Oleh: Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies)
Wabah covid-19 yang kini melanda Indonesia telah memukul banyak aktivitas ekonomi warga. Penerapan social distancing mulai dari himbauan stay at home, peliburan sekolah dan perkantoran, penutupan tempat wisata dan layanan publik, pelarangan keramaian, hingga pembatasan ibadah bersama, telah menurunkan interaksi dan mobilitas sosial penduduk. Dampak ekonominya semakin signifikan dirasakan dari waktu ke waktu, terutama oleh warga ekonomi lemah. Di daerah perkotaan seperti Jabodetabek, dimana restriksi atas aktivitas warga semakin banyak diterapkan, dampak wabah pada hilangnya sumber penghidupan warga kelas bawah ini semakin terasa.
Jika wabah covid-19 ini tidak cepat berlalu, dampak ketenagakerjaan-nya dapat menjadi signifikan. Tingkat pengangguran terbuka Indonesia adalah rendah, namun di saat yang sama pekerja tidak penuh adalah signifikan. Bila jumlah pengangguran kini adalah 7,7 juta orang, maka jumlah pekerja yang bekerja dibawah 40 jam per pekan adalah tujuh kali lipatnya, 56,2 juta orang. Potensi ledakan pengangguran terlihat jelas seiring ketidakpastian kapan wabah akan berakhir.
Salah satu pekerja sektor informal kota yang paling keras terpukul wabah covid-19 ini adalah ojek daring. Sejak kemunculannya pada 2010-an, banyak orang menyukai ojek daring yang memberikan harga murah dengan layanan yang nyaman dan beragam bagi penumpang. Ojek daring dengan cepat membesar. Tidak ada data resmi jumlah ojek daring di Indonesia, diperkirakan sebagian pihak mencapai 2,5 juta orang, dengan setengahnya berada di Jabodetabek. Jika estimasi ini sahih, jumlah ojek daring ini setara dengan 40 persen pengangguran Jabodetabek.
Balada Ojek Daring
Pada Februari 2020, beberapa waktu sebelum wabah covid-19 meledak, kami melakukan survey non-probabilitas dengan teknik purposive sampling terhadap 542 pengemudi ojek daring di seluruh wilayah Jabodetabek. Hasil riset kami menemukan dua karakter utama pekerjaan ini. Pertama, ojek daring adalah pekerjaan utama yang tidak mampu memberi penghasilan yang layak.
Ojek daring adalah jaring pengaman yang efektif bagi pengangguran kota. Sebesar 41,0 persen responden menjadikan menganggur sebagai alasan utama menjadi ojek daring, yaitu mengalami pemutusan hubungan kerja, terlalu lama menganggur, dan sulit mencari pekerjaan lain selain ojek daring. Meski ojek daring menawarkan fleksibilitas waktu kerja sebagai keunggulan utamanya, namun bagi mayoritas responden, ojek daring adalah pekerjaan utama, yaitu sebanyak 83,2 persen.
Namun, sebagai pekerjaan utama, ojek daring tidak mampu memberikan pendapatan yang memadai. Pendapatan bersih rata-rata ojek daring umumnya dibawah Rp 100 ribu per hari, yaitu 54,4 persen. Dengan kata lain, jika bekerja normal 20 hari per bulan, mayoritas pengemudi ojek daring hanya mampu membawa pulang pendapatan tidak lebih dari Rp 2 juta per bulan. Prospek pendapatan ojek daring ke depan diyakini tidak lebih baik seiring pendapatan utama “mitra” ditentukan oleh poin dan kalkulasi bonus yang jumlahnya semakin kecil, dan terlebih dengan kebijakan baru yang menerapkan sistem pemerataan order untuk seluruh “mitra”.
Kombinasi antara tarif per kilometer yang rendah dengan batas minimum penyelesaian order dengan rating tinggi untuk mendapatkan bonus, membuat pengemudi ojek daring memiliki ketergantungan tinggi pada sistem bonus sebagai pendapatan utama. Bagi ojek daring, penghasilan yang memadai tidak lagi sekedar memberi layanan transportasi namun mengejar poin, bonus, tingkat penerimaan order dan rating dari penumpang.
Temuan utama kami yang kedua menguak fakta yang mengejutkan: ojek daring memiliki waktu kerja yang sangat panjang, jauh melebihi batas waktu kerja yang wajar. Sebagian besar responden, yaitu 77,4 persen, mengaku bekerja lebih dari 8 jam per hari. Bahkan 28,3 persen responden mengaku bekerja lebih 12 jam per hari. Lebih jauh, 82,2 persen responden memiliki hari kerja yang melebihi batas normal, yaitu diatas 5 hari kerja. Bahkan 49,3 persen responden mengaku setiap hari bekerja tanpa libur dalam sepekan. Maka dapat diestimasikan bahwa 73,0 persen responden memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per pekan, jauh diatas batas jam kerja normal yang di kisaran 40-60 jam per pekan.
Seiring jumlah pengemudi ojek daring yang terus melonjak, persaingan antar ojek daring semakin mengeras. Panjangnya waktu kerja yang dihabiskan pengemudi ojek daring terjelaskan oleh semakin panjangnya waktu menunggu order masuk (ngetem). Kemunculan aplikator transportasi online awalnya ingin memangkas waktu tunggu ojek tradisional dengan mempertemukan pengemudi dan penumpang secara langsung, ironisnya hal yang sama kini terulang kembali ditangan aplikator, dalam derajat yang lebih tinggi dan skala yang jauh lebih masif.
Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, pengemudi ojek daring dipaksa untuk bekerja lebih lama. Namun demikian, meski telah bekerja jauh lebih keras, hanya 40,6 persen pengemudi ojek daring yang diestimasikan mampu memiliki penghasilan diatas rata-rata UMP Jakarta, Banten dan Jawa Barat 2020 yang berada di kisaran Rp 3 juta per bulan. Sedangkan 59,4 persen pengemudi ojek daring lainnya hanya membawa pulang penghasilan dibawah Rp 3 juta per bulan.
Melindungi Ojek Daring
Ojek daring adalah salah satu potret pekerja informal kota yang membutuhkan perlindungan sosial di saat bencana epidemi covid-19 ini. Turunnya interaksi dan mobilitas sosial karena wabah covid-19 telah menimbulkan kerusakan massal, ribuan orang secara tiba-tiba mengalami penurunan pendapatan secara drastis, tidak dapat menjalankan pekerjaan rutin mereka, bahkan kehilangan pekerjaan.
Dalam pusaran pandemi, bantuan tanpa syarat (unconditional cash transfer) adalah keharusan bagi kelompok ekonomi bawah, lemah dan marjinal. Menginjeksi keluarga miskin dengan dana segar akan memastikan kehidupan masyarakat kelas bawah terus berjalan. Selain kebutuhan pangan harian, keluarga miskin umumnya memiliki kewajiban dan utang yang tidak kecil.
Sebagai misal, dalam riset kami, sebesar 40,6 persen responden ojek daring Jabodetabek tinggal di rumah kontrakan, yang mengharuskan mereka membayar uang sewa bulanan. Lebih jauh, hampir setengah responden ojek daring, yaitu 46,1 persen, memiliki utang. Sebagian besar responden berutang untuk membeli motor. Bahkan perlengkapan lainnya-pun, seperti smartphone, jaket dan helm, diperoleh dari utang yang pembayarannya dicicil dengan cara memotong penghasilan harian.
Disaat yang sama, dibutuhkan upaya besar untuk menyerap tenaga kerja kerah biru yang kini banyak menganggur atau setengah menganggur, Program padat karya atau cash for work dapat menjadi solusi, memberdayakan pengangguran dengan memberi mereka pekerjaan, sekaligus membangun kapasitas lokal dan menyediakan peluang-peluang ekonomi produktif, yang akan memfasilitasi perekonomian untuk kembali ke jalur normal dengan cepat.
Sebagai misal, sebelum wabah covid-19 meledak, mayoritas responden ojek daring dalam riset kami mengaku sudah mengalami penurunan rata-rata pendapatan dari semula di kisaran Rp 500-700 ribu per hari menjadi hanya di kisaran Rp 100-300 ribu per hari akibat perubahan algoritma di perusahaan aplikator. Untuk bisa membawa penghasilan yang jauh menurun itupun, seorang pengemudi ojek daring harus berjibaku di jalan raya lebih lama dan lebih keras.
Wabah covid-19 dipastikan semakin keras memukul pendapatan mereka, bahkan hingga ke titik nadir. Mengintegrasikan ojek daring dalam skema karantina wilayah, menjadi pilihan kebijakan strategis. Menjadikan ojek daring sebagai garda depan pengantaran (service delivery) barang-barang kebutuhan pokok akan memastikan kehidupan kota terus berjalan selama karantina wilayah, sekaligus menjamin pendapatan ojek daring di pusaran wabah covid-19.