‘Zakat Elektoral’, Tantangan Besar Tata Kelola Zakat

Oleh: Muhammad Anwar (Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Syariah STEI SEBI)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat hadir dengan semangat mengatur zakat sebagai instrumen penting pembangunan sosial-ekonomi dan penanggulangan kemiskinan dalam bingkai syariat Islam. Namun dalam praktiknya, implementasi UU ini berpotensi menciptakan terjadinya penggunaan dana zakat untuk kepentingan electoral (Zakat Elektoral) yang masif terutama di tingkat daerah, terutama karena desain kelembagaan BAZNAS Daerah yang mengikuti struktur pemerintahan daerah.

Tak dipungkiri, memang di lapangan juga ditemukan beberapa kasus dugaan zakat elektoral yang dilakukan oleh entitas pengelola zakat bentukan masyarakat yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Namun, berbeda dengan BAZNAS, praktik ini pada LAZ lebih bersifat sebagai moral hazard individual, bukan hasil dari sistem regulasi yang membuka celah seperti yang terjadi pada BAZNAS di daerah. Artinya, penyimpangan di LAZ lebih karena kelemahan pengawasan internal, bukan karena didorong oleh struktur kelembagaan yang memang memungkinkan terjadinya intervensi politik.

Sedangkan potensi zakat elektoral pada BAZNAS bersifat teregulasi. Artinya, peluang penyalahgunaan bukan terjadi karena kelalaian atau penyimpangan individu, tetapi justru dilegalkan melalui mekanisme hukum dan peraturan yang ada. Posisi BAZNAS Daerah sebagai bagian dari struktur pemerintahan daerah, dengan kontrol langsung oleh kepala daerah dan dukungan pembiayaan dari APBD, menjadikannya instrumen yang sangat rentan digunakan untuk kepentingan elektoral secara sistemik.

Secara yuridis, UU No. 23/2011 dan PP No. 14/2014 menempatkan kepala daerah sebagai aktor sentral dalam pengelolaan zakat. Mereka memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pimpinan BAZNAS daerah, sekaligus menjadi penentu utama dalam penetapan anggaran dan pengeluaran dana zakat melalui APBD. Kewenangan ini menjadikan posisi BAZNAS daerah sangat bergantung pada kekuasaan politik kepala daerah, baik dari sisi kelembagaan, pembiayaan, maupun penghimpunan dana yang sebagian besar berasal dari pemotongan gaji ASN secara otomatis.

Ketergantungan ini menimbulkan potensi besar penyimpangan fungsi zakat dari tujuan syariah menjadi alat elektoral. Contoh nyata dan terbaru terjadi di Jawa Tengah, di mana Gubernur menggunakan dana zakat dari BAZNAS Daerah untuk memberikan bantuan kepada kader partai dalam acara ulang tahun partainya. Ironisnya, di tengah praktik tersebut, gubernur yang sama menerima penghargaan sebagai tokoh pendukung gerakan zakat nasional. Praktik semacam ini bukan hanya mencederai prinsip-prinsip keadilan dan amanah dalam Islam, tetapi juga mengaburkan batas antara amal sosial dan kepentingan elektoral.

Masalah ini bukan kasus tunggal. Sejak diberlakukannya UU No. 38/1999 dan kemudian digantikan oleh UU No. 23/2011, fenomena politisasi zakat oleh kepala daerah semakin marak. Banyak daerah secara agresif menerbitkan Perda Zakat yang mewajibkan pembayaran zakat kepada BAZNAS, khususnya dari ASN, dengan dalih legalitas formal namun sering kali bermuatan politis. Dalam praktiknya, distribusi dana zakat dapat diarahkan untuk mengonsolidasi basis massa kepala daerah dan memperkuat jaringan politik menjelang pemilu.

Secara syariah, selama pengelolaan zakat dilakukan sesuai dengan aturan Islam—yakni mengikuti ketentuan nishab, haul, distribusi kepada delapan asnaf, serta dikelola secara amanah dan transparan—maka tidak ada masalah. Namun, persoalan timbul ketika zakat yang sejatinya merupakan ibadah dan instrumen keadilan sosial mulai ditarik ke dalam kepentingan politik praktis. Dalam konteks ini, zakat tidak lagi semata-mata menjadi hak mustahiq, tetapi berubah menjadi alat untuk meraih simpati, dukungan, atau bahkan suara politik.

Ketika dana zakat digunakan oleh kepala daerah untuk mempengaruhi elektabilitas politik, hal ini menimbulkan penyimpangan dari tujuan utama zakat, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, serta dari prinsip-prinsip syariat Islam yang seharusnya menjadi dasar pengelolaan zakat. Keadaan ini mengarah pada kemungkinan bahwa dana zakat tidak disalurkan secara tepat kepada mustahiq (penerima zakat) yang sebenarnya memenuhi kriteria.

Potensi konflik kepentingan dari penggunaan zakat untuk meningkatkan elektabilitas ini mengancam integritas dan efektivitas sistem zakat di Indonesia. Penggunaan dana zakat untuk kepentingan politik bukan hanya merugikan mustahiq yang seharusnya menerima manfaat tersebut, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi zakat dan prinsip-prinsip syariah.

Dengan diskresi yang luas, kepala daerah memiliki potensi menyalahgunakan zakat yang dihimpun secara wajib untuk tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek. Ini menjadikan zakat, yang sejatinya merupakan instrumen ibadah dan keadilan sosial, beralih fungsi menjadi alat politik yang dikendalikan oleh kekuasaan. Kondisi ini mengancam kepercayaan publik terhadap institusi zakat dan menghambat tujuan utama zakat sebagai solusi kesejahteraan umat.

Untuk itu, perlu dilakukan langkah korektif yang menyeluruh. Evaluasi terhadap desain kelembagaan dan regulasi pengelolaan zakat menjadi kebutuhan mendesak. Indepedensi BAZNAS harus dipulihkan dengan meninjau ulang mekanisme pengangkatan pimpinan dan sumber pendanaan operasionalnya agar terbebas dari intervensi politik. Perlu juga dipertimbangkan pembatasan kewenangan kepala daerah atas BAZNAS Daerah serta penguatan peran masyarakat sipil dan Dewan Pengawas Syariah sebagai pengontrol independen.[]