Kekuatan Kapital Mendominasi Sistem Politik Indonesia

Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, Kekuatan kapital telah mendominasi sistem politik Indonesia pasca krisis. Oligarkhi ekonomi mampu merubah peta dukungan suara, membalikkan momentum politik hingga membeli hasil politik yang diinginkan dengan mengeksploitasi sumber daya ekonomi yang dimilikinya.

 

“Pasca reformasi, Indonesia menjadi ruang nyaman bagi oligarkhi ekonomi. Motivasi keamanan dan mempertahankan kekayaan menjadi faktor terpenting. Semakin tinggi jabatan politik yang diperebutkan, semakin besar peluang oligarkhi ekonomi terlibat dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan tersebut,” Ujar Yusuf Wibisono, pada diskusi pemaparan hasil riset #IDEASTalk yang bertajuk ‘Ilusi Mobilitas Ekonomi dan Kapital Tak Terbatas’, di Jakarta, Selasa (14/01/2020).

 

Yusuf Wibisono mengungkapkan bahwa munculnya oligarkhi ekonomi bermula dari bangkitnya orde baru. Indonesia tidak menghadapi konsentrasi kapital dan tidak memiliki oligarkhi ekonomi hingga era 1970-an.

 

Ia menambahkan, walaupun selalu didominasi elit namun Indonesia tidak pernah didominasi oleh oligarkhi kecuali setelah mereka diinkubasi dan matang di era orde baru. Pada awalnya, segelintir elit ekonomi mendapatkan konsesi dan fasilitas eksklusif dari penguasa orde baru untuk memberikan dukungan finansial ke militer. Dengan cara ini Presiden yang baru naik ke tampuk kekuasaan mengendalikan militer sekaligus mengalahkan rival politiknya. Semua pengusaha besar saat itu tumbuh dari payung kekuasaan seperti ini.

 

“Salim Group misalnya, bermula dari pendirian PT Bogasari pada 1969 yang mendapatkan hak eksklusif penggilingan tepung terigu untuk Indonesia bagian barat, yang merepresentasikan 80 persen pasar terigu domestik. Hanya dengan modal Rp 100 juta, lima hari setelah berdiri PT Bogasari mendapat lisensi atas pasar wilayah Indonesia Barat sekaligus kucuran kredit Rp 2,8 miliar. Dari 3 perusahaan pada 1957, Salim Group tumbuh menjadi 54 perusahaan pada 1980-an dan menembus 427 perusahaan pada awal 1990-an,” Ungkap pimpinan lembaga Think Tank yang fokus pada isue kesenjangan ekonomi tersebut.

 

Kekuatan kapital yang membesar cepat ini menjadi kekuatan politik yang signifikan. Kejatuhan rezim orde baru banyak disumbang oleh berpalingnya konglomerat dengan tidak memberikan dukungan kepada penguasa dalam menghadapi krisis 1998. Transformasi politik yang signifikan dan radikal pasca krisis, tidak menurunkan pengaruh politik pemilik kapital ini, bahkan semakin memperbesarnya.

 

“Sistem demokrasi langsung mudah diakuisisi dan didominasi oleh oligarkhi ekonomi. Demokrasi menjadi arena pertarungan yang nyaman bagi oligarkhi untuk merebut kekuasaan dalam rangka memupuk kekayaan lebih lanjut. Transisi ke demokrasi sama sekali tidak memunculkan tantangan dari publik terhadap oligarkhi ekonomi atas penguasaannya yang sangat dominan atas perekonomian,” tuturnya dengan penuh penegasan.

 

Pada tingkat pendapatan yang sangat tinggi, akumulasi kekayaan oleh kelompok terkaya akan membuat transmisi kekayaan lintas generasi akan terjadi lebih kuat. Dinamika kelompok terkaya ini terefleksi secara jelas dalam fenomena dinasti pada konglomerasi bisnis dan juga pada oligopoli politik. Seluruh orang terkaya Indonesia hari ini memiliki hubungan yang kuat, terutama hubungan kekeluargaan, dengan orang terkaya sebelumnya.

 

“kita bisa melihat beberapa fakta dimana orang-orang terkaya Indonesia hari ini adalah orang atau bagian dari keluarga terkaya masa sebelumnya. Sebagai conto Anthoni Salim (terkaya ke-26 tahun 2019) adalah anak dari Sudono Salim (terkaya ke-1 Tahun 1987), Martin B. Hartono, anak Budi Hartono (terkaya Indonesia tahun 2019), menikah dengan Grace L. Katuari, anak pemilik Wings Group, Eddy William Katuari (terkaya ke-26 tahun 2019), Lalu Susilo Wonowidjojo (Terkaya ke-4 tahun 2019) adalah anak dari Rachman Halim (terkayake-1 tahun 1996),” kata Yusuf Wibisono.[]