JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menganggap kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk rokok rata-rata 10 persen pada 2023 dan 2024 terlalu kecil. Selain itu, kebijakan meningkatkan tarif cukai rokok dinilai tidak cukup untuk mengendalikan konsumsi rokok.
“YLKI pernah mengusulkan (kenaikan cukai rokok) 20 persen,” kata Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, saat dihubungi Tempo kemarin, 6 November.
Kamis lalu, pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau untuk rokok rata-rata 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya. SKM I dan II akan naik di kisaran 11,5-11,75 persen; SPM I dan SPM II meningkat 11-12 persen; sedangkan SKP I, II, dan III naik sekitar 5 persen.
Menurut Agus, kenaikan tarif cukai rokok perlu diiringi kebijakan tambahan. Untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok, terutama kelompok muda khususnya, diperlukan larangan penjualan per batang, penerapan kawasan tanpa rokok yang baik dan benar, larangan iklan promosi dan sponsorship, serta perluasan peringatan kesehatan bergambar.
Agus juga menilai perlu ada penyederhanaan layer tarif cukai. Sebab, sistem tarif cukai di Indonesia memungkinkan industri untuk tetap memproduksi rokok lain untuk menghindari tarif cukai kelompok tertentu. “Ini berakibat pada munculnya rokok baru dengan harga lebih murah,” kata dia.
Direktur Institute for Demographic Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono juga menyoroti celah ini. Struktur tarif cukai yang masih kompleks membuka kesempatan untuk produsen menekan harga jual rokok agar tetap terjangkau konsumennya. Menurut dia, kategori tarif yang saat ini terdiri atas delapan lapis perlu dikurangi sehingga tak ada ruang untuk menghindari pungutan. “Idealnya, layer cukai cukup satu,” kata dia.
Celah ini tecermin dari temuan Ideas yang menunjukkan jumlah perokok yang masih meningkat meskipun ada kenaikan tarif cukai. Dalam periode 2019-2021, justru terjadi tren kenaikan pengisap rokok.
Pada 2019, jumlah perokok Indonesia mencapai 57,2 juta jiwa. Jumlahnya bertambah pada tahun berikutnya menjadi 57,6 juta jiwa dan pada 2021 mencapai 59,3 juta jiwa. Sementara itu, total konsumsi rokok pada 2021 tercatat 248 juta batang. Angka itu lebih tinggi daripada rata-rata konsumsi dua tahun sebelumnya yang mencapai 246,1 batang.
Ideas mencatat 92,5 persen dari total perokok ini merupakan kategori perokok berat. Jikalau mereka memutuskan untuk berhenti, umumnya hal itu karena tubuhnya sudah tidak mampu menanggung komplikasi penyakit yang didapat dari kebiasaan merokok. Bahkan, di kalangan masyarakat miskin, pengeluaran rokok merupakan pengeluaran terbesar kedua, setelah beras.
Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, Risky Kusuma Hartono, menuturkan, penyederhanaan layer cukai bakal berkontribusi menurunkan angka perokok anak usia 10-18 tahun. Selain itu, perlu ada kenaikan tarif yang lebih tinggi dari 10 persen. “Kalau studi itu menyarankan (kenaikan tarif cukai) 20-25 persen,” tuturnya. Apalagi rokok masih bisa dibeli secara ketengan alias per batang. Dengan situasi sekarang, target pemerintah mengurangi jumlahnya menjadi 8,7 persen pada 2024 bakal sulit dicapai.
Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyarankan pemerintah menetapkan kenaikan harga jual minimum rokok. Dia menyatakan ada perbedaan harga yang lebar antara rokok murah dan rokok mahal karena tarif cukai rokok kretek tangan naiknya hanya 5 persen. Sedangkan jenis rokok lain bisa naik hingga 12 persen. “Tren ini sudah berlangsung 10 tahun terakhir,” tuturnya.
Adapun bagi Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (ATMI), kenaikan tarif cukai rokok kretek 5 persen sangat memberatkan. Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono, menuturkan, selama tiga tahun berturut-turut industri hasil tembakau mengalami tantangan karena kenaikan tarif cukai jauh di atas inflasi. “Akan sangat bijaksana jika cukai sigaret kretek tangan tidak dinaikkan, mengingat segmen ini merupakan segmen padat karya,” ujarnya. Hananto meminta Presiden meninjau ulang kebijakan kenaikan tarif cukai ini.
Petugas mengecek pita cukai rokok di Kantor Pusat Bea dan Cukai, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Kenaikan Cukai Rokok Efektif di Negara Tetangga
Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) dalam laporannya, The Tobacco Control Atlas: ASEAN Region, yang diterbitkan tahun lalu menyebutkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu kebijakan fiskal yang paling efektif mengurangi konsumsi rokok. Khususnya bagi konsumen yang sensitif terhadap harga, seperti anak muda dan masyarakat miskin. World Health Organization bahkan merekomendasikan setidaknya 70 persen dari harga retail produk hasil tembakau dikenakan cukai.
SEATCA mencatat, di Asia Tenggara, banyak negara telah memperkuat kebijakan cukai maupun pajak rokok mereka. Thailand menjadi negara yang membebankan pungutan tertinggi terhadap hasil tembakau, yaitu 78,6 persen dari harga retail. Di urutan selanjutnya ada Filipina dengan 71,3 persen dan Singapura 67,5 persen. Kebijakan fiskal tersebut telah diiringi dengan menurunnya prevalensi perokok sekaligus kenaikan penerimaan negara.
Dalam kasus Thailand, tercatat sudah ada 11 kali kenaikan cukai rokok dalam periode 1991-2012. Kebijakan ini menghasilkan kenaikan penerimaan negara dari US$ 530 juta ke US$ 1,99 miliar. Sedangkan angka prevalensi merokok turun dari 32 persen pada 1991 menjadi 12,4 persen pada 2011.
Pada 2017, Thailand meluncurkan aturan baru yang lebih ketat soal cukai rokok. Hingga 2020, tercatat total penerimaan negara tersebut dari rokok sebesar US$ 2,09 miliar. Sedangkan penjualan rokok turun ke angka 1,68 miliar bungkus dari 2017 yang sebanyak 2,01 miliar bungkus.
Di Singapura, kenaikan cukai rokok drastis terjadi pada 2014, yaitu mencapai 10 persen. Kebijakan ini didorong kenaikan prevalensi merokok periode 2004-2010 dan fakta bahwa belum pernah ada penyesuaian pungutan sejak 2005. Dari cukai senilai Sin$ 0,388 per batang kurang dari 1 gram, pada 2020 cukainya sudah naik menjadi Sin$ 0,427 per batang kurang dari 1 gram. Kebijakan ini menaikkan harga jual per 20 batang rokok, dari Sin$ 12 menjadi Sin$ 14.
Sebelum 2014, angka prevalensi merokok dari kalangan 18-69 tahun sebesar 13,3 persen. Angkanya tercatat turun menjadi 10,6 persen pada 2019.
Dalam penjelasannya pada Kamis lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu pertimbangan pemerintah menaikkan cukai rokok rata-rata 10 persen pada 2023 dan 2024 adalah menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun ditargetkan turun menjadi 8,7 persen.
Selain itu, kenaikan cukai rokok diharapkan menekan konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan. Angka tersebut hanya lebih rendah daripada konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
Menurut Kementerian Keuangan, kebijakan cukai rokok selama ini efektif menekan konsumsi rokok, tecermin dari turunnya konsumsi rokok pada 2020 sebesar 9,7 persen dari tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya indeks kemahalan rokok sebesar 12,6 persen.
JIHAN RISTIYANTI | VINDRY FLORENTIN
Artikel ini telah tayang di Koran Tempo Edisi 07 November 2022 dengan judul “Silang Pendapat Cukai Rokok”, Klik untuk baca: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/477822/bagaimana-kontroversi-kenaikan-cukai-rokok