Oleh: Tira Mutiara (Peneliti IDEAS)
Selama tujuh tahun berturut-turut, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index (WGI). Predikat ini kerap menjadi kebanggaan bersama, simbol bahwa semangat gotong royong dan kepedulian sosial masih mengakar di tanah air. Namun, laporan terbaru World Giving Report (WGR) 2025 membawa kabar berbeda: Indonesia melorot ke posisi ke-21 dari 101 negara.
Sekilas, angka ini mengundang tanya. Apakah semangat berbagi mulai pudar? Apakah tekanan ekonomi yang saat ini membebebani masyarakat mengikis rasa peduli? Kenyataannya tidak sesederhana itu. Budaya gotong royong, sumbangan spontan, hingga bantuan komunitas masih berdenyut di tengah masyarakat. Penurunan peringkat ini, sebagian besar ternyata disebabkan perubahan metodologi penilaian.
Metodologi dalam WGR 2025 lebih kompleks dan mendalam dibanding World Giving Index (WGI) yang mengandalkan frekuensi aktivitas memberi. WGR 2025 menyoroti bahwa kedermawanan bukan hanya soal frekuensi, tetapi juga proporsi nilai, dampak, jalur distribusi yang terdokumentasi, serta pentingnya sistem pencatatan, transparansi, dan inklusivitas saluran donasi. Metodologi baru ini menjadi bahan refleksi bagi ekosistem filantropi nasional.
Penurunan peringkat kedermawanan Indonesia yang paling jelas terlihat adalah rendahnya proporsi pemberian donasi dari pendapatan, dengan rata-rata donasi 1,55 persen dari pendapatan per tahun. Meskipun WGR 2025 mencatat Indonesia memiliki profil kedermawanan yang masih bisa dikatakan kuat karena diatas rata-rata global sebesar 1,04 persen.
Hampir dua pertiga populasi dunia atau sekitar 64 persen memberikan donasi dalam bentuk uang sepanjang 2024. Namun, angka 1,55 persen ini masih berada di bawah acuan spiritual yang dikenal luas di masyarakat, seperti nisab zakat 2,5% dalam Islam dan persepuluhan 10% dalam ajaran Kristen. Artinya, potensi kedermawanan kita masih jauh lebih besar dari yang saat ini terealisasi.
Berkaitan dengan saluran donasi, WGR 2025 mengklasifikasikannya menjadi tiga saluran, diantaranya donasi langsung kepada individu atau keluarga, donasi ke badan amal, dan donasi ke organisasi keagamaan atau untuk alasan keagamaan. Sebanyak 40 persen donasi disalurkan langsung ke individu atau keluarga, 36 persen melalui badan amal, dan 24 persen ke lembaga atau kegiatan keagamaan.
Data ini sejalan dengan temuan Survei IDEAS, yang menunjukan 69,2 persen responden lebih memilih menyalurkan donasi langsung melalui kanal informal ke penerima manfaat, masjid, atau mushola daripada melalui lembaga resmi.
Sementara itu, hanya 30,8% responden yang memilih untuk berdonasi melalui lembaga filantropi resmi seperti BAZNAS, LAZ, atau Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Kebaikan masyarakat Indonesia masih berlangsung, tapi belum sepenuhnya terekam oleh sistem. Banyak donasi dilakukan secara informal (langsung) yang belum masuk ke dalam basis data yang digunakan lembaga global dalam penilaian.
Strategi Reformasi Ekosistem Filantropi Nasional
Indonesia perlu mereformasi ekosistem filantropi, bukan dengan memaksa masyarakat memberi lebih atau menentukan kepada siapa memberi, tetapi dengan membangun sistem yang membuat memberi menjadi mudah, dipercaya, dan bermakna. Kepercayaan, kemudahan, dan dampak adalah kunci membentuk budaya kedermawanan yang berkelanjutan.
Partisipasi dan nilai donasi akan meningkat jika masyarakat yakin badan amal dan organisasi keagamaan dikelola profesional dan berperan nyata. WGR 2025 menunjukkan negara-negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap lembaga filantropi, seperti di Afrika dan Asia, memiliki tingkat donasi lebih besar. Secara global, penilaian terhadap pentingnya lembaga amal mencapai skor rata-rata 10,98 dari 15, dengan tingkat kepercayaan 9,22.
Saat ini mayoritas masyarakat masih memilih donasi informal yang disalurkan langsung ke penerima manfaat, masjid, atau kanal komunitas, sehingga tidak tercatat. Padahal survei IDEAS menemukan 83,51 persen donatur informal bersedia beralih ke lembaga resmi jika ada transparansi dan akuntabilitas.
Karena itu, penguatan kapasitas lembaga filantropi, kemudahan kanal pembayaran, edukasi publik, serta insentif pemerintah menjadi langkah strategis. Infrastruktur pencatatan harus diperluas, birokrasi disederhanakan, dan regulasi diperbarui tanpa menghilangkan nilai-nilai kultural berbagi.
Penurunan peringkat kedermawanan bukan kabar buruk, melainkan momentum memperkuat fondasi filantropi nasional. Dengan sistem yang akuntabel dan transparan, semangat gotong royong masyarakat Indonesia akan lebih mudah terlihat, diakui, dan berdampak lebih luas di dalam negeri maupun dunia.[]