Forum Zakat – Jadi klaim pertumbuhan ekonomi ini bisa dikatakan tidak inklusif karena banyak didorong oleh pariwisata atau aktivitas liburan saat long weekend dan awal libur sekolah yang tidak dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, hanya kalangan menengah atas saja.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 (April, Mei, dan Juni) yang mencapai 5,12% secara tahunan (YoY) dan 4,04% secara kuartalan (QoQ) sangat mengejutkan. Pertumbuhan ini justru terasa kontras dengan berbagai indikator makro lain yang menunjukkan sinyal perlambatan.
Pertama, selama kuartal II 2025, PMI Manufaktur Indonesia terus berada di zona kontraksi yaitu April (46,7), Mei (47,4), dan Juni (46,9). Angka di bawah 50 menunjukkan bahwa industri tidak sedang ekspansif, merupakan indikator terjadinya kontraksi. Bahkan, sektor padat karya melaporkan peningkatan PHK yang pada bulan Juni menembus angka 42.385 pekerja, ini merupakan angka yang tercatat secara resmi dan yang tidak tercatat diyakini lebih dari angka tersebut.
Dari sini terlihat adanya kesenjangan antara data makro resmi dan realitas yang dihadapi pelaku usaha serta tenaga kerja. Bagaimana mungkin sektor ini tumbuh paling tinggi jika pelaku industri justru sedang melakukan efisiensi besar-besaran?
Kedua, argumen lain yang digunakan untuk menjelaskan kenaikan konsumsi adalah momentum Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), yakni Idulfitri. Namun, jika kita tinjau lebih dalam Idulfitri jatuh pada 31 Maret 2025, sehingga puncak konsumsi rumah tangga seperti mudik, belanja baju baru, makanan khas, renovasi rumah, dan pembagian THR terjadi pada Maret, bukan April.
Dengan demikian, sebagian besar aktivitas konsumsi lebaran sebenarnya masuk ke kuartal I 2025, bukan kuartal II. Mungkin memang ada dampak lanjutan seperti libur cuti bersama di awal April, tetapi tidak cukup kuat untuk mendorong lonjakan konsumsi nasional dalam skala sebesar itu.
Ketiga, jika konsumsi memang meningkat di kuartal II, maka yang berpotensi menjadi pemacunya adalah faktor musiman lain seperti pariwisata dan libur sekolah, bukan lebaran. Sepanjang April hingga Juni 2025, terdapat setidaknya empat kali long weekend yang dapat meningkatkan mobilitas yaitu 18–20 April (Wafat Isa Almasih), 10-12 Mei (Waisak), 6–8 Juni (Idul Adha), dan 27-29 Juni (Tahun Baru Islam).
Secara kumulatif pada periode kuartal II 2025 juga terjadi lonjakan perjalanan wisatawan domestik dengan total 333,38 juta perjalanan yang terdiri dari 128,59 juta perjalanan (April), 97,67 juta perjalanan (Mei), dan 105,11 juta perjalanan (Juni). Jumlah tersebut naik jika dibandingkan pada tahun 2024 pada periode kuartal yang sama yaitu sebesar 270,91 juta perjalanan.
Selain itu, libur sekolah dimulai pertengahan Juni, yang biasanya mendorong konsumsi transportasi, akomodasi, dan kuliner. Namun, kita juga harus mengakui efek pertumbuhan konsumsi dari pariwisata hanya dirasakan oleh sebagian masyarakat, yakni kelas menengah ke atas yang memiliki daya beli cukup untuk bepergian.
Sementara itu, kelas pekerja dan kelompok rentan masih berkutat dengan stagnasi pendapatan, mahalnya harga barang, dan ketidakpastian kerja. Maka, peningkatan konsumsi tidak serta-merta berarti perbaikan daya beli semua lapisan.
Jadi klaim pertumbuhan ekonomi ini bisa dikatakan tidak inklusif karena banyak didorong oleh pariwisata atau aktivitas liburan saat long weekend dan awal libur sekolah yang tidak dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, hanya kalangan menengah atas saja.
Prospek Pertumbuhan Kuartal III, Ketika ‘Setengah Hoki’ Telah Terpakai
Dibanding pertumbuhan sebelumnya prospek kuartal III (Juli, Agustus dan September) cenderung sangat menantang, bahkan mengkhawatirkan jika tidak segera ditopang oleh kebijakan yang memihak rakyat.
Pertumbuhan kuartal II sendiri sudah cukup mencengangkan. Banyak pihak heran, karena sejumlah indikator makro justru menunjukkan pelemahan. Misalnya, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur, indikator yang sering dijadikan penanda denyut industri pengolahan terus berada di bawah angka 50 sepanjang April hingga Juni, yang berarti sektor industri mengalami kontraksi.
Kini kita memasuki kuartal III, dan tidak ada momen besar yang bisa mendorong konsumsi rakyat secara alami. Tidak ada hari besar keagamaan. Tidak ada libur panjang yang substansial. Tidak ada “trigger” musiman yang bisa menjadi pengungkit pertumbuhan seperti pada kuartal II.
Jika kondisi dibiarkan tanpa intervensi, maka pertumbuhan berisiko melambat signifikan. Ini bukan asumsi semata. Sejauh ini, belum tampak adanya kebijakan besar seperti stimulus tambahan, bantuan sosial (bansos) baru, atau ekspansi fiskal. Pemerintah justru terlihat mulai menahan belanja seiring upaya konsolidasi fiskal di penghujung tahun.
Artinya, rakyat tidak akan punya banyak ruang untuk meningkatkan daya beli. UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, masih menghadapi kendala akses modal dan sepinya permintaan.
Pemerintah harus lebih berani dan berpihak. Jangan tunggu ekonomi melemah baru panik. Arahkan APBN untuk menyentuh langsung dapur rakyat. Berikan dukungan nyata kepada UMKM, percepat belanja daerah, dan pastikan program padat karya digalakkan.[]