Wacana besar untuk merumuskan kembali sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan UUD 1945, bergema dalam Kongres ISEI XVII di Bukittinggi akhir Juli lalu. Fenomena ini menarik dan penting untuk dicermati. Pada kampanye Pilpres 2009 lalu bahkan isu ekonomi neoliberal begitu keras disuarakan. Semua ini bermuara pada hal yang sama: ada ketidakpuasan yang semakin membesar dan mengental tentang sistem ekonomi yang kita anut sekarang ini.
Setelah lebih dari enam dekade merdeka, hingga kini kita masih berkutat pada berbagai permasalahan ekonomi mendasar yang tak kunjung terselesaikan seperti kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan dan infrastruktur dasar. Di saat yang sama, berbagai permasalahan struktural lainnya kian menyeruak seperti daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merekonstruksi ulang sistem ekonomi Indonesia.
Konstitusi dan Perekonomian
Konstitusi adalah basis dari tata perekonomian. Konstitusi memainkan peran penting dalam membentuk wajah perekonomian suatu negara. Sebagai misal, perekonomian Amerika Serikat yang liberal, dibentuk oleh Konstitusi Amerika Serikat yang mengedepankan kebebasan ekonomi (economic liberties). Sedangkan perekonomian Perancis yang lebih egaliter dan merata, dibentuk oleh Konstitusi Perancis 1946 yang mencerminkan semangat komunal.
Perubahan sistem ekonomi dimulai dari perubahan konstitusi. China beralih ke sistem pasar dengan mengubah konstitusi komunis menjadi konstitusi yang pro-pasar, dimulai dengan Amandemen 1993 yang mengadopsi sistem pasar sosialis (socialist-market economy) hingga Amandemen 2004 yang mengakui kepemilikan pribadi.
Indonesia memiliki pengalaman yang paradoks. Walau konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, secara jelas telah mengamanatkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan sektor produksi strategis dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun wajah perekonomian kita demikian liberal. Berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan berbagai UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi seperti UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan dan UU No. 21/2001 tentang Migas pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, pasal 28 ayat 2-3.
Pemerintah juga dianggap gagal memenuhi amanat Pasal 27 UUD 1945: menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan. Hingga kini jutaan penduduk negeri berstatus pengangguran dan jutaan lainnya berdiaspora di penjuru dunia untuk mencari nafkah yang tidak dapat mereka peroleh di negeri sendiri. Pemerintah hingga kini juga dianggap belum mampu memberi jaminan sosial bagi seluruh lapiran masyarakat sesuai amanat Pasal 34 UUD 1945.
Selain sistem ekonomi, kinerja perekonomian juga banyak ditentukan oleh sistem politik yang menaungi. Sistem politik dan kenegaraan mempengaruhi kebijakan ekonomi dan kinerja perekonomian. Person dan Tabellini (2004) menunjukkan bahwa Pemerintahan presidensial pada demokrasi dengan kualitas yang rendah, akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Kombinasi eksekutif yang kuat dengan lingkungan politik yang buruk dimana penyalahgunaan kekuasaan merajalela, banyak bertanggungjawab atas rendahnya kinerja perekonomian.
Pasca krisis 1997, Indonesia mengalami perubahan sistem politik dan kenegaraan yang signifikan yang berdampak signifikan pada kebijakan ekonomi dan kinerja perekonomian seperti kembali-nya sistem multipartai dan fragmentasi politik, penguatan peran parlemen, Presiden dipilih langsung oleh rakyat hingga menguatnya peran daerah melalui otonomi dan desentralisasi fiskal.
Perubahan signifikan terjadi pada tiga institusi makroekonomi terpenting yaitu Bappenas, Bank Indonesia (BI), dan Departemen Keuangan (Depkeu). Bappenas yang sebelumnya sangat berkuasa dan bertindak sebagai super-body, banyak dilucuti kekuasaannya dan kemudian dialihkan ke Depkeu. Di saat yang sama, BI menjadi independen dan sepenuhnya bebas dari intervensi pemerintah. Akibatnya, koordinasi kebijakan fiskal-moneter menjadi jauh lebih sulit dilakukan pasca reformasi, begitupun halnya dengan sinkronisasi antara perencanaan, penganggaran dan implementasi program pembangunan.
Ke depan, Indonesia membutuhkan rancang bangun sistem ekonomi baru, dimana ekonomi rakyat mendapat penghormatan yang semestinya, kontrol terhadap aset, sektor ekonomi dan sumber energi strategis bangsa terjaga, industri nasional yang tangguh dan mandiri serta strategi penguasaan sains dan teknologi yang jelas. Selain rekayasa ekonomi, pada saat yang sama dibutuhkan juga rekayasa politik dan sosial untuk mempercepat transformasi ekonomi bangsa.
Sistem Ekonomi Alternatif
Yang menarik, dalam forum Kongres ISEI XVII muncul juga wacana sistem ekonomi alternatif yaitu sistem ekonomi syariah. Hal ini menarik karena bila kita melihat konstitusi, terdapat begitu banyak ketentuan-ketentuan ekonomi dalam konstitusi yang sangat selaras dengan nilai dan prinsip ekonomi Islam.
Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 misalnya, secara jelas mengindikasikan bahwa perekonomian harus berdasar atas mutualism dan brotherhood, sesuatu yang sangat selaras dengan ekonomi Islam yang berdasar atas keadilan dan ukhuwwah. Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 selaras dengan salah satu pilar terpenting ekonomi Islam bahwa komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai bersama dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahkan maqashid shariah memiliki perspektif lebih luas bahwa kemakmuran tidak hanya berdimensi material namun juga moral dan spiritual.
Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa kesejahteraan rakyat berawal dari pekerjaan yang layak, sangat selaras dengan ekonomi Islam yang berfokus pada sektor riil dan penciptaan lapangan kerja. Dalam sistem Islam, semua transaksi keuangan harus memiliki transaksi riil (underlying transactions). Dengan demikian, semua aktivitas perekonomian selalu terkait dengan aktivitas sektor riil dan karenanya penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu, pasal 34 ayat 1 UUD 1945 secara jelas selaras dengan ekonomi Islam bahwa filantropi harus dilakukan untuk yang tidak mampu bekerja secara optimal karena kefakiran, kemiskinan dan keterlantaran. Islam memiliki banyak instrument filantropi seperti zakat dan wakaf yang semestinya dapat mendukung pemerintah untuk menunaikan salah satu amanat terpenting konstitusi ini.
Secara singkat, upaya menegakkan konstitusi dalam perekonomian Indonesia sesungguhnya sangat selaras dengan semangat ekonomi Islam yang menekankan nilai-nilai keadilan yang bersumber dari kepercayaan terhadap Tuhan yang menciptakan bumi dan air dan segalanya isinya untuk kepentingan semua manusia.Ekonomi syariah selayaknya ditempatkan dalam konteks yang luas seperti ini, tidak hanya secara sempit dipandang sebagai perbankan syariah dan zakat semata.
Yusuf Wibisono, “Merumuskan Kembali Sistem Ekonomi Indonesia”, Koran Tempo, 7 Agustus 2009.