Setelah lebih dari 5 bulan melanda Indonesia, pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) membawa kerusakan ekonomi yang masif, bayang resesi menghadang di depan. Pandemi yang masih jauh dari mereda ini akan terus menjadi ancaman utama resesi yang lebih buruk ke depan. Namun respon otoritas fiskal dalam RAPBN 2021 cenderung konservatif, tidak ada lompatan besar untuk membenahi pengelolaan APBN secara fundamental. Tidak ada transformasi besar untuk memulihkan kesehatan, tidak ada strategi besar untuk membangkitkan ekonomi. APBN tetap dikelola secara mainstream.
Pandemi membuka kebebalan pengelolaan APBN: belanja terikat, yaitu beban utang dan belanja birokrasi, terus bertahta meski krisis melanda. Ketika kebutuhan terhadap perlindungan sosial dan penyelamatan dunia usaha dari kebangkrutan meningkat drastis, menambah utang secara radikal dengan mudah menjadi pilihan. Tidak terlihat sense of crisis, tidak terlihat terobosan signifikan untuk efisiensi, non-discretionary expenditure tetap tak tersentuh meski pandemi mengharu biru. APBN-pun semakin dalam terbenam dalam kubangan utang.
Atas nama penanggulangan pandemi, defisit anggaran diizinkan menembus batas 3 persen dari PDB, dari rata-rata 2,3 persen dari PDB pada 2016-2019, menjadi 5,9 persen dari PDB pada 2020-2021. Erosi fiskal yang signifikan ini mengkhawatirkan karena konsolidasi fiskal ke depan hanya bertumpu pada kenaikan penerimaan. Dengan berlakunya pemotongan tarif PPh badan dan proyeksi harga komoditas dunia yang suram, tanpa kebijakan fundamental untuk memotong non-discretionary expenditure dan efisiensi pengeluaran, relaksasi defisit diatas 3 persen dari PDB ini berpotensi berlanjut hingga melebihi 2023.
Tanpa pandemi, kinerja penerimaan perpajakan (tax ratio) kita adalah rendah, rata-rata 10,1 persen dari PDB pada 2016-2019. Pasca Covid-19, kapasitas fiskal diproyeksikan jatuh drastis, hanya 8,5 persen dari PDB pada 2020-2021.Ketika RAPBN 2021 membuat asumsi pertumbuhan ekonomi yang ambisius, di kisaran 5 persen, target tax ratio hanya 8,39 persen, turun dari target 2020 (outlook) di 8,57 persen dengan outlook pertumbuhan kontraksi 1 persen. Konsolidasi fiskal menuju defisit 3 persen dari PDB pada 2023, sebagaimana amanat UU No. 2/2020, menjadi tidak kredibel.