Prabowo Disebut Perlu Naikkan Rasio Pajak hingga 12 Persen untuk Realisasikan Janji Politik

Presiden terpilih sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menemui Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Kamis, 13 Juni 2024. TEMPO/Daniel A. Fajri

TEMPO.COJakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, mengatakan presiden terpilih Prabowo Subianto perlu meningkatkan rasio pajak (tax ratio) di kisaran 12 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini perlu dilakukan jika Ketua Umum Partai Gerindra tersebut ingin merealisasikan seluruh janji politiknya.

Selama masa kampanye Pemilu Presiden 2024, Prabowo menjanjikan sejumlah program yang dinilai akan menelan biaya besar. Program-program itu yakni makan bergizi gratis, kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN), membuka sekolah unggulan termasuk menambah 300 fakultas kedokteran, hingga meningkatkan produktivitas pertanian.

“Presiden Prabowo akan menghadapi situasi yang semakin sulit karena janji politik yang harus dipenuhinya,” kata Yusuf saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan, dikutip Selasa, 25 Juni 2024.

Yusuf menuturkan, janji-janji politik Prabowo hanya bisa direalisasikan jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 memiliki tambahan ruang fiskal yang signifikan. “Dibutuhkan setidaknya tax ratio di kisaran 12 persen dari PDB,” kata dia. Namun, dia meyebut skenario ini sangat sulit, karena pemerintah dan DPR hanya berani menetapkan target rasio pajak 2025 di kisaran 10,0-10,2 persen dari PDB.

Tanpa adanya kenaikan rasio pajak yang signifikan, Yusuf menilai pelanjutan proyek warisan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus memenuhi janji politik Prabowo akan berimplikasi dua hal. Pertama, kenaikan utang pemerintah dan defisit anggaran. Kedua, pemotongan anggaran belanja tidak terikat (discretionary spending) seperti belanja infrastruktur atau belanja bantuan sosial.

Ketika pasar melihat sikap Presiden Prabowo yang cenderung permisif dengan utang, Yusuf menilai langkah ini segera dipandang sebagai sinyal meningkatnya risiko fiskal. Hal ini diperparah dengan niat Prabowo menaikkan rasio utang pemerintah yang kini di kisaran 38 persen menjadi kisaran 50 persen dari PDB,

“Dalam beberapa pekan terakhir ini kita melihat instabilitas nilai tukar Rupiah yang salah satunya dipicu oleh persepsi kenaikan risiko fiskal ini,” kata Yusuf.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan APBN 2024 tengah mengalami defisit Rp 21,8 triliun atau setara dengan 0,10 persen terhadap PDB pada Mei 2024. Defisit itu masih dalam kisaran aman dari target defisit 2024 yang sebesar 2,29 persen.

Per Mei 2024, pendapatan negara sebesar Rp 1.123,5 triliun atau turun 7,1 persen dibandingkan periode serupa tahun lalu. Sedangkan penerimaan pajak sebesar Rp 896,5 triliun atau turun 8,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

Penurunan pendapatan negara ini, kata Sri Mulyani, utamanya disebabkan harga komoditas yang melemah, sehingga penerimaan pajak berkurang.

“Kami terus melakukan langkah-langkah bersama kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah dari sisi transfer agar kita tetap menjaga prioritas pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, namun tidak membuat APBN menjadi sumber vulnerabilities,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers ‘Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan RAPBN 2025’ di Jakarta, Senin, 24 Juni 2024, seperti dikutip dari Antara.

Sri Mulyani menjelaskan, per 31 Mei 2024, realisasi pendapatan negara tercatat Rp 1.123,5 triliun. Sementara, belanja negara tercatat Rp 1.145,3 triliun. “Pada Mei ini primary balance kita masih surplus Rp 184,2 triliun. Ini masih sangat tinggi surplus dari primary balance.”

Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1883877/prabowo-disebut-perlu-naikkan-rasio-pajak-hingga-12-persen-untuk-realisasikan-janji-politik