TEMPO.CO,JAKARTA – Pemerintah berencana kembali menarik utang baru sebesar Rp 648,1 triliun. Hal itu tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 yang diumumkan sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI. Penarikan utang ini kian membubungkan tumpukan utang, di mana per Juli lalu total utang pemerintah telah mencapai Rp 7.855,53 triliun.
Kebijakan menambah utang baru itu dibutuhkan untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Pada tahun ini, defisit APBN mencapai 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB) sehingga pemerintah butuh mengutang Rp 696,3 triliun. Sedangkan untuk tahun depan, pemerintah membutuhkan utang sekitar Rp 522,85 triliun guna menutupi anggaran yang diproyeksikan defisit 2,29 persen terhadap PDB.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan utang baru juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lainnya, seperti pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, dan pembayaran kewajiban utang. “Utang adalah salah satu instrumen dalam membiayai APBN untuk mencapai tujuan pembangunan,” ujar dia kepada Tempo, kemarin, 18 Agustus 2023. Utang juga dilakukan untuk membiayai prioritas pembangunan yang tidak bisa ditunda, menjaga momentum pertumbuhan, serta menghindari hilangnya kesempatan dalam mendorong kinerja perekonomian.
Agar hasil utang optimal, Suminto menjelaskan, pengadaan utang dilakukan dengan filosofi utang sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Penarikan utang pun dilakukan secara terukur dan terencana dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Ia mengimbuhkan, penggunaan utang difokuskan untuk memaksimalkan aktivitas perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta disalurkan untuk kebutuhan belanja prioritas, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Menurut Suminto, pengelolaan utang yang diikuti kinerja APBN melalui pendapatan negara yang tinggi akan mendorong kebutuhan pembiayaan yang lebih rendah. Outlook realisasi defisit APBN 2023 pun diperkirakan turun menjadi 2,30 persen, sehingga pembiayaan utang yang diperlukan juga lebih kecil, yaitu menjadi Rp 406,4 triliun. “Realisasi utang neto hingga akhir Juli 2023 sebesar Rp 194,9 triliun atau 47,96 persen dari target.”
Kementerian Keuangan memastikan pemerintah mengelola utang secara hati-hati dan akuntabel. Mengacu pada Undang-Undang Keuangan Negara, tingkat rasio utang pemerintah wajib dijaga tak melebihi 60 persen dari PDB dan defisit APBN maksimal 3 persen terhadap PDB. Adapun rasio utang terhadap PDB hingga Juli 2023 tercatat sebesar 37,78 persen.
“Angka tersebut tergolong rendah dibanding negara-negara peers (sebaya).” Suminto mencontohkan, Malaysia memiliki rasio utang 60,4 persen, Filipina 60,9 persen, Thailand 60,96 persen, Argentina 85 persen, Brasil 72,87 persen, serta Afrika Selatan 67,4 persen.
Belanja Ditambah, Penerimaan Stagnan
Berbagai klaim tersebut tak mengaburkan fakta bahwa pemerintah terus menarik utang baru dengan jumlah signifikan akibat anggaran yang terus defisit. Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies, Yusuf Wibisono, berujar bahwa kondisi ini terjadi sebagai kombinasi dua faktor utama: penerimaan negara yang tak optimal dan ketidakmampuan pemerintah menekan pengeluaran atau belanja negara.
Tak optimalnya penerimaan negara tampak dari rasio perpajakan dalam RAPBN 2024, yang hanya diproyeksikan sebesar 10,1 persen dari PDB, nyaris tak meningkat dari outlook APBN 2023 yang diperkirakan sebesar 10 persen dari PDB. “Di sisi lain, beban pengeluaran terikat, seperti belanja pegawai, belanja barang, dan transfer ke daerah, tidak pernah diturunkan serta selalu mengambil porsi dominan dibanding belanja modal dan belanja sosial.”
Di tengah kondisi penerimaan yang relatif stagnan, pemerintah justru berencana kembali menambah pengeluaran. Salah satunya dengan rencana menaikkan gaji aparatur negara hingga 12 persen dan pensiunan pegawai negeri hingga 12 persen. Kenaikan gaji aparatur negara yang ketiga kalinya pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini membutuhkan tambahan anggaran mencapai Rp 52 triliun untuk pos belanja pegawai.
Yusuf berpendapat, argumen pemerintah dalam berutang cenderung spekulatif, dengan klaim bahwa utang disebut akan digunakan untuk kegiatan produktif demi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari bunga utang. Dengan demikian, penerimaan perpajakan diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. “Tapi ketika pemerintah gagal mendorong pertumbuhan dan menarik pajak, (kurangnya penerimaan) harus dibayar mahal dengan berutang kembali.”
Merunut secara historis, penerbitan utang baru pemerintah memang terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penerbitan SBN pada 2004 hanya sebesar Rp 32,3 triliun. Sepuluh tahun kemudian, nilai penarikan utang lewat SBN melonjak hingga mencapai Rp 439 triliun.
Di era pemerintahan Jokowi, penerbitan SBN kian melambung. Pada 2015, jumlahnya sebesar Rp 522 triliun. Empat tahun kemudian, jumlah utang lewat obligasi melonjak hingga Rp 922 triliun. Masa pandemi mendorong pemerintah kian jorjoran mencetak pinjaman, dengan nilai penerbitan SBN menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Pasca-pandemi, penerbitan obligasi mulai menurun, meski secara jumlah tetap tinggi, yaitu sebesar Rp 1.097 triliun pada 2022.
Produktivitas Utang Diragukan
Produktivitas tumpukan utang tersebut bisa terlihat dari dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada masa Presiden Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2010-2014 rata-rata mencapai 6,0 persen per tahun. Sedangkan pada masa pemerintahan Jokowi, 2015-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi turun hanya 5 persen per tahun. Yusuf mengimbuhkan, pada masa pandemi, kegagalan merangsang pertumbuhan ekonomi semakin masif dengan implikasi lonjakan utang yang terus bertambah.
Kondisi kian mengkhawatirkan, kata dia, karena pemulihan ekonomi yang cenderung berjalan lambat makin memperparah lingkaran jebakan utang. Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, yaitu 2020-2024, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan hanya akan mencapai rata-rata 3,5 persen per tahun. Adapun dengan perkembangan terbaru, posisi utang pemerintah pada akhir pemerintahan Jokowi bisa mencapai kisaran Rp 8.500 triliun.
Ekonom dari Center of Economic and Reform Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan produktivitas utang juga dapat dilihat dari realisasi PDB yang dihasilkan. “Ketika produk domestik bruto meningkat tinggi, rasio utang akan mengecil meski pemerintah menarik utang baru.” Namun, jika melihat dinamika kondisi perekonomian beberapa tahun terakhir dan mengecualikan kondisi pandemi, rasio utang terhadap PDB justru meningkat.
Artinya, kata Rendy, peningkatan perekonomian tidak lebih besar daripada peningkatan nominal utang yang dilakukan oleh pemerintah. “Salah satu alasan ini bisa terjadi adalah beberapa pos belanja yang diperkirakan bisa meningkatkan PDB itu belum bekerja secara optimal, baik yang dibiayai melalui utang maupun yang tidak.”
Idealnya, Rendy mengimbuhkan, setiap utang yang ditarik dapat digunakan untuk program belanja yang spesifik ingin disasar pemerintah. “APBN harus bersifat outcome based, bukan hanya sekadar output based.” Dengan demikian, setiap belanja yang dikeluarkan pemerintah perlu disertai evaluasi seberapa mampu belanja itu menyasar atau tidak hasil yang ingin dicapai dari setiap kegiatan atau program tersebut. “Jadi, nanti bisa dipertanggungjawabkan setiap satu rupiah yang ditarik dari utang digunakan untuk beragam program apa saja.”
Sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/483952/pemerintah-menambah-utang-baru