Sebagian pihak meyakini bahwa posisi seseorang dalam masyarakat banyak ditentukan oleh kondisi si individu itu sendiri, seperti intelegensi yang mereka miliki. Kesenjangan dalam prestasi akademik, pencapaian karir dan berbagai status sosial lainnya adalah berakar dari perbedaan kemampuan kognitif yang bersifat genetik. Terlepas dari apapun lingkungan sekitarnya, orang pandai akan menanjak ke puncak dan orang bodoh akan terbenam ke lembah kemiskinan. Sebagian orang memang ditakdirkan menjadi miskin, dan sebagian lainnya terlahir untuk menjadi kaya. Menguatnya perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy) dan lahirnya masyarakat yang lekat dengan teknologi tinggi (“technological society”) semakin mengokohkan superioritas pemilik intelegensi tinggi sebagai kelas elit.
Namun, perspektif yang lebih dalam dan komprehensif menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah semata soal intelegensi genetik si miskin yang inferior atau lemahnya perilaku dan etos kerja mereka. Masalah kemiskinan sangat kuat terkait dengan struktur ekonomi dan sosial yang menentukan alokasi sumber daya dan kesempatan bagi si miskin. Kondisi yang sebenarnya adalah kemiskinan sangat bergantung pada kemampuan perekonomian menyediakan lapangan kerja yang memberi penghasilan layak bagi kemanusiaan dan kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan warga negara yang tertinggal dan terbelakang.