RUU Ketenagakerjaan Pintu Masuk Regulasi Ojek Daring yang Berkeadilan

Oleh: Muhammad Anwar, Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS)

 

Pemerintah dan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di tengah gelombang digitalisasi ekonomi, momen ini semestinya dimanfaatkan sebagai jalan masuk bagi perlindungan hukum pekerja platform digital, termasuk mitra ojek daring (ojol).

 

Saat ini, jutaan pekerja ride hailing berada dalam kekosongan hukum yang mengkhawatirkan. Status mereka sebagai “mitra” menjauhkan mereka dari perlindungan dasar ketenagakerjaan, padahal praktiknya menunjukkan relasi yang sangat mirip hubungan kerja formal. Di sinilah negara harus hadir, bukan sebagai wasit pasif, melainkan sebagai regulator aktif yang memastikan keadilan sosial tidak tercerabut dari lanskap ekonomi digital.

 

Kami mencoba memetakan tiga opsi regulasi untuk melindungi pekerja daring. Pertama, membentuk undang-undang baru. Kedua, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ketiga, memasukkan klausul pekerja daring ke dalam RUU Perubahan UU Ketenagakerjaan. Dari ketiganya, opsi terakhir dinilai paling realistis secara politik maupun prosedural.

 

Membentuk UU baru memang ideal secara substansi karena memberikan ruang bagi desain sistem perlindungan yang komprehensif. Namun, prosesnya panjang dan tergantung pada dinamika politik di parlemen. Isu pekerja digital tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, bahkan tak tercantum dalam waiting list. Artinya, secara politik, jalur ini tertutup dalam waktu dekat.

 

Sementara itu, Perppu memiliki keunggulan sebagai instrumen hukum yang cepat dan lintas sektor. Namun penerbitannya sangat ketat secara konstitusional. Pasal 22 UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi menyebut Perppu hanya dapat diterbitkan jika ada kegentingan memaksa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa. Ketimpangan relasi dan kekosongan hukum belum dianggap sebagai krisis nasional oleh pemerintah.

 

Dengan demikian, memasukkan klausul pekerja daring dalam RUU Perubahan UU Ketenagakerjaan menjadi satu-satunya jalur yang terbuka. RUU ini telah masuk Prolegnas dan sedang dibahas, serta telah mendapat mandat konstitusional melalui Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 untuk berdiri di luar kerangka UU Cipta Kerja.

 

Namun, kunci dari efektivitas langkah ini adalah kejelasan status hukum pekerja daring. Apakah mereka dikategorikan sebagai pekerja formal, informal, atau entitas hukum baru? Tanpa kejelasan tersebut, regulasi akan mudah ditarik-tarik dalam tafsir yang berujung pada nihilnya perlindungan substantif.

 

Apa pun jalur yang diambil, prinsip kerja layak (decent work) harus menjadi fondasi utama. Survei IDEAS tahun 2023 menunjukkan, lima prinsip kerja layak yaitu pendapatan yang layak (fair pay), kondisi kerja yang aman (fair condition), kontrak yang adil (fair contract), pengelolaan yang partisipatif (fair management), dan keterwakilan yang memadai (fair representation) belum terpenuhi di sektor ride hailing.

 

Rata-rata pendapatan kotor mitra ojol hanya Rp 168.000 per hari, jauh menurun dari masa prapandemi, dan di bawah upah minimum kota. Setelah dikurangi biaya operasional, pendapatan bersih mitra hanya sekitar 53 persen dari UMK. Prinsip fair pay belum terpenuhi.

 

Beban kerja mitra pun sangat berat. Sebanyak 69 persen responden bekerja lebih dari 9 jam per hari, dan 42 persen tidak pernah libur. Jam kerja ekstrem ini berdampak pada kesehatan dan keselamatan. Sebanyak 31 persen mitra pernah mengalami kecelakaan, tetapi hanya 13 persen yang difasilitasi jaminan BPJS Kesehatan oleh aplikator. Fair condition pun belum terpenuhi.

 

Hubungan kemitraan juga tidak setara. Potongan aplikator mencapai 20 persen, lebih tinggi dari batas maksimal 15 persen yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Hanya 3,6 persen mitra yang bisa meraih bonus harian, padahal target performa sangat tinggi. Kontrak berbasis algoritma dan rating pelanggan membuat hubungan kerja sangat timpang serta prinsip fair contract diabaikan.

 

Partisipasi dan aspirasi mitra juga minim. Sebanyak 76 persen mitra tidak pernah berinteraksi langsung dengan aplikator, dan lebih dari 45 persen pernah mengalami suspend akun secara sepihak. Relasi kerja sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan, bukan dijalankan dalam kemitraan yang setara. Prinsip fair management hilang dalam praktik.

 

Sementara itu, dalam hal keterwakilan, mayoritas mitra tidak bergabung dalam serikat. Salah satu aplikator bahkan mencantumkan larangan terhadap unjuk rasa dalam pedoman mitra. Walau pelarangan dalam konteks ‘Demonstrasi Ilegal’ yang multi tafsir, ilegal menurut siapa?. Sekitar 67 persen responden merasa aplikator tidak mengizinkan keberadaan serikat pekerja. Tanpa representasi kolektif, suara mitra tak terdengar dalam pengambilan keputusan. Prinsip fair representation gagal diwujudkan.

 

Gambaran ini menegaskan bahwa sistem kerja platform digital telah menciptakan bentuk baru kerentanan kerja: relasi eksploitatif tanpa perlindungan hukum. Negara tidak bisa terus membiarkan ruang hampa hukum ini terbuka. Perlindungan bagi pekerja daring bukan sekadar isu teknis, melainkan mandat konstitusional untuk memastikan keadilan sosial di era ekonomi digital.

 

Momentum pembahasan RUU Perubahan atas UU Ketenagakerjaan harus dijadikan titik balik. Negara harus menetapkan status hukum pekerja daring secara jelas dan memasukkan perlindungan kerja secara eksplisit dalam regulasi ketenagakerjaan. Hanya dengan cara ini, digitalisasi ekonomi dapat berjalan beriringan dengan prinsip keadilan sosial dan kerja yang layak bagi semua.[]