Pekerja menyelesaikan pembuatan suku cadang sepeda motor di sebuah pabrik kawasan Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan. tempo Minat konsumsi masyarakat terpantau melemah di tengah tren kenaikan inflasi dan sinyal resesi perekonomian global pada 2023. Pelemahan terjadi seiring dengan menurunnya penjualan eceran kelompok suku cadang dan aksesori, makanan dan minuman, serta BBM.
JAKARTA — Minat konsumsi masyarakat terpantau terus melemah di tengah tren kenaikan inflasi dan sinyal resesi perekonomian global pada 2023. Bank Indonesia, dalam Survei Penjualan Eceran, memprediksi kinerja penjualan eceran dan retail akan mengalami penurunan pada September 2022. Hal itu tampak dari indeks penjualan riil (IPR) pada September 2022 yang sebesar 200,0 atau terkontraksi -0,9 persen secara bulanan dibanding pada Agustus 2022.
Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Junanto Herdiawan, berujar bahwa pelemahan itu seiring dengan penurunan penjualan pada kelompok suku cadang dan aksesori; kelompok makanan, minuman, dan tembakau; serta bahan bakar kendaraan bermotor. “Jika dirinci, kelompok suku cadang dan aksesori mencatatkan kontraksi -12,7 persen; bahan bakar kendaraan bermotor -8,6 persen; serta makanan, minuman, dan tembakau -0,5 persen,” ujarnya, kemarin, 11 Oktober 2022.
Sehari sebelumnya, Survei Konsumen Bank Indonesia pada periode September 2022 juga menunjukkan pelemahan optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi. Indeks keyakinan konsumen (IKK) pada September 2022 tercatat sebesar 117,2, lebih rendah dibanding pada Agustus 2022 yang sebesar 124,7.
Junanto mengatakan pelemahan optimisme konsumen akan kondisi ekonomi saat ini didasarkan pada melemahnya keyakinan akan penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. “Sejalan dengan penurunan persepsi konsumen terhadap penghasilan, keyakinan konsumen dalam membeli barang tahan lama (durable goods) juga terpantau menurun dibanding pada bulan sebelumnya,” katanya.
Peneliti ekonomi makro dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Askar, menuturkan pelemahan indeks penjualan eceran atau retail sebagian besar dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang pada September lalu menyentuh angka 5,95 persen secara tahunan.
“Prediksi kami, inflasi ini masih merupakan dampak ronde pertama. Ke depan, kita masih akan menyaksikan dampak ronde kedua, di mana penjual akan mulai menyesuaikan harga jualnya dengan kenaikan harga barang mentah dan input produksi akibat kenaikan harga BBM,” ucapnya. Adapun proyeksi Ideas untuk inflasi Oktober 2022 adalah 6,5-6,8 persen secara tahunan.
Selain kenaikan harga BBM, menurut Askar, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia dapat mempengaruhi penurunan indeks penjualan eceran. Pasalnya, suku bunga dalam hal ini bertindak membimbing inflasi agar dapat menurun melalui dua transmisi, yaitu permintaan uang dan barang.
“Dengan dinaikkannya suku bunga, masyarakat mungkin akan memilih menabung dibanding membelanjakan uangnya,” kata dia. Walhasil, tingkat permintaan masyarakat akan barang dan jasa menurun, begitu juga dengan indeks penjualan eceran.
Askar menambahkan, barang-barang yang akan paling terkena dampaknya adalah barang-barang tahan lama atau durable goods, seperti produk otomotif, rumah, dan furnitur. Di sisi lain, perekonomian diprediksi sedikit melambat pada triwulan III 2022 dibanding kondisi pada triwulan II 2022. “Proyeksi kami, pertumbuhan ekonomi triwulan III akan sebesar 5,0-5,2 persen sehingga pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun sebesar 5,2-5,4 persen,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan kenaikan harga yang terjadi membatasi kemampuan daya beli masyarakat kelompok menengah ke bawah. Sedangkan bagi kelompok menengah ke atas, pelemahan daya beli yang terjadi cenderung bersifat temporer. “Begitu juga dengan indeks penjualan retail, akan ada proses penyesuaian yang kemudian menyebabkan penjualan bisa kembali naik mengikuti berangsur pulihnya mobilitas masyarakat karena dampak pandemi yang mereda,” ucapnya.
Konsumsi yang tertahan, kata Piter, diikuti dengan pergeseran fokus masyarakat pada investasi, tapi dengan pilihan instrumen yang makin sempit karena mempertimbangkan risiko gejolak global. “Kelompok menengah atas akan memilih instrumen investasi yang minim risiko, seperti deposito atau surat berharga negara (SBN), dan mengurangi penempatan pada saham.”[]
ni telah tayang di Koran Tempo Edisi 12 Oktober 2022 dengan judul “Berapa Jumlah Ideal BLT BBM Bagi Rakyat Miskin”, Klik untuk baca: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/477153/bagaimana-minat-konsumsi-masyarakat-di-tengah-inflasi-dan-ancaman-resesi
Penulis: NABILLA ALYA | GHOIDA RAHMAH