REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) jadi cerminan melemahnya daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Namun, masalah ini tak bisa dijawab hanya dengan diskon dan promosi semata. Diperlukan langkah konkret untuk memperkuat konsumsi rakyat dari bawah, mulai dari stabilisasi harga pangan hingga penguatan perlindungan sosial dan belanja publik berbasis kerakyatan.
Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menekankan bahwa Rojali bukan sekadar tren gaya hidup urban, melainkan gejala sosial dari struktur ekonomi yang belum pulih sepenuhnya. Peneliti IDEAS, Sri Mulyani, mengatakan istilah Rojali muncul dari pengamatan sosial yang cepat menyebar menjadi percakapan publik. Ia menggambarkan realita masyarakat yang tetap ingin bersosialisasi, tetapi kehilangan kemampuan untuk bertransaksi.
“Aktivitas konsumtif digantikan oleh hiburan visual dan eksistensial seperti nongkrong, memotret, dan berbagi di media sosial bukan karena sekadar tren tetapi karena keterbatasan ekonomi,” kata Sri kepada Republika, akhir pekan ini.
Daya beli masyarakat turun karena pendapatan tergerus sejumlah faktor. Kondisi ini tecermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai 4,89 persen pada kuartal I 2025.
Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2025 bahkan lebih rendah dibanding rerata sebelum pandemi yang berkisar antara 5,2 hingga 5,4 persen. Ini menunjukkan bahwa pemulihan belum menyentuh lapisan masyarakat paling rentan. Kelompok ini justru makin terdorong keluar dari pasar konsumsi formal karena tekanan biaya hidup yang tak kunjung mereda.
“Di saat yang sama tekanan biaya hidup tak kunjung mereda. Pada Juni 2025 inflasi tahunan Indonesia tercatat sebesar 1,87 persen meningkat dari 1,60 persen pada bulan sebelumnya,” ujar Sri.
Kenaikan inflasi terutama terjadi pada kebutuhan dasar seperti perawatan pribadi, makanan dan minuman, serta tembakau. Komoditas seperti beras, ikan segar, kopi bubuk, hingga perhiasan menjadi penyumbang inflasi yang terasa langsung di kantong rakyat.
“Daya beli mengecil bukan karena keinginan konsumsi menurun melainkan karena kemampuan yang semakin terbatas,” tegasnya.
Menurut Sri, solusi harus diarahkan untuk memperkuat konsumsi produktif dan keberdayaan rakyat. Salah satunya dengan menstabilkan harga pangan, memperluas akses terhadap pasar komunitas, serta membangun kembali jaringan pangan lokal.
“Mendorong perlindungan sosial berbasis komunitas melalui solidaritas lokal dan skema redistribusi informal, menguatkan konsumsi produktif misalnya dengan membuka akses terhadap pangan lokal, pasar komunitas, dan lumbung pangan kolektif,” jelasnya.
Ia juga mendorong agar belanja negara mengalir ke sektor-sektor kerakyatan melalui proyek padat karya dan bantuan langsung yang benar-benar menjawab kebutuhan dasar masyarakat.
Tak hanya soal angka pertumbuhan, IDEAS menegaskan krisis konsumsi harus dilihat dari sisi kemanusiaan. Data 2024 mencatat lebih dari 4,6 juta orang di Indonesia pernah mengalami kelaparan karena tak mampu membeli makanan, dan 2,8 juta di antaranya tidak makan sama sekali dalam sehari.
“Ini bukan sekadar statistik melainkan cerminan dari krisis sosial yang nyata, ketika konsumsi terhambat bukan hanya toko yang kehilangan pembeli tetapi juga rumah tangga yang kehilangan pilihan,” ujar Sri.
Dia menilai, pemulihan konsumsi rakyat harus berpijak pada keberpihakan yang nyata terhadap masyarakat bawah.
“Fenomena Rojali adalah isyarat bahwa konsumsi sedang menyusut bukan karena keinginan menurun tetapi karena kemampuan yang melemah,” kata Sri.
Ia menegaskan, jika kebijakan hanya mengandalkan dorongan dari sisi penawaran, krisis konsumsi hanya akan disapu di permukaan. Yang dibutuhkan adalah arus balik konsumsi yang berpihak ke rakyat kecil agar pertumbuhan ekonomi tak hanya berhenti di angka, tapi terasa nyata di dapur-dapur rakyat.
Sumber: https://ekonomi.republika.co.id/berita/t0d19q416/bukan-diskon-dan-promo-ini-solusi-atasi-fenomena-rojali-part4