MEDIAINDONESIA.COM, JAKARTA – UPAYA merger tiga bank BUMN syariah pada 2021 dinilai tak membuahkan hasil. Tujuan untuk menjadikan Bank Syariah Indonesia sebagai entitas syariah terbesar dunia juga dianggap sekadar angan.
Saat ini BSI menguasai hingga 40% dari total aset perbankan syariah nasional, dengan aset mencapai Rp358 triliun pada kuartal I 2024. Pesaing terdekatnya, Bank Muamalat dan CIMB Niaga Syariah, masing-masing hanya memiliki aset di kisaran Rp65 triliun.
Kondisi itu pada akhirnya melahirkan persaingan perbankan syariah yang tak kompetitif. Karenanya, pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu secepatnya melakukan langkah afirmatif untuk menghadirkan pesaing BSI yang kompetitif.
“Pemerintah selayaknya tidak lagi meneruskan ambisi menjadikan BSI sebagai salah satu bank syariah terbesar di dunia. Menjadikan BSI sebagai alat pencitraan dengan menjadikannya sebagai pemain utama di industri perbankan syariah global adalah langkah semu,” terang pengamat ekonomi syariah Yusuf Wibisono kepada Media Indonesia, Kamis (6/6) malam.
Indonesia dinilai tidak bisa menjadi pemain utama dalam industri perbankan syariah global dengan hanya bergantung pada satu entitas saja, yaitu BSI. “Ini adalah sesat pikir ketika kita menganggap bahwa ketika BSI masuk dalam 10 bank syariah terbesar dunia maka, Indonesia otomatis akan menjadi pemain utama di industri perbankan syariah global,” tambah Yusuf.
Untuk menjadi pemain global, lanjutnya, Indonesia harus memiliki industri perbankan syariah domestik yang besar, tidak bisa hanya mengandalkan pada satu pemain besar seperti BSI.
Jajaran 10 bank syariah terbesar dunia, seluruhnya dikuasai bank syariah dari Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Malaysia, Kuwait dan Bahrain. Ciri yang sama dari negara-negara tersebut ialah penetrasi perbankan syariah domestik yang sudah tinggi.
Bahrain, misalnya, memiliki market share perbankan syariah domestiknya telah di kisaran 15%, Uni Emirat Arab kisaran 20%, Qatar dan Malaysia telah di atas 30%, Kuwait di kisaran 40%, dan Arab Saudi bahkan di kisaran 70%.
Hal itu dinilai berbeda jauh dengan Indonesia yang market share perbankan syariah domestik hingga kini baru di kisaran 7%, serupa dengan Turki. Tidak heran, kata Yusuf, bila Indonesia dan Turki tidak memiliki pemain besar dalam industri perbankan syariah global, karena industri domestik terbilang kecil.
“Maka untuk menjadikan bank syariah kita sebagai pemain global, agenda kebijakan terpenting adalah membesarkan industri perbankan syariah nasional kita, yang setelah lebih dari 3 dekade dikembangkan sejak 1990-an hingga kini market share nya baru di kisaran 7%. Dengan industri domestik yang besar, secara alami kita akan memiliki pemain besar di industri perbankan syariah global, tidak hanya satu, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak,” jelas Yusuf.
Konsolidasi Prematur
“Saya menyayangkan konsolidasi industri perbankan syariah nasional kita yang dilakukan terlalu dini, di tahap ketika market share perbankan syariah masih sangat rendah, masih dibawah 7% dari aset industri perbankan nasional, semata demi mengejar ambisi memiliki pemain besar di tingkat global,” lanjutnya.
Kata Yusuf, langkah konsolidasi perbankan syariah, terutama oleh bank BUMN syariah yang merupakan pemimpin pasar, merupakan langkah yang kontraproduktif bagi perkembangan industri dan kemaslahatan umat. Pasalnya, merger tiga bank BUMN syariah, tidak berdampak ke market share industri perbankan syariah nasional sama sekali lantaran yang digabungkan seluruhnya adalah bank syariah.
Kebijakan merger tiga bank BUMN syariah juga terlihat sangat riuh namun sebenarnya tidak substantif, sekadar gimmick, dan tak membawa kemajuan bagi industri perbankan syariah nasional, yang market share-nya tetap kecil.
Lebih jauh, konsolidasi prematur di industri perbankan syariah telah mencegah bank syariah mendalami ceruk pasar yang spesifik dan menjadi besar dengan strategi spesialisasi bisnis. Konsolidasi prematur juga membatasi pilihan konsumen bank syariah, terlebih ketika sebuah bank syariah memiliki positioning dan core business yang unik dan telah tertanam kuat di benak konsumen.
Dalam kasus merger tiga bank BUMN syariah pada 2021, yang melahirkan BSI, industri perbankan syariah nasional juga telah kehilangan bank syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan mikro untuk usaha kecil yang melekat pada BRI Syariah.
Adapun saat ini seiring rencana spin-off BTN Syariah, Indonesia tidak boleh kehilangan bank syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan kepemilikan rumah, terutama KPR subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang melekat pada UUS BTN.
“Kebijakan terbaik disini adalah pemerintah mengkonversi BTN menjadi bank syariah untuk kemudian BTN Syariah melebur ke dalamnya. Atau setidaknya adalah BTN mengakuisisi bank konvensional untuk kemudian dikonversi dan digabung dengan BTN Syariah,” kata Yusuf.
Ke depan, seharusnya, bank BUMN syariah yang merupakan market leader di bidangnya masing-masing dibiarkan terus eksis dan diperkuat permodalannya, sehingga market share industri perbankan syariah bisa meningkat signifikan.
Dan untuk menciptakan bank syariah level global saat ini, imbuh Yusuf, selayaknya pemerintah mendorong pemain baru pendamping BSI. Langkah yang strategis menurutnya ialah konversi BTN menjadi bank syariah untuk kemudian BTN Syariah melebur ke dalamnya.
“Langkah ini akan mendongkrak market share perbankan syariah kita dari kisaran 7% saat ini menembus 10%, dengan di saat yang sama kita berpotensi memiliki wakil di jajaran 10 bank syariah terbesar di dunia. Hanya setelah itu baru kita bisa bicara ambisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri perbankan syariah global,” pungkas Yusuf.
Apresiasi untuk PP Muhammadiyah
Dia turut menyoroti perihal penarikan dana yang dilakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari BSI. Yusuf memberikan apresiasi atas langkah yang diambil dan dilakukan oleh Muhammadiyah.
Langkah Muhammadiyah itu juga selayaknya menjadi pengingat bagi pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar tidak terus menggantungkan reputasi perbankan syariah nasional pada BSI semata.
Keputusan Muhammadiyah menarik dana sekitar Rp13 hingga Rp15 triliun juga dapat memberikan dampak langsung maupun tak langsung kepada BSI.
“Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar kedua setelah NU dengan puluhan juta anggota. Sikap Muhammadiyah tidak hanya berpotensi diikuti oleh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) saja namun juga oleh puluhan juta anggota dan simpatisannya,” kata dia kepada Media Indonesia melalui keterangan tertulis, Kamis malam (6/6).
Karena itu, kata Yusuf, selayaknya BSI melakukan pendekatan khusus kepada Muhammadiyah agar dampak dari aksi Muhammadiyah ini dapat diminimalkan dan tidak berdampak negatif kepada BSI.
Kendati begitu, dia mengapresiasi Muhammadiyah yang akan memindahkan dana dari BSI ke beberapa bank syariah lain yang lebih kecil seperti Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat hingga BPR Syariah dan bahkan BMT (Baitul Maal Wa Tamwil). “Langkah ini menurut saya sangat positif untuk industri perbankan syariah yang lebih sehat dan dinamis,” ujar Yusuf. (Mir/Z-7)
Sumber :https://mediaindonesia.com/ekonomi/676585/pepesan-kosong-merger-bank-syariah-terbesar-dunia