TEMPO.CO,JAKARTA — Penarikan utang baru oleh pemerintah yang terus meningkat dari waktu ke waktu dinilai kian membebani keuangan negara. Hal ini, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies Yusuf Wibisono, terlihat dari besaran bunga dan cicilan pokok utang yang harus dibayar pemerintah saban tahun terus berlipat.
Yusuf mengambil contoh beban utang dari surat berharga negara (SBN). Pada 2015, beban bunga utang tersebut sekitar Rp 300 triliun. Empat tahun kemudian, angkanya melonjak hingga menembus Rp 700 triliun. Pada tahun ini, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga diproyeksikan naik hingga mendekati Rp 1.000 triliun, dan kembali bisa menembus Rp 1.100 triliun pada tahun depan. “Kita sudah masuk dalam jebakan utang, berutang untuk bayar utang,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 18 Agustus 2023.
Akar masalah dari situasi tersebut, menurut Yusuf, adalah strategi pengelolaan utang yang terfokus pada refinancing atau pembiayaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang jatuh tempo. Walhasil, pemerintah harus menarik utang baru untuk menutup kewajiban utang lama, sehingga stok utang tidak pernah menurun. “Pengelolaan portofolio utang sekadar debt switching dan buy back, dengan pemanis term and conditions yang lebih baik.”
Di sisi lain, ia menilai, tidak ada reformasi anggaran mendasar yang dilakukan pemerintah, seperti meningkatkan rasio perpajakan atau menurunkan beban pengeluaran. Ketika reformasi perpajakan gagal meningkatkan rasio perpajakan, reformasi birokrasi pun gagal menurunkan belanja pegawai, belanja barang, dan transfer ke daerah. Defisit anggaran akibat belanja negara yang lebih tinggi ketimbang pendapatan tersebut diatasi dengan cara kembali berutang.
Sebagai catatan, berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi outstanding utang pemerintah hingga Juni 2023 secara total mencapai Rp 7.805,2 triliun. Jumlah itu bersumber dari utang SBN sebesar Rp 6.950,1 triliun, pinjaman luar negeri Rp 830,6 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 24,5 triliun.
Stok utang pemerintah yang terus meningkat, ditambah beban kewajiban yang semakin memberatkan, ujar Yusuf, bakal menimbulkan konsekuensi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. “Sudah banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa semakin tinggi stok utang pemerintah, maka semakin rendah pertumbuhan ekonominya,” ucapnya.
Apalagi, belakangan pemerintah menyebut bakal kembali menyiasati defisit anggaran dengan utang jumbo. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp 648,1 triliun, sehingga posisi uang pemerintah pada akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo diprediksi berada di kisaran Rp 8.500 triliun.
Beban Bunga Terus Naik
Stok utang pemerintah yang semakin besar juga bakal membuat alokasi anggaran publik semakin tidak bersifat pro-kesejahteraan rakyat, melainkan berfokus pada pembayaran bunga utang yang masif. “Dengan sebagian besar anggaran publik mengalir ke kelompok elite, bahkan ke luar negeri, daya beli dan permintaan secara agregat akan selalu tertekan, dan membuat pertumbuhan ekonomi di bawah tingkat optimalnya,” ujar Yusuf.
Tren beban bunga utang pemerintah memang terus meningkat. Alokasi pembayaran bunga utang pada 2019 tercatat sebesar Rp 275,88 triliun, dan naik menjadi Rp 441,4 triliun pada 2023. Adapun untuk membayar bunga utang pada tahun depan, dalam RAPBN 2024, pemerintah menganggarkan dana hingga Rp 497,31 triliun, sedikit lebih besar dari anggaran perlindungan sosial tahun depan yang sebesar Rp 493,5 triliun. Dengan duit sebanyak itu, pemerintah berencana membayar bunga utang dalam negeri sebesar Rp 456,84 triliun dan bunga utang luar negeri sebesar Rp 40,46 triliun.
Kondisi tersebut membuat rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak meningkat jadi 21,5 persen pada tahun depan. Saat ini, rasio tersebut berada di kisaran 20,6 persen. “Hampir seperempat penerimaan perpajakan habis untuk membayar beban bunga utang saja. Ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas,” ucap Yusuf.
Ia juga menilai paradigma pembayaran bunga utang tersebut sangat pro-kreditor dan investor, tapi abai terhadap kondisi debitor. Akibatnya, pembayaran bunga utang akan terus mendapatkan prioritas tertinggi, sementara kemampuan negara untuk melakukan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat melemah. Sebagai gambaran, anggaran pembayaran bunga utang dalam RAPBN 2024 naik 12,7 persen dari anggaran pada tahun ini. Sedangkan anggaran perlindungan sosial tahun depan hanya ditambah 12,4 persen.
Di sisi lain, kemampuan pemerintah membayar bunga utang diragukan. Salah satu tolok ukur kemampuan pembayaran utang pemerintah ini adalah kondisi keseimbangan primer APBN, yang harus bernilai positif dari beban bunga utang. Risiko utang dinyatakan terjaga ketika keseimbangan primer atau selisih antara penerimaan negara dan belanja negara dikurangi bunga utang bernilai positif. Jumlahnya pun harus cukup untuk membayar bunga utang.
Kenyataannya, APBN mengalami defisit keseimbangan primer sejak 2012, dan melonjak drastis pada masa pandemi. Pada 2020, defisit keseimbangan primer menembus Rp 600 triliun, dan menurun menjadi Rp 431 triliun pada 2021. Pada 2022, defisit keseimbangan primer memang turun drastis menjadi Rp 78 triliun pada 2022, dan pada tahun ini diperkirakan semakin turun menjadi Rp 49 triliun. Pada RAPBN 2024, defisit keseimbangan primer diperkirakan sebesar Rp 25 triliun.
Dengan kondisi yang masih terus negatif, pemerintah harus terus membuat utang baru untuk sekadar membayar bunga utang. Idealnya, kata Yusuf, surplus keseimbangan primer cukup besar agar tak hanya mencukupi untuk pembayaran bunga utang, tapi juga cicilan pokok utang. Jika cicilan pokok utang tak diperhitungkan, defisit keseimbangan primer berpotensi semakin buruk.
Dibayangi Berbagai Risiko
Pemerintah sendiri berkali-kali mengklaim rasio utang saat ini masih aman. Klaim terbaru, dalam pidato nota keuangan di Kompleks Parlemen, Rabu lalu, Jokowi menyatakan bahwa rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara anggota G20 dan ASEAN. Rasio utang Indonesia per Juli lalu adalah 37,8 persen terhadap PDB, turun dari posisi kedua tahun lalu yang sebesar 40,7 persen.
Sementara itu, rasio utang negara lain, seperti Malaysia, berada di 66,3 persen; Cina 77,1 persen; dan India 83,1 persen. Namun negara-negara tersebut menerapkan aturan fiskal dan pengendalian utang berkelanjutan untuk menahan tingkat utang pemerintah agar tak membengkak. “Agar setiap rezim pemerintahan bertanggung jawab secara fiskal dan mencegah inkonsistensi dari preferensi pemerintah,” kata Yusuf.
Hal lain yang digemborkan pemerintah adalah komposisi utang yang didominasi utang dalam negeri yang mencapai 72,49 persen dan 89,04 persen berasal dari SBN. Kementerian Keuangan mengklaim strategi ini merupakan upaya pengelolaan utang agar risikonya terkendali. Namun, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, laju pertumbuhan utang yang didominasi oleh SBN atau utang publik juga tidak serta-merta diartikan aman.
Risiko yang mengintai atas kondisi tersebut, ujar Bhima, adalah crowding out effect akibat penerbitan SBN yang terlalu agresif. “Bisa dibayangkan serapan SBN itu mau dibeli siapa. Bank tentunya akan memarkirkan banyak dana di SBN. Akibatnya, penyaluran kredit bisa melambat dan mengganggu pertumbuhan sektor riil.” Adapun, pada tahun depan, komposisi utang diproyeksikan bakal terdiri atas 93 persen surat berharga dan 7 persen dari pinjaman. “Artinya, kita akan membayar bunga pasar yang jauh lebih mahal.”
Pada 2024, pemerintah juga harus mewaspadai tekanan pengelolaan utang yang disebabkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi dinamika beban pembiayaan. Beberapa di antaranya, kata Bhima, arus modal keluar yang disebabkan faktor wait and see investor akibat pemilu. Kemudian kreditor bisa saja meminta bunga lebih tinggi sebagai kompensasi kenaikan suku bunga di negara maju. “Stabilitas inflasi juga dapat membuat penyerapan utang baru kemungkinan tidak optimal.”
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menyatakan bahwa pemerintah terus menjaga risiko portofolio utang. Dengan begitu, ia meminta masyarakat tak perlu khawatir akan jumlah utang pemerintah yang terus bertambah. “Pemerintah lebih mengandalkan penerbitan utang dalam denominasi rupiah,” ujarnya. Ia menyebutkan, per akhir Juli 2023, outstanding utang rupiah itu sebesar 72,4 persen dengan rata-rata jatuh tempo 8,15 tahun.
Suminto mengklaim, strategi pengelolaan utang pemerintah tersebut mendapat apresiasi dari pasar dan investor. Hal ini, ujarnya, mengindikasikan bahwa pemerintah mampu membayar kewajibannya. “Asesmen lembaga-lembaga pemeringkat kredit utama, termasuk R&I, pada 25 Juli lalu, mengafirmasi rating Indonesia pada posisi BBB+ dan menaikkan outlook menjadi positif.”
Sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/483950/beban-utang-pemerintah-bertambah