Lahan pertanian pangan Indonesia, terutama sawah, sejak lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif. Lahirnya UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) tidak mampu menurunkan tekanan alih fungsi lahan ini. Sepanjang 2013 – 2019, lahan sawah nasional berkurang 287 ribu hektar, dari 7,75 juta hektar pada 2013 menjadi 7,46 juta hektar pada 2019. Alih fungsi lahan sawah di Jawa dimana 46,5 persen sawah berada, terutama untuk proyek residensial, sedangkan alih fungsi di luar Jawa, terutama di Sumatera (23,5 persen), Sulawesi (13,0 persen) dan Kalimantan (9,7 persen), lebih banyak untuk kepentingan pertanian lain, seperti perkebunan sawit, dan non-residensial.
Lemahnya dukungan daerah untuk menetapkan LP2B dan mengintegrasikannya dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota) membuat alih fungsi lahan sawah terus terjadi dan cenderung semakin tidak terkendali. Respon pemerintah cenderung lamban dan inkonsisten. Setelah 10 tahun UU No. 41/2009 diundangkan, terbit Perpres No. 59/2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah dengan tujuan utama mempercepat penetapan LP2B dan data spasial-nya oleh daerah. Namun setahun kemudian, terbit UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang mempermudah dan mempercepat proses akuisisi lahan untuk kepentingan proyek pemerintah dan bisnis skala besar, sehingga alih fungsi lahan sawah terus terjadi secara masif.