Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah muslim terbesar, gerakan zakat yang berlangsung sejak lama dan dilakukan secara masif, serta kuatnya civil society menjadikan Indonesia sebagai salah satu role model global terpenting dan laboratorium zakat dunia terbesar. Gerakan zakat Indonesia kontemporer juga menjadi aktor penting dalam implementasi salah satu pilar utama sistem ekonomi Islam di negeri muslim terbesar di dunia.
Kiprah gerakan zakat Indonesia kontemporer di setiap episode perjalanannya, telah banyak mewarnai dan ikut merubah wajah filantropi Islam global. Gerakan zakat Indonesia kini telah membesar dan menjadi salah satu kapal besar kemanusiaan global yang signifikan tidak hanya di dunia Islam namun juga di seluruh dunia.
Namun dengan rekam jejak dan kontribusi yang luar biasa pada gerakan zakat Indonesia kontemporer, kelompok masyarakat sipil kini mendapat diskriminasi dan marjinalisasi oleh negara dalam pengelolaan zakat nasional melalui UU No. 23/2011.
Di bawah rezim UU No. 23/2011, LAZ yang merupakan organi-sasi pengelola zakat (OPZ) bentukan masyarakat sipil men-dapatkan diskriminasi dan marjinalisasi akibat pelaksanaan UU No. 23/2011. Hal ini kontras ketika UU memberi keistimewa-an yang luar biasa kepada OPZ bentukan pemerintah, yaitu BAZNAS. Ketika pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi amanat UU tanpa persyaratan apapun (Pasal 5 dan 15), di saat yang sama pendirian LAZ mendapat mendapat restriksi yang sangat ketat (Pasal 18).
UU No. 23/2011 berdiri diatas gagasan sentralisasi pengelola-an zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu BAZNAS (Pasal 5), dan mensubordinasikan serta memar-ginalisasikan LAZ di bawah BAZNAS yang statusnya sama-sama sebagai operator zakat nasional. Berdasarkan UU No.23/2011 eksistensi LAZ hanya sekedar membantu BAZNAS (Pasal 17), dan pendiriannya mendapat restriksi yang sangat ketat dan bahkan mematikan seperti ketentuan harus mendapat rekomendasi BAZNAS [Pasal 18 ayat (2) huruf c]. Pelaksanaan UU No. 23/2011 melalui peraturan pelaksanaan-nya, yaitu PP No. 14/2014, membuat marginalisasi dan per-lakuan diskriminatif terhadap LAZ terjadi semakin masif dimana perkembangan LAZ dibatasi dan dihambat, antara lain hak membentuk UPZ yang hanya diberikan kepada BAZNAS, ketentuan pembatasan pembukaan perwakilan LAZ di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta mekanisme pelaporan LAZ yang sangat berlebihan dan memberatkan.