REPUBLIKA.CO.ID — Dengan pandemi yang masih jauh dari mereda, langkah pemerintah mendorong adopsi new normal adalah sebuah ketergesa-gesaan. Meski implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di 4 provinsi dan 72 kabupaten-kota mampu menekan tingkat penyebaran Covid-19, namun pandemi jelas belum tertanggulangi, bahkan kerap mencetak rekor penambahan kasus harian.
Sebelum implementasi PSBB (2 Maret-5 April) penambahan kasus harian rata-rata 65 kasus. Bulan pertama pasca-PSBB (6 April-5 Mei) angka ini meningkat tajam rata-rata 327 kasus dan bulan kedua pasca PSBB (6 Mei-5 Juni) semakin melonjak rata-rata 563 kasus.
Dengan kapasitas pengujian (testing) yang masih rendah, penambahan kasus diperkirakan masih akan tinggi, bahkan mungkin melonjak. Dengan baru menguji 0,09 persen penduduknya, kasus positif Covid-19 Indonesia telah menembus 33 ribu kasus.
Jika kapasitas pengujian Indonesia setara Brasil yang telah menguji 0,31 persen penduduknya, dengan rasio kasus per pengujian yang sama, kasus riil Covid-19 berpotensi hingga 98 ribu kasus. Jika kapasitas pengujian setara Malaysia (1,15 persen) atau Turki (1,78 persen), kasus riil berpotensi menembus 367 ribu-569 ribu kasus! Dengan pandemi yang masih jauh dari reda, maka membuka kembali aktivitas ekonomi dan interaksi sosial adalah sebuah eksperimen yang sangat berbahaya.
Argumen umum yang mendasari new normal yang sangat berisiko ini adalah kebutuhan tinggi untuk menyelamatkan perekonomian, mencegah kebangkrutan bisnis, menekan pengangguran dan menahan kemiskinan massal.
Kejatuhan ekonomi yang besar di kuartal I 2020 dan pelaksanaan PSBB sepanjang April-Mei terutama di tiga metropolitan pusat ekonomi nasional (Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya), telah membuat pemerintah berkeras untuk mengadopsi new normal di bulan Juni demi mencegah kerusakan ekonomi yang lebih masif.
Namun ini adalah paradigma yang keliru tentang kebijakan ekonomi di masa pandemi. New normal secara jelas meningkatkan aktivitas ekonomi, sedangkan penanggulangan pandemi mengharuskan penurunan interaksi sosial.
Maka, mempromosikan ekonomi di tengah pandemi sama dengan membunuh nyawa lebih banyak. Tiada artinya perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi jika hal itu akan membunuh kita. Pertumbuhan ekonomi hanyalah alat, tujuan akhir yang harus dikejar adalah kualitas dan kebahagiaan hidup masyarakat, di mana faktor terpenting yang berkontribusi untuk itu adalah tetap hidup, tidak mati karena pandemi!
Pertaruhan new normal
Sejak awal pandemi, Indonesia terlihat mengalami dilema antara ekonomi dan kesehatan. Dengan memperkirakan rendah dampak wabah, pemerintah memberi prioritas tinggi pada kinerja ekonomi. PSBB yang sejatinya hanya tindakan moderat, yang itu pun dilakukan dengan longgar dan terlambat, sebagaimana diprediksi sejak awal, gagal menghentikan pandemi yang telah menyebar cepat. Kelambanan dan ketidaktegasan respons kebijakan harus dibayar mahal kini: kerusakan ekonomi ditengah pandemi yang jauh dari mereda.
Kekhawatiran atas lemahnya penanggulangan pandemi kuat diduga telah meningkatkan kepatuhan terhadap PSBB, khususnya oleh kelas menengah-atas. Jatuhnya mobilitas dan konsumsi kelas terdidik perkotaan ini telah memukul ekonomi dengan keras. Dengan pandemi yang masih jauh dari mereda, maka memaksakan adopsi new normal adalah sebuah pertaruhan besar: potensi ledakan wabah kedua.
Kekhawatiran akan ledakan wabah kedua dari new normal adalah sangat beralasan: jika dengan PSBB saja pandemi belum mereda, terlebih lagi tanpa PSBB. Terlebih di bulan Juni ini kita juga masih menanti kepastian apakah terdapat lonjakan kasus dari lebaran dan mudik, terkait lamanya waktu pelaporan dari pengujian spesimen.
Tanpa ledakan wabah, case fatality rate (CFR) saat ini sudah di kisaran 6 persen. Namun jika kematian PDP dan ODP turut diperhitungkan, CFR Indonesia berpotensi menembus 15 persen, setara dengan negara-negara yang kini paling keras dihantam Covid-19 seperti Prancis, Belgia, Italia dan Inggris. Maka, jika dengan new normal kemudian eskalasi wabah menjadi tak terkendali, sistem kesehatan dipastikan akan tumbang dan korban jiwa akan menjadi sangat besar. Maka menjadi sangat mahal biaya yang harus dibayar dari new normal di tengah pandemi meski diiringi protokol kewaspadaan dan kebijakan rem darurat (emergency brake policy sekalipun: karena nyawa yang hilang tidak akan bisa dipulihkan kembali!
New normal diklaim hanya diadopsi oleh daerah dengan angka reproduksi (Rt) di bawah 1, yang mengindikasikan tingkat penularan yang telah terkendali, sehingga diyakini tidak akan terjadi lonjakan kasus Covid-19 meski masyarakat melakukan aktivitas secara normal. Namun statistik Rt di Indonesia diyakini tidak akurat terkait rendahnya kualitas data. Kapasitas pengujian yang rendah dan waktu pelaporan dari pengujian yang sangat lama, dikombinasikan dengan kemampuan yang rendah dalam identifikasi dan karantina kontak erat dari kasus, membuat estimasi Rt menjadi bias dan cenderung overestimate.
Risiko penyebaran Covid-19
Ketika pemerintah bersikeras untuk mendorong adopsi new normal di tengah pandemi dan ketiadaan vaksin, sedangkan statistik Rt di tingkat kabupaten-kota tidak bisa dihasilkan secara akurat, seharusnya kita berpaling ke statistik lain. Dengan kelemahan data epidemiologi daerah dan kerentanan populasi yang sulit untuk diintervensi hingga vaksin ditemukan, maka IDEAS memandang bahwa, seandainya saat ini pandemi sudah terkendali dan new normal menjadi kewajaran, maka indikator yang lebih tepat untuk menggambarkan kesiapan daerah untuk adopsi new normal adalah karakteristik daerah yang menjadi sumber penyebaran Covid-19.
IDEAS mengidentifikasi tiga determinan risiko penyebaran Covid-19 kabupaten-kota, yaitu interaksi sosial, keterpaparan eksternal dan mobilitas penduduk. Interaksi sosial berperan signifikan dalam penyebaran Covid-19 karena mendorong intensitas kontak dan kedekatan fisik antarpenduduk. Kami mendekati interaksi sosial dengan 2 variabel yaitu kepadatan penduduk dan ukuran populasi suatu wilayah.
Kepadatan penduduk tertinggi didominasi daerah perkotaan, terutama kota-kota besar di Jawa. Sedangkan ukuran populasi tertinggi didominasi kota besar dan daerah pedesaan penyangga metropolitan, terutama di Jawa. Kombinasi kepadatan penduduk dan ukuran populasi, menempatkan sebagian besar daerah di Jawa dalam kategori berisiko tinggi terhadap penyebaran Covid-19.
Kepadatan penduduk dan ukuran populasi adalah angkatan kerja sekaligus pasar yang besar, karena itu daerah perkotaan dipenuhi aktivitas ekonomi dan pusat keramaian, yang sangat rentan dengan penyebaran Covid-19. Dengan berakhirnya PSBB, menjadi tantangan besar untuk terus menjaga pembatasan sosial terutama di metropolitan utama Jawa yang kini merupakan episentrum wabah, demi melindungi lebih dari 150 juta penduduk Jawa.
Determinan penyebaran wabah Covid-19 terpilih berikutnya adalah keterpaparan eksternal, di mana suatu daerah menarik minat kedatangan penduduk dari luar wilayah karena daya tarik yang dimiliki daerah tersebut. Arus masuk pelancong dan pendatang yang tinggi, lintas daerah dan bahkan lintas negara, membuat suatu daerah rentan menjadi klaster penyebaran Covid-19. Kami mendekati keterpaparan eksternal ini dengan 2 variabel yaitu ukuran sektor pariwisata dan kekayaan sumber daya alam (SDA).
Daerah dengan ukuran sektor pariwisata yang besar, diukur dari pangsa tenaga kerja yang bekerja di sektor akomodasi dan penyediaan makan-minum, didominasi oleh daerah-daerah di destinasi wisata utama nasional, seperti Bali dan Yogyakarta. Serupa dengan daerah wisata, daerah dengan kekayaan SDA yang berlimpah cenderung menarik investasi dari luar daerah dan karenanya tenaga kerja luar wilayah, bahkan menarik investasi dan tenaga kerja asing. Daerah kaya SDA ini didominasi oleh daerah sentra tambang migas dan batu bara seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Papua.
Dari keterpaparan eksternal (international exposure) yang tinggi inilah, banyak daerah di luar Jawa meski memiliki kepadatan penduduk yang rendah, tetap memiliki risiko penyebaran Covid-19 yang tinggi. Kabupaten Mimika, misalnya, di mana PT Freeport berlokasi, tercatat menjadi episentrum wabah di Papua Barat. Kota Denpasar yang merupakan gerbang Bali sebagai destinasi wisata dunia, menjadi episentrum wabah di Bali.
Determinan penyebaran Covid-19 terpilih terakhir adalah mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk baik yang dilakukan secara rutin maupun insidental dominan dipengaruhi oleh aktivitas bekerja. Mobilitas akibat motivasi ekonomi ini adalah sumber penyebaran Covid-19 yang signifikan terkait frekuensi dan jumlah pergerakan manusianya. Daerah dengan mobilitas penduduk yang sangat tinggi ini didominasi oleh kawasan aglomerasi, di mana kota inti menjadi pusat bisnis dengan daerah penyangga menjadi kawasan permukiman. Segregasi fungsional kawasan metropolitan di Indonesia ini menjadi sumber utama tingginya jumlah perjalanan harian, seperti di Jabodetabek, Surabaya Raya, Bandung Raya dan Medan Raya.
Kami mendekati mobilitas penduduk ini dengan 3 variabel, yaitu penduduk yang bekerja di luar wilayah (asal komuter), penduduk daerah lain yang bekerja di dalam wilayah (tujuan komuter), dan penduduk yang bermigrasi ke daerah lain (asal diaspora).
Sebagai misal, 472 ribu penduduk Kota Bekasi dan 462 ribu penduduk Kota Depok pulang dan pergi setiap hari untuk bekerja ke luar wilayah: fakta yang mengukuhkan status keduanya sebagai dormitory city. Sementara itu, Jakarta Selatan setiap hari menjadi tujuan dari 777 ribu orang dari daerah lain yang bekerja di wilayah Jakarta Selatan.
Terkait mobilitas penduduk ini maka dapat dikatakan hampir tidak ada daerah yang benar-benar aman dari risiko penyebaran Covid-19. Hal ini terjadi karena Covid-19 menyebar mengikuti pergerakan manusia. Sebagai misal, 372 ribu dan 339 ribu pekerja kelahiran Kabupaten Kebumen dan Wonogiri, kini bertempat tinggal di luar Kebumen dan Wonogiri, sehingga para diaspora ini amat berpotensi melakukan perjalanan ke Kebumen dan Wonogiri sebagai daerah tempat kelahiran meski insidental, seperti mudik.
New normal berbasis risiko
Dengan perbedaan tingkat risiko penyebaran Covid-19 antardaerah, maka menjadi penting untuk mendesain new normal yang berbeda antardaerah. Jika seandainya saat ini wabah telah reda dan new normal menjadi wajar untuk diadopsi, maka semestinya protokol /new normal tidaklah seragam, namun berbeda sesuai tingkat risiko penyebaran Covid-19: semakin tinggi tingkat risiko penyebaran Covid-19 suatu daerah, semakin ketat protokol new normal yang harus diadopsi oleh daerah tersebut.
Protokol new normal dasar untuk semua daerah meliputi mengenakan masker wajah dan face shield, kebiasaan mencuci tangan dan jaga jarak aman fisik. Protokol new normal untuk semua daerah lainnya adalah peningkatan kapasitas pengujian (testing) serta pelacakan dan karantina kontak erat kasus (tracing) secara masif.
Namun untuk daerah dengan tingkat risiko lebih tinggi, maka protokol new normal yang lebih ketat harus diberlakukan. Misal, untuk daerah dengan risiko tinggi seperti kawasan perkotaan, sekolah tetap harus diliburkan (school from home). Untuk kawasan aglomerasi-metropolitan, terutama di Jawa, bahkan perkantoran dan pabrik pun tetap harus diliburkan (work from home). Protokol ini terus dilakukan hingga wabah benar-benar reda atau vaksin telah ditemukan.
Peran pemerintah daerah menjadi krusial untuk menetapkan tingkat risiko penyebaran Covid-19 ini. Dengan lebih memahami kondisi riil epidemiologi dan kapasitas sistem kesehatan daerah, pemerintah daerah dapat menentukan protokol new normal mana yang paling sesuai untuk daerah mereka. Jangan pernah bertaruh dengan keselamatan masyarakat: nyawa yang hilang tidak akan pernah bisa dipulihkan!
Artikel asli: https://www.republika.id/posts/7716/pertaruhan-new-normal-di-tengah-pandemi