Minta Program Tapera Dibatalkan, Ekonom Ideas: Tata Kelola Dana Publik oleh Pemerintah Buruk

Nasabah tengah melihat rumah tinggal pada layar komputer di Bank BTN, Jakarta, Jumat, 18 September 2020. Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) memastikan program Tapera bisa mulai berjalan pada awal 2021. Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.COJakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan kebijakan program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera mendapatkan penolakan dari publik yang keras. Penolakan itu tak hanya dari pekerja, tapi juga dari pengusaha.

Dia menyebutkan penolakan tersebut dilatari berbagai problem. “Pertama, karena kebutuhan terhadap pembiayaan perumahan ini tidak dialami semua pekerja,” kata Yusuf kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin malam, 3 Juni 2024.

Menurut dia, sebagaian besar masyarakat atau sekitar 82 persen sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Hanya sekitar 18 persen keluarga Indonesia masuk kategori belum memiliki rumah.

Adanya program Tapera ini, sebagian besar pekerja akan merasa dirugikan jika diwajibkan membayar iuran dalam waktu panjang. Apalagi menghadapi ketidakpastian tentang jumlah dana yang akan mereka terima di masa depan. “Kedua, tata kelola pengelolaan dana publik oleh pemerintah selama ini buruk, sehingga kepercayaan publik rendah,” ujar dia.

Pemberlakuan Tapera kembali ditetapkan pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Menurut Yusuf, pengalaman dari program serupa sebelumnya, yaitu program Badan Pertimbangan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum PNS). Tak sedikit peserta yang setelah pensiun mengalami kesulitan mengambil dana tabungan mereka.

“Bahkan dalam beberapa tahun terakhir publik melihat kasus-kasus mega korupsi yang melibatkan puluhan triliun rupiah dana publik hilang di Jiwasraya, Asabri, dan Taspen,” tutur dia.

Ketiga, penolakan yang terjadi saat ini karena pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan potongan yang banyak untuk berbagai program. Misalnya, potongan iuran jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan atau jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun, hingga cadangan untuk pesangon.

“Tambahan potongan untuk Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha,” ucap staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu.

Menurut dia, kebijakan pemerintah mewajibkan memotong gaji sebesar 3 persen dari semua pekerja, baik PNS, TNI dan Polri, pegawai badan usaha milik negara atau BUMN dan badan usaha milik daerah (BUMD), hingga pegawai swasta dan pekerja mandiri. Secara umum memiliki tujuan baik, yaitu mendorong kepemilikan rumah oleh masyarakat terutama kelas bawah, bahkan dalam jangka panjang diharapkan akan menghapus kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah.

Secara sederhana hal itu merupakan kebijakan “tabungan wajib” untuk kepemilikan rumah dengan 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen dibayar pemberi kerja. Jika tidak digunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, maka dana “tabungan” akan dikembalikan di akhir masa kepesertaan. Namun, penolakan atas program Tapera menguat setelah beberapa pengalaman masyarakat atas pengelolaan program serupa di masa sebelumnya. “Timing dari kebijakan ini sangat buruk,” kata Yusuf.

Yusuf menjelaskan, setelah adanya UU Cipta Kerja, kenaikan upah buruh sangat rendah. Bahkan tak mampu sekadar mengimbangi inflasi. Dengan daya beli dan kesejahteraan yang semakin menurun dalam empat tahun terakhir di bawah rezim UU Cipta Kerja, maka pemotongan gaji pekerja untuk Tapera akan semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah. Lebih jauh,  dia berujar, kebijakan ini akan menambah beban dan memperburuk daya saing pengusaha.

Dia mengatakan, tanpa kebijakan ini saja daya saing pengusaha banyak yang sudah lemah. Bahkan tak sedikit pengusaha mengalami kebangkrutan. Dengan berbagai problem itu, Yusuf berharap sebaiknya pemerintah membatalkan kebijakan potongan untuk Tapera tersebut. Dan berfokus pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen keluarga Indonesia menuju zero backlog.

Menurut Yusuf, dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18 persen keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga. “Inilah angka backlog kita,” kata Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi Islam dan Bisnis Islam FEUI pada 2013-2015 itu. “Tanpa terobosan kebijakan, mimpi pemerintah untuk mencapai zero backlog pada 2045 berpotensi besar gagal.”

Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1875701/minta-program-tapera-dibatalkan-ekonom-ideas-tata-kelola-dana-publik-oleh-pemerintah-buruk