TIRTO.ID, JAKARTA – Kebijakan swasembada pangan kembali digenjot dengan target capaian tiga tahun. Namun, langkah yang diambil tak jauh-jauh dari pembukaan lumbung pangan atau food estate. Cetak sawah juga direncanakan akan dilakukan seluas 3 juta hektare di luar Jawa. Fokusnya pada pada tanaman padi, jagung, singkong, kedelai, hingga tebu.
Presiden Prabowo juga berencana memodernisasi pertanian yang mencakup percepatan pembangunan infrastruktur pertanian, pemanfaatan teknologi pangan terpadu, mekanisasi, dan inovasi digital. Kebijakan lain seperti penyediaan input pertanian untuk mendapatkan pupuk, benih unggul, dan pestisida.
Namun, kondisi lapangan tak seideal seperti yang diinginkan pemerintah. Keadaan perekonomian petani yang semakin memburuk dan menyempitnya lahan pertanian di Indonesia seakan mencerminkan program pemerintah dalam satu dekade terakhir tidak banyak mengubah kondisi para petani.
Padahal, Indonesia berupaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 untuk mencapai kondisi yang mampu membangun sistem produksi pangan berkelanjutan dan menerapkan praktik pertanian tangguh serta meningkatkan produktivitas. Terlebih, target untuk mencapai ekosistem pertanian yang mampu menghadapi perubahan iklim dan cuaca ekstrem.
Anak Muda Enggan Bertani
Pada 2013 silam, sektor pertanian tercatat menyerap 39,22 juta tenaga kerja atau setara 34,78 persen terhadap total penyerapan tenaga kerja nasional, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka itu terjun bebas menjadi 38,7 juta tenaga kerja sektor pertanian atau 28,61 persen saja pada 2022. Ini menunjukkan minat pekerjaan sektor pertanian tengah mengalami kondisi yang mengkhawatirkan.
Hasil Sensus Pertanian 2023 merekam, jumlah usaha pertanian perorangan (UTP) turun sebesar 7,47 persen sepanjang 2013-2023. Dari 31,71 juta unit menjadi 29,34 juta unit. Utamanya dalam subsektor jasa pertanian (66,28 persen), perkebunan (14,82 persen), dan tanaman pangan (12,28 persen). Menggambarkan jumlah petani yang terus berkurang dalam jumlah masif.
Dalam 10 tahun, jumlah unit usaha pertanian turun sebanyak 2,35 juta unit, dari 31,72 juta unit usaha pertanian pada 2013, menjadi 29,37 juta unit usaha pertanian pada 2023.
Tidak hanya menyusut secara jumlah, masalah regenerasi juga terpotret dari Sensus Pertanian 2023. Proporsi petani berusia di atas 54 tahun menunjukkan peningkatan, sementara petani berusia di bawah 45 tahun menunjukkan tren penurunan dibanding sensus 10 tahun lalu.
Di lapangan, fenomena tersebut juga menjadi keluhan Bernadete Deram (55), petani bahan pangan lokal di Flores Timur.
Kakak Dete, panggilan Bernadete, menyebut para anak muda yang coba dia bimbing masih minim inisiatif. “Itu tantangan terbesarnya. Jadi kakak sedang membuka namanya Sekolah Lapang. Di situ ada beberapa murid (petani muda). Tapi itu mereka kesusahan, karena belum terbiasa (di lahan pertanian), padahal teorinya mereka sudah bagus, pintar,” ceritanya kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).
Kak Dete menilai, anak-anak bimbingannya saat ini masih minim minat terhadap sektor pertanian. Hal ini tergambar dari pasifnya mereka dalam mengolah lahan yang sebenarnya potensial. Padahal, menurutnya, di sekitar wilayah Lembata, Flores Timur, terdapat lahan dengan topografi yang bagus untuk bercocok tanam, hanya saja tak banyak orang yang mau mengelolanya.
Hal yang sama diungkapkan Muhammad Bayu Hermawan (26), petani muda yang merambah ke bisnis olahan Sorgum sejak tahun 2015, lewat produk di bawah merek ‘Tambiyaku’. Ia menyebut terdapat permasalahan menyeluruh terkait dengan anak muda yang ingin masuk sektor pertanian.
“Di lapangan sendiri kendalanya anak-anak muda yang bertani, kita tuh gak punya ekosistem sebenarnya. Ekosistem dalam artian, jika ingin menjadi petani, dia harus tau kan benih dan peralatannya beli di mana, sewa lahan bagimana, dan sebagainya,” cerita Bayu kepada Tirto, Selasa (4/2/2025).
Menurutnya, minimnya informasi dan besarnya modal ini jadi awal mula sulitnya anak muda untuk memulai menjadi petani.
Secara khusus, terkait lahan, Bayu juga menyebut akan sulit bagi anak muda untuk memiliki lahan. Namun, menurutnya, sebenarnya ada potensi besar dari lahan-lahan milik pemerintah daerah yang ‘nganggur’. Jika ada skema sewa atau bagi hasil yang terjangkau, tentu hal ini bisa menjadi peluang bagi anak muda untuk terjun ke sektor pertanian.
“Menurut saya masih banyak sih lahan-lahan BUMN, Perhutani, yang bisa digarap sama anak muda,” ujar dia.
Lahan Jadi Problem Besar
Seperti yang dikeluhkan petani yang mencoba menarik minat anak muda ke sektor pertanian, senjakala petani Indonesia semakin dipertebal dengan hilangnya lahan-lahan yang menjadi tempat mereka menggantungkan hidup. Bahkan, diperkirakan lahan pertanian pada daerah urban atau perkotaan menuju kepunahan.
Statistik Pertanian 2023 keluaran Kementerian Pertanian merekam data soal luas lahan pertanian antara tahun 2015-2019. Berdasar data tersebut, luas total lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2019 ada sekitar 36,82 juta hektare. Nilainya turun dibanding tahun 2015 yang mencapai 37,49 juta ha. Meski trennya konstan antara 2015-2019, namun lahan pertanian mengalami penurunan dalam periode tersebut.
Data statistik tersebut juga termasuk lahan yang sementara tidak diusahakan. Besarnya sendiri selalu mencapai 10 juta hektare, menunjukkan besarnya potensi lahan yang bisa digarap.
Senada, temuan Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) teranyar menunjukkan dalam 10 tahun terakhir, lahan sawah di Jawa – terutama di kawasan aglomerasi Jakarta – mengalami ancaman serius akibat urbanisasi yang tidak terkendali. Sepanjang 2013-2019, luas lahan baku sawah (LBS) nasional secara resmi berkurang 287 ribu hektare, dari 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,46 juta hektare pada 2019.
Sementara itu, LBS kawasan aglomerasi Jakarta (Jabodetabek, plus Cianjur, Karawang dan Serang) pada 2019 diketahui sekitar 374.582 hektare. Seluruhnya hampir terkonsentrasi di 6 kabupaten: Karawang (27,2 persen), Cianjur (18,0 persen), Bekasi (15,4 persen), Serang (13,2 persen), Bogor (12,3 persen) dan Tangerang (10,5 persen).
IDEAS menemukan pada 2024, luas lahan sawah kawasan aglomerasi Jakarta jadi tersisa 296.871 hektare. Dengan kata lain, antara 2019 – 2024 setidaknya 77.711 hektare sawah telah hilang di Jabodetabek Raya. Alias setara dengan tingkat konversi lahan sawah 4,54 persen per tahun. Dari 77.711 hektare lahan sawah yang diestimasi telah hilang sepanjang 2019 – 2024 di kawasan aglomerasi Jakarta, nyaris seluruhnya terjadi di 6 kabupaten sentra sawah.
Hasil ini didapatkan dengan metode digitasi tutupan lahan berbasis citra satelit dari Google Earth yang memiliki resolusi spasial tinggi. IDEAS melakukan proses interpretasi dan digitasi data citra satelit olahan secara on-screen untuk menghasilkan peta tutupan lahan (sawah).
Hilangnya 77.711 hektare lahan sawah di kawasan aglomerasi Jakarta membuat pangsa luas sawah terhadap luas wilayah kawasan aglomerasi menurun tajam dari 26,3 persen pada 2019 menjadi hanya 20,8 persen pada 2024. Penurunan intensitas luas sawah paling tajam terjadi di Bekasi, dari 46 persen pada 2019 menjadi 29,2 persen pada 2024.
Hanya dalam waktu lima tahun (2019-2024) Bekasi telah kehilangan 21.027 hektare sawah, setara dengan tingkat konversi lahan sawah 8,70 persen per tahun. Diikuti hilangnya lahan sawah di Cianjur (13.809 hektare), Bogor (12.956 hektare), Karawang (8.823 hektare), Serang (8.571 hektare) serta Tangerang (6.824 hektare).
Peneliti IDEAS, Sri Mulyani, dalam keterangan resmi yang diterima wartawan Tirto, Selasa, 3 Januari 2025, menyatakan kebijakan pemerintah yang menetapkan Jabodetabek-Punjur sebagai kawasan strategis nasional, justru diikuti oleh sejumlah proyek infrastruktur berskala besar. Langkah tersebut mempercepat urbanisasi dan memperluas konversi lahan sawah menjadi nonsawah.
IDEAS memperkirakan jika pemerintah tidak mengambil langkah signifikan untuk melindungi sawah yang tersisa, maka akan terjadi kepunahan sawah wilayah aglomerasi Jakarta dalam beberapa dekade ke depan. Dampaknya, bukan hanya keberadaan profesi petani semakin terancam, namun juga angan pemerintah yang hendak menuju ketahanan pangan, semakin menjauh.
Jika tidak ada kebijakan tegas pemerintah melindungi lahan sawah, maka dalam beberapa dekade ke depan, kawasan yang dahulu menjadi lumbung pangan di sekitar Jakarta akan kehilangan fungsi pertaniannya. Produksi padi juga akan mengalami pelemahan apabila tak ada ketegasan dalam menjaga lahan-lahan sawah.
“Laju pertumbuhan kota yang pesat, kebutuhan akan perumahan, industri, dan infrastruktur telah menyebabkan alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali. Di koridor timur, selatan, dan barat Jakarta, lahan sawah semakin tergerus, mengancam ketahanan pangan dan masa depan pertanian di kawasan ini,” kata Sri Mulyani.
Sumber: https://tirto.id/senjakala-petani-lahan-tergilas-dukungan-pemerintah-tak-jelas-g75V