tirto.id – Angin segar datang bagi pekerja rentan di sektor informal Kota Bekasi. Mulai tahun 2026, sebanyak 10.000 pekerja informal ber-KTP Kota Bekasi akan didaftarkan ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan dengan tanggungan dibiayai Pemerintah Kota Bekasi. Pekerja yang akan tercakup dalam program termasuk pengemudi ojek online (ojol), petani, sopir, bahkan pemulung.
Revan (34), pengemudi ojol asal Jatiasih, Kota Bekasi, mengaku antusias menanti realisasi janji program yang disampaikan Wali Kota Bekasi Tri Adhianto ini. Menurut bapak dua anak tersebut, rencana Pemkot Bekasi amat penting bagi pengemudi ojol yang saban hari harus berkutat di jalanan.
Ia mengaku dengan pekerjaan sebagai pengemudi ojol, untuk mendapatkan uang sebesar Rp100.000 per hari saja sulitnya bukan main. Karenanya, tak pernah terpikirkan mendaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan atau biasa juga disebut BP Jamsostek.
“Boro-boro mikirin iuran Jamsostek bang, buat makan keluarga aja masih kudu narik sampe malem kadang-kadang,” ujar Rivan kepada wartawan Tirto, Kamis (4/9/2025).
Revan berharap dirinya masuk dalam penerima manfaat bantuan pembiayaan ini. Pasalnya, ia mengaku kerap tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial (bansos). Padahal, sudah berkali-kali ia mengajukan ke kantor desa untuk diterima sebagai penerima manfaat.
“Urusannya sekarang dapat apa enggak. Itu aja, cuma bagi kita ojol sih ini ngebantu,” ucap dia.
Sopian Ansor (36), punya keresahan yang sama seperti Revan. Meskipun mengaku senang mendengar kabar adanya program bantuan pembiayaan BPJS Ketenagakerjaan, ia khawatir tak terdaftar sebagai salah satu peserta. Pria yang sudah menjadi pengemudi ojol dan kurir makanan daring selama empat tahun itu, menilai Pemkot Bekasi perlu memvalidasi ke lapangan langsung agar program jaminan sosial ini tepat sasaran.
“Saya udah sering ngalamin soalnya, tetangga yang mampu dapat bantuan uang bantuan pemerintah, giliran yang emang beneran perlu mah nggak dapat bansos,” ujar Sopian kepada wartawan Tirto, Kamis (4/9).
Pria yang tinggal di Rawalumbu, Kota Bekasi, ini menilai program BPJS Ketenagakerjaan sebetulnya sangat diperlukan untuk para pekerja informal, termasuk pengemudi ojol. Karena, rutinitas di jalanan yang intens membuat pengemudi ojol kerap dihantui kecelakaan kerja.
Ketika terjadi musibah demikian, kata dia, terkadang BPJS Kesehatan tidak bisa meng-cover karena insiden di jalan raya biasanya dialihkan kepada Jasa Raharja. Ini membuat jaminan sosial di sektor pekerjaan informal menurutnya menjadi penting dimiliki.
“Saya pernah bantu ngurusin keponakan ditabrak orang, itu susah banget nggak ditanggung ya karena emang nggak ada Jamsostek juga, make BPJS [Kesehatan] nggak bisa dia,” kata Sopian.
Menurut Humas organisasi Unit Reaksi Cepat (URC) Ojol, Erna, keseriusan serta komitmen Pemkot Bekasi dalam mewujudkan program pembiayaan BPJS Ketenagakerjaan untuk ojol dan pekerja informal lainnya patut dinanti.
Erna yang juga merupakan Koordinator lapangan Paguyuban BPJS Ketenagakerjaan untuk Ojol, menilai ini menjadi langkah yang sangat didukung para pengemudi ojol, meskipun nilai penerima manfaat masih tergolong rendah.
Dari pantuannya di lapangan, banyak pengemudi ojol selama ini berpikiran bahwa menjadi peserta BPJS Kesehatan saja cukup. Padahal, kata Erna, fungsi serta manfaat program jaminan sosial itu sangat berbeda.
Ia berharap Pemkot Bekasi mampu menjadi contoh bagi daerah lain agar uang pajak rakyat dapat dimanfaatkan sebagai komitmen menjamin jaminan sosial pekerja informal.
“Pemkot harus benar-benar menyeleksi warga dan mengecek Dukcapil supaya program ini sampai ke mereka yang memang wajib dapat,” ungkap Erna kepada wartawan Tirto, Kamis (4/9).
Idealnya Kepala Daerah Memang Alokasi untuk Jaminan Sosial
Kepala Daerah sebetulnya memang didorong berkomitmen mengalokasikan anggaran untuk bantuan program jaminan sosial, termasuk BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang terbit di periode Presiden Joko Widodo.
Namun, Inpres 2/2021 itu tampak hanya menjadi suatu dorongan yang berfokus menambah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Komitmen untuk mendorong kepala daerah membiayai BPJS Ketenagakerjaan terutama terhadap pekerja rentan atau informal, jadi kembali kepada komitmen politik para pemimpin daerah masing-masing.
Dalam keterangan resminya, Rabu (3/9/2025), Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menyatakan bakal mengalokasikan Rp2 miliar per tahun untuk pembiayaan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja rentan atau informal. Pekerja informal ber-KTP Kota Bekasi didaftarkan ke program BPJS Ketenagakerjaan dengan premi sebesar Rp201 ribu per orang per tahun.
Menurutnya, premi tersebut dibiayai Pemkot Bekasi melalui APBD, sehingga nantinya para pekerja mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, santunan kematian, hingga perlindungan bagi keluarga. Saat ini seluruh warga Kota Bekasi juga diklaim sudah tercakup kepesertaan BPJS Kesehatan yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah kota melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dengan demikian, kata Tri, harapannya masyarakat tak perlu khawatir terkait akses layanan kesehatan. Dengan kebijakan ini, Pemkot Bekasi berharap para pekerja rentan bisa bekerja lebih tenang, sekaligus memahami bahwa perlindungan kesehatan dan ketenagakerjaan kini hadir secara menyeluruh untuk mereka.
“Perlindungan ini adalah bentuk nyata keadilan sosial. Kota ini akan semakin nyaman dan sejahtera bila para pejuang kehidupan juga mendapat perlindungan,” kata Tri.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi juga menyampaikan bahwa pekerja sektor informal di Jawa Barat bakal segera mendapat perlindungan lewat BPJS Ketenagakerjaan yang ditanggung Pemda Jabar. Program ini akan menyasar pekerja seperti pengemudi ojol, ojek pangkalan, sopir truk, pedagang asongan, petani, nelayan, dan pekerja informal lainnya.
Dedi Mulyadi mengatakan pendataan pekerja informal dimulai sejak Senin (1/9). Setelah pendataan, pekerja akan didaftarkan dalam program asuransi dengan premi Rp201.000 per tahun. Skema pembiayaan melibatkan pemerintah daerah, perusahaan, dan aplikator ojek online. Untuk sisa tahun 2025, kata Dedi, Pemda Provinsi Jabar menyiapkan anggaran Rp60 miliar.
Tahun depan, rencana pendanaan diperluas melalui kolaborasi pemerintah kabupaten/kota dan perusahaan. Dedi turut memperingatkan kepala daerah di Jabar agar melakukan hal yang sejalan dengan Pemprov.
“Kalau bupati atau wali kota tidak mau kerja sama, saya tidak akan alokasikan untuk daerah itu. Kalau rakyat protes, tanya kepala daerahnya,” kata Dedi lewat keterangan tertulis, Senin (1/9).
Agara Tepat Manfaat: Pendataan, Sosialisasi, dan Klaim Harus Mendapat Perhatian
Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Tira Mutiara, menilai apabila melihat premi yang ditanggung pemerintah daerah sebesar Rp201.000 per orang per tahun, maka per orang dibayarkan iuran sekitar Rp16.750 per bulan. Angka itu memang sesuai dengan program BPJS Ketenagakerjaan segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU).
Khususnya, jelas dia, skema minimal yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) yang iuran minimal nasional per bulannya sekitar Rp16.800 per orang.
Rencana pemerintah daerah membiayai BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja rentan seperti ojol, sopir, pedagang asongan, petani, dan sejenisnya bisa menjadi angin segar bagi sektor informal. Tetapi agar tidak berhenti sekadar janji manis, ada beberapa hal yang mesti dipikirkan matang-matang.
Utamanya, terkait data penerima manfaat yang harus benar-benar akurat. Jangan sampai terjadi daftar ganda atau salah sasaran. Karenanya, mesti ada koordinasi dengan RT/RW, kelurahan, atau komunitas seperti organisasi ojol untuk mempermudah pendataan.
Selain itu, kata Tira, manfaat BPJS Ketenagakerjaan harus disosialisasikan dengan gencar. Sosialisasi ini perlu digencarkan karena masih banyak pekerja informal yang menganggap iuran jaminan sosial sebagai beban dan hanya buang-buang penghasilan.
“Mereka tidak mengetahui manfaat BPJS Ketenagakerjaan. Padahal ada perlindungan kecelakaan kerja, santunan kematian, bahkan beasiswa anak yang bisa mereka dapatkan,” ujar Tira kepada wartawan Tirto, Kamis (4/9).
Sementara itu, urusan klaim juga jangan sampai menyulitkan pekerja informal. Pemerintah daerah perlu memikirkan strategi agar target pembiayaan bertambah, dengan membentuk peta jalan jangka panjang.
Tak kalah penting adalah memastikan monitoring dan evaluasi yang jelas terkait program pembiayaan yang dijalankan agar tidak terjadi maladministrasi.
“Banyak pekerja informal seperti ojol, pemulung, dan pedagang kaki lima yang belum masuk dalam DTSEN (Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional–red) karena sifat pekerjaan mereka fleksibel dan mobile. Selain itu, validasi data akan mempermudah monitoring dan evaluasi. Pemda bisa mengukur dampak program secara lebih jelas jika penerima manfaat teridentifikasi dengan tepat,” ujar Tira.
Sumber: https://tirto.id/bpjs-ketenagakerjaan-bagi-pekerja-informal-ujian-komitmen-pemda-hhfy