Mengapa Tapera Dinilai Tumpang-Tindih

KORANTEMPO, JAKARTA – KEBIJAKAN iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera ditentang pengusaha dan buruh. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI) kompak menolak Tapera lantaran dinilai tumpang-tindih dengan program penyediaan rumah lainnya yang dibuat pemerintah.

Kamis siang, 6 Juni 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh berdemo menolak penarikan iuran Tapera di area Patung Kuda Arjuna, Jakarta Pusat. Presiden Partai Buruh dan KSPI, Said Iqbal, mengatakan pemerintah semestinya menentukan lebih dulu jenis program Tapera, apakah termasuk jaminan sosial, tabungan sosial, atau bantuan sosial.

“Karena pemerintah menyebutkan dana Tapera adalah tabungan, seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa,” kata Said. Karena itu, dia menilai tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar-peserta, seperti halnya tabungan sosial dalam program Jaminan Hari Tua (JHT), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengingatkan pemerintah untuk memahami tantangan terbesar dalam sektor perumahan rakyat, yaitu besarnya angka backlogBacklog adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat dan jumlah rumah yang tersedia.

Yusuf menuturkan sebanyak 82 persen masyarakat sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Dengan demikian, hanya 18 persen keluarga Indonesia yang terkategori belum memiliki rumah. Namun, dengan jumlah rumah tangga 67 juta, 18 persen keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan 12,7 juta rumah tangga.

Jika ingin menghapus backlog 12,7 juta rumah pada 2045, dengan tambahan permintaan rumah sekitar 750 ribu unit per tahun, Yusuf berujar, Indonesia membutuhkan pasokan rumah rakyat setidaknya 1,3 juta unit per tahun. Sedangkan pasokan rumah rakyat saat ini hanya di kisaran 250 ribu unit per tahun. Karena itu, dibutuhkan sejumlah perubahan fundamental untuk pembangunan perumahan rakyat ini.

Adapun backlog sebesar 12,7 juta unit rumah sebagian besar berasal dari kelas terbawah, dengan daya beli yang sangat rendah. Dengan skema pembiayaan kepemilikan rumah sesederhana dan seringan apa pun, Yusuf menilai kelompok bawah akan selalu sulit dan tidak mampu memiliki rumah.

Untuk menurunkan angka backlog, Yusuf menyarankan pemerintah memberikan subsidi bunga kredit (SBK) perumahan dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) perumahan. Pemerintah juga harus serius mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR perbankan nasional yang masih sangat tinggi, serta membuatnya bersifat semakin flat.

Di tengah sejumlah kritik terhadap kewajiban pekerja swasta dan mandiri mengiur untuk Tapera, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Ketua Komite BP Tapera Basuki Hadimuljono mengatakan ada kemungkinan pelaksanaan program Tapera akan diundur. “Kami dengan Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) agar dipupuk dulu kredibilitasnya. Ini masalah trust (kepercayaan), sehingga kami undur ini sampai 2027. Menurut saya pribadi, kalau memang ini belum siap, kenapa harus tergesa-gesa,” katanya, kemarin.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/488732/tapera-dan-bpjs-ketenagakerjaan