Seiring pandemi Covid-19, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 mengalami revisi signifikan, dari 5,3 persen jatuh menjadi -2,0 persen. Dalam skenario pertumbuhan pasca pandemi ini, akan ada tambahan pengangguran hingga 5 juta orang. Seiring proyeksi suram ini, pemerintah menggelontorkan stimulus Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, dengan program utama untuk mitigasi pengangguran adalah program Kartu Prakerja.
Namun, baru bergulir pada 11 April 2020 lalu, program Kartu Prakerja menuai kontroversi. Program turunan dari janji kampanye Presiden Jokowi ini menelan anggaran hingga Rp 20 triliun pada tahun 2020, dengan pagu anggaran penyelenggaraan pelatihan sebesar Rp 5,6 triliun. Alokasi anggaran untuk setiap peserta Kartu Prakerja ditetapkan Rp 3,55 juta, dengan Rp 1 juta untuk biaya pelatihan, Rp 2,4 juta untuk insentif pasca pelatihan selama 4 bulan dan Rp 150 ribu untuk insentif pengisian 3 kali survey evaluasi.
Program Kartu Prakerja yang semula dirancang untuk situasi normal sebagai pelatihan vokasi dengan 3 tahapan yaitu training, magang dan sertifikasi, kemudian dimodifikasi sekaligus sebagai bantuan sosial (bansos) seiring pandemi Covid-19. Sasaran program kemudian diperluas hingga 5,6 juta orang dengan alokasi anggaran berlipat dari semula Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Sasaran utama program yang semula adalah para pencari kerja, kini ditambahkan dengan korban PHK. Tujuan program yang semula adalah pembekalan kompetensi kerja murni, kini ditambahkan dengan perluasan kesempatan kerja.