagian pelaku industri padat karya di Indonesia sudah mulai ikut melakukan relokasi ke Vietnam, Bangladesh, Srilangka, dan sebagian pelaku industri padat karya lainnya melakukan relokasi domestik dari Jabodetabek ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor non tradable yang secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri padat karya seperti investasi di sektor properti dan pergudangan (logistik).
Sedangkan investasi yang masuk ke sektor tradable umumnya bukan masuk ke industri padat karya namun ke industri ekstraktif seperti pertambangan dan industri pengolahan hilirisasi tambang, yang secara umum bersifat sangat padat modal, dan bahkan masih juga mengambil banyak tenaga kerja dari asing seperti investor dari China.
Masalah turunnya daya saing industri padat modal sebenarnya tidak hanya dialami Indonesia, yang membedakan adalah respon kebijakan nya.
Di era 1980-an, Indonesia mulai menerima banyak investasi di industri padat karya, berpuncak di 1990-an, hal yang sama terjadi di China, kini daya saing industri padat karya menurun, tergerus oleh negara lain dengan upah buruh yang lebih murah seperti Vietnam, Bangladesh dan Srilangka, begitupun hal yang sama terjadi pada China.
Namun respon Indonesia adalah berusaha “mempertahankan” industri padat karya “at all cost“, antara lain dengan UU Cipta Kerja. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak memiliki industri andalan lain hingga kini selain industri padat karya untuk menampung tenaga kerja yang berlimpah.
Sedangkan China membiarkan industri padat karyanya yang tidak mampu bertahan dengan upah yang kini tinggi, untuk relokasi ke negara lain dengan upah murah, karena tenaga kerja mereka telah bertransformasi ke industri yang lebih padat modal dan padat teknologi.
China telah beralih ke industri yang lebih padat modal dan padat teknologi sebagai hasil jangka panjang dari strategi transfer teknologi, peningkatan kualitas SDM dan kebijakan R & D yang komprehensif.
Pendalaman struktur industri yang masif memungkinkan China untuk tetap dapat menyediakan lapangan kerja yang luas bagi angkatan kerjanya yang berlimpah. Strategi pendalaman struktur industri serupa di dekade-dekade sebelumnya juga telah dilakukan oleh Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Hal ini tidak terjadi di Indonesia.
Indonesia terlalu lama terbuai dengan keunggulan upah buruh murah dan lalai menyiapkan transformasi dan pendalaman struktur industri.
“Kita tak mampu menyiapkan SDM terlatih dan gagal melakukan transfer teknologi sehingga tak mampu beralih ke industri yang lebih padat modal dan padat teknologi. Dan kini kita dengan sederhana menyalahkan upah buruh yang mahal sebagai penyebab turunnya daya saing investasi dan deindustrialisasi,” pungkasnya.
Sumber :https://investor.id/macroeconomy/ideas-ri-butuh-industrialisasi-yang-masif-untuk-menuju-indonesia-emas-2045