KUMPARAN.COM, JAKARTA-Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menyoroti hubungan kemitraan antara aplikator dan mitra ojek daring yang cenderung merupakan satu arah dimana pihak aplikator memiliki relasi kuasa yang nyaris mutlak terhadap mitra ojek daring.
“Hubungan satu arah tanpa interaksi timbal balik ini terjadi karena rendahnya daya tawar mitra ojek daring. Lemahnya daya tawar mitra ojek daring terlihat rendahnya respon pihak aplikator atas aspirasi pihak mitra,” kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (16/08/2023).
Survei IDEAS terhadap pengemudi ojek daring mengungkapkan bahwa hanya 4,9 persen responden yang menyatakan aspirasinya direspon positif dan ditindaklanjuti dengan cepat oleh pihak aplikator. Sedangkan 81,3 persen responden menyatakan aspirasi mereka hanya direspon secara “basa-basi” melalui aplikasi atau bahkan tidak pernah direspon sama sekali dimana semua aspirasi diabaikan sepenuhnya.
Relasi kuasa pihak aplikator sangat terlihat jelas dari besarnya insiden pemberian sanksi ke mitra ojek daring, yang umumnya dilakukan secara sepihak, berupa pembekuan akun (suspend) yang berlaku dari 30 menit hingga 7 hari.
“Sebanyak 45,3 persen responden mengaku pernah terkena suspend untuk berbagai alasan, mulai dari sering menolak atau membatalkan order, mendapat rating yang rendah dari pelanggan, sering menyampaikan keluhan ke pihak aplikator, saldo top-up sering tidak mencukupi, hingga spesifikasi motor yang tidak sesuai dengan ketentuan aplikator,” beber Yusuf.
Temuan lain dalam survei tersebut juga menunjukkan pengemudi ojek daring didominasi oleh pekerja usia 21-40 tahun (74,6 persen) dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan adalah SMA/SMK (66,7 persen).
“Dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan adalah SMA/SMK, mayoritas ojek daring tidak memiliki ketrampilan atau keahlian kerja yang memadai, yang menjelaskan rendahnya daya tawar dan kapasitas mencari pekerjaan alternatif dari ojek daring,” ujar Yusuf Wibisono.
Rendahnya kapasitas mencari pekerjaan alternatif ojek daring ini selaras dengan temuan kami berikutnya bahwa mitra ojek daring umumnya telah memiliki masa kerja antara 4-8 tahun (60,8 persen).
“Semakin tua usia mitra ojek daring, semakin lama masa kerja mereka. Terdapat indikasi awal bahwa ojek daring telah bertransformasi menjadi profesi permanen bagi tenaga kerja kota tanpa keahlian,” tutur Yusuf.
Yusuf menambahkan Menjadi mitra ojek daring adalah pilihan ekonomi kaum miskin kota yang tak bisa dihindari untuk bertahan hidup, bukan sebuah jenjang karir atau alternatif menunggu untuk pekerjaan di sektor formal dengan penghasilan tetap yang lebih tinggi.
“Rendahnya tingkat mobilitas, daya tawar dan kapasitas mencari pekerjaan alternatif, membuat ojek daring rentan dengan eksploitasi dan terpaksa menjalani pekerjaan yang tak layak,” ucap Yusuf.
Selain itu, Yusuf menilai bahwa akar penyebab kerentanan mitra ojek daring dari eksploitasi kerja adalah keterwakilan yang sangat tidak memadai dalam pembuatan keputusan-keputusan penting dimana pihak aplikator sangat mendominasi hubungan kemitraan.
Pekerja dan buruh pada umumnya meningkatkan daya tawar mereka di hadapan perusahaan dengan mengorganisasikan diri dan menyuarakan aspirasi mereka secara kolektif. Namun perusahaan aplikator tidak mengakui adanya serikat pekerja dengan alasan ojek daring adalah mitra yang memiliki hubungan setara.
“Survei IDEAS menujukan sebesar 67,1 persen responden menyatakan bahwa perusahaan aplikator secara eksplisit melarang mitra ojek daring untuk bergabung atau membentuk serikat pekerja. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini dapat berimplikasi serius bagi mitra ojek daring mulai dari terkena suspend bahkan putus mitra” papar Yusuf.
Rendahnya daya tawar ojek daring membuat mereka dipaksa menerima berbagai keputusan penting yang dibuat pihak aplikator secara sepihak tanpa melibatkan mereka sama sekali.
“Keputusan penting yang dibuat aplikator tanpa melibatkan mitra ojek daring terentang dari penurunan tarif per kilometer, pengenaan sanksi baik suspend ataupun putus mitra, pemotongan dan penentuan nilai bonus yang semakin sulit, menaikkan jumlah minimum penerimaan order dan ketentuan tingkat performa, hingga sistem rating dari pelanggan yang semakin ketat,” ungkap Yusuf.
Arah kebijakan yang menjanjikan ke depan adalah mendorong keterwakilan yang lebih memadai bagi mitra ojek daring, bahkan transformasi kelembagaan platform digital menjadi koperasi.
“Dengan kelembagaan koperasi, platform digital akan dimiliki, dikontrol dan dikendalikan oleh pekerja lepas-nya. Dengan keterwakilan yang memadai, aspirasi mitra ojek daring yang kini terbungkam, akan dapat disuarakan dengan lebih keras dan diakomodasi secara lebih proporsional,” tutup Yusuf.
Sumber: https://m.kumparan.com/amp/ideas-riset/relasi-kuasa-pihak-aplikator-terhadap-pengemudi-ojek-daring-hampir-mutlak-2109g6HnuF7