Babak Baru Sengketa Ekspor Nikel

TEMPO.CO,JENEWA – Perselisihan dagang antara Uni Eropa dan Indonesia mengenai larangan ekspor nikel dan kewajiban pengolahan di dalam negeri masih jauh dari berakhir. Setelah panel Dispute Settlement Body World Trade Organization (WTO) menyatakan Indonesia melanggar aturan perdagangan internasional pada 30 November 2022, Presiden Joko Widodo mengajukan permohonan banding pada 8 Desember tahun lalu ke Appellate Body WTO.

Persoalannya, badan banding sedang vakum sejak 30 November 2020 karena blokade yang dilakukan Amerika Serikat. Negara itu menganggap lembaga penyelesaian sengketa ataupun badan banding WTO cenderung merugikan kepentingan nasionalnya. Karena blokade itu, pengajuan banding Indonesia tidak dapat diproses. Larangan ekspor nikel dan kewajiban pengolahan di dalam negeri pun berlanjut.

Situasi kini semakin memanas lantaran pada 7 Juli lalu Komisi Uni Eropa melaksanakan konsultasi dengan para anggota Uni Eropa untuk mempertimbangkan penerapan Enforcement Regulation terhadap Indonesia. Enforcement Regulation memungkinkan Uni Eropa melakukan tindakan balasan atas pelanggaran aturan dagang oleh negara lain yang berdampak pada kepentingan anggotanya.

Situs web Uni Eropa menyebutkan masa konsultasi berlangsung hingga 1 September 2023. Berdasarkan hasil konsultasi itu nantinya, Komisi Uni Eropa akan mengusulkan tindakan balasan pada musim gugur mendatang, yang berarti sekitar akhir September. Tindakan balasan itu bisa berupa pengenaan bea masuk atau pembatasan kuantitas impor ataupun ekspor barang.

Sengketa dengan Uni Eropa berawal dari kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020, antara lain, untuk mendorong penghiliran. Sebelum pelarangan itu diterapkan, Uni Eropa mengajukan keberatan berupa permintaan konsultasi dengan Indonesia pada 22 November 2019, dengan alasan pembatasan ekspor dilakukan secara tidak adil dan merugikan industri baja tahan karat di Benua Biru.

Karena proses konsultasi tidak membuahkan hasil, pada 14 Januari 2021, Uni Eropa meminta pembentukan panel WTO. Setelah melalui serangkaian konsultasi dan pemeriksaan, panel WTO pada 30 November 2022 menyatakan larangan ekspor bijih nikel dan kewajiban pengolahan di dalam negeri menyalahi aturan perdagangan internasional. Indonesia dinilai gagal membuktikan larangan itu untuk membangun industri domestik dan menjaga lingkungan.

WTO Minta Indonesia Patuh

Kepada Tempo, dalam rangkaian WTO Public Forum 2023 di Jenewa, Swiss, Rabu, 13 September lalu, Deputi Direktur Jenderal WTO Xiangchen Zhang menyampaikan, ketimbang berkeras mengajukan permohonan banding kepada badan yang tengah vakum, Indonesia sebaiknya mengikuti putusan panel sengketa WTO dan mengubah kebijakan larangan ekspor nikel serta menggelar konsultasi dengan Uni Eropa. “Saya berpendapat Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan ekonominya demi strategi jangka panjang,” kata Zhang.

Mantan Wakil Menteri Perdagangan Cina ini mengimbuhkan, Indonesia bisa mengikuti langkah Cina ketika menghadapi gugatan Amerika dalam kasus restriksi ekspor logam tanah jarang (rare earth) pada kurun waktu 2012-2014. Restriksi ekspor tersebut mencakup penerapan bea ekspor, kuota ekspor, dan pembatasan perusahaan yang diizinkan melakukan ekspor.

Dalam kasus tersebut, kata Zhang, yang juga pernah menjabat Duta Besar Cina untuk WTO, panel WTO menyatakan Cina melanggar ketentuan perdagangan internasional. Negeri Panda kemudian menaati putusan tersebut dan mengubah kebijakan ekspor tanah jarang sesuai dengan aturan main perdagangan. “Sekarang semuanya sudah stabil. Saya berpendapat Indonesia perlu melakukan proses yang sama.”

Zhang mengaku tidak menyarankan Indonesia mengajukan upaya banding, terlebih karena saat ini Appellate Body tidak berfungsi dan baru akan dibahas dalam pertemuan para menteri perdagangan atau Ministerial Conference ke-13 pada 26 Februari 2024. Indonesia, kata dia, juga tidak bergabung dengan The Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA) sebagai lembaga banding sementara yang beranggotakan 47 anggota WTO. “Indonesia tidak tergabung dalam MPIA sehingga sebenarnya tidak ada mekanisme banding yang bisa ditempuh,” ujar dia.

Kritik terhadap Uni Eropa

Isu sengketa nikel ini juga dibawa dalam rangkaian WTO Public Forum 2023 oleh pegiat lingkungan dari Indonesia. Berbicara dalam salah satu agenda mengenai perdagangan dan ekstraksi mineral kritikal, Rachmi Hertanti dari Trans National Institute, mengecam sikap Uni Eropa yang memaksakan kehendaknya kepada Indonesia.

Rachmi menuding Uni Eropa telah menghalang-halangi keinginan negara berkembang mendapatkan nilai tambah ekonomi dari pengolahan mineral, seperti nikel, untuk kebutuhan pembangunan ekonomi hijau dan melakukan transisi energi. Sebagaimana diketahui, pemerintah ingin membangun ekosistem kendaraan listrik yang memerlukan banyak pasokan nikel.

“Uni Eropa menilai seolah-olah Indonesia ingin mengeblok perdagangan. Padahal kebijakan itu semata-mata bertujuan mendorong level of playing field yang sama dalam konteks ekonomi hijau,” kata dia.

Rachmi pun menilai Uni Eropa bersikap mendua. Ia menjelaskan, Uni Eropa memiliki The Critical Raw Materials Act (CRM Act) yang bertujuan mengamankan pasokan material-material penting yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim dan teknologi digital. CRM Act juga menyatakan Uni Eropa akan mendukung agenda negara mitranya untuk meningkatkan nilai tambah melalui investasi di bidang pengolahan material kritikal.

“Sampai sekarang tidak jelas investasinya dalam bentuk apa. Uni Eropa hanya menawarkan kerja sama perdagangan jasa. Tapi dalam konteks mendukung penghiliran industri, tidak jelas apakah akan membikin pabrik atau bagaimana,” ujar Rachmi. Ia menyatakan Uni Eropa semestinya tidak mendesak pemerintah menghapuskan larangan, melainkan membangun kerja sama guna mendukung agenda pembangunan.

Walaupun mendukung larangan ekspor dan penghiliran, Rachmi mengkritik pemerintah Indonesia yang gagal memanfaatkan momentum larangan untuk memperkuat agenda pembangunan nasional, melakukan penghiliran industri, ataupun mengatur tata kelola pertambangan nikel. Sebab, faktanya, kata dia, hampir semua nikel Indonesia diekspor dalam bentuk setengah jadi berupa feronikel atau matte bagi kebutuhan industri baja negara lain.

“Peran negara dalam konteks ini tidak jelas. Seharusnya, ketika larangan ekspor diberlakukan, itu kesempatan pemerintah mengatur produksi, pemenuhan kebutuhan industri, tapi realitasnya semua untuk diekspor.” Selain itu, pemerintah tidak mempunyai agenda yang jernih dalam meningkatkan konsumsi kendaraan listrik domestik. Dengan demikian, kalaupun industri kendaraan listrik akhirnya terbangun, produknya hanya mengisi kebutuhan pasar global.

Aktivitas produksi Nikel Sulfat di PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL), Pulau Obi, Maluku Selatan, 17 Juni 2023. TEMPO/Subekti.

Penghiliran Setengah Matang

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, punya pendapat berbeda soal sengketa nikel. Dia mengungkapkan bahwa kekalahan Indonesia di WTO dan respons pemerintah yang melakukan upaya banding tidak menguntungkan dalam konstelasi ekonomi global. Musababnya, negara-negara kini sudah sangat bergantung satu sama lain.

Mengajukan permohonan banding di kala badan banding WTO sedang vakum dapat pula dipandang sebagai tindakan mengabaikan putusan WTO. Berlanjutnya larangan ekspor nikel, kata Yusuf, berpotensi membuat Indonesia dikucilkan dari perdagangan dunia dan mendapat retaliasi dari Uni Eropa yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Yusuf menyebutkan salah satu bentuk retaliasi itu sudah dirasakan ketika Uni Eropa pada Mei 2023 menerbitkan Undang-Undang Anti-Deforestasi yang melarang masuk produk dari kawasan hasil penggundulan hutan. Indonesia, sebagai eksportir utama ke Uni Eropa, otomatis paling terkena dampak aturan itu karena berpotensi mempengaruhi ekspor kopi, kakao, karet, hingga kertas.

Andaikan badan banding WTO terbentuk pun, ujar dia, peluang Indonesia menang kecil karena argumen untuk pengembangan industri nasional telah ditolak. Argumen yang lebih dapat diterima dan berpotensi menang adalah alasan krisis pangan atau pelindungan lingkungan. “Namun argumen ini sulit digunakan karena pelarangan ekspor nikel kita justru membuat kerusakan lingkungan yang sangat masif di daerah sentra nikel.”

Adopsi strategi penghiliran nikel ini, kata Yusuf, sering diglorifikasi pemerintah dengan menonjolkan pendapatan ekspor nikel yang kini melesat tinggi, dari hanya sekitar US$ 3 miliar pada 2018 menjadi US$ 33 miliar pada 2022. Sayangnya, sejumlah kelemahan dan dampak negatif kebijakan penghiliran tidak diungkap secara utuh.

“Kebijakan penghiliran nikel sangat bergantung pada modal asing, minim kontribusi terhadap penerimaan negara, dan tidak banyak berkontribusi pada pendalaman struktur industri karena hanya menghasilkan produk setengah jadi,” tuturnya.

Begitu pula dengan pekerjaan pemurnian serta pengolahan yang sangat padat modal dan teknologi membuat investasi di penghiliran nikel sangat didominasi pihak asing, terutama smelter Cina yang melakukan relokasi ke Indonesia untuk mendapatkan bahan baku. Ideas menghitung, sepanjang 2020-2022, sebanyak 91,3 persen dari total investasi di industri logam dasar berupa penanaman modal asing (PMA).

Dominasi PMA tersebut, Yusuf menambahkan, membuat efek penghiliran terhadap pendapatan valas dan stabilitas nilai tukar rupiah rendah. “Pendapatan ekspor smelter direpatriasi ke perusahaan induk. Meski surplus neraca perdagangan terlihat besar, surplus dalam transaksi berjalan kecil,” kata dia.

Demikian juga dengan penerimaan negara dari penghiliran yang cenderung rendah. Pelarangan ekspor membuat harga bijih nikel di pasar domestik jatuh, jauh di bawah harga internasional, dan menurunkan penerimaan royalti. Dengan sebagian besar investasi penghiliran yang mendapat tax holiday, penerimaan pajak perusahaan cenderung minim.

Selain itu, peningkatan pendapatan pekerja cenderung rendah karena smelter bersifat sangat padat modal. Nilai tambah dari penciptaan lapangan kerja yang kecil ini pun masih harus dibagi antara tenaga kerja asing dan lokal lantaran perusahaan smelter Cina banyak membawa tenaga kerja dari negaranya, termasuk tenaga kerja tidak terlatih.

Terakhir, dengan belum beroperasinya industri antara dan hilir domestik, industrialisasi berbasis ekstraksi dan pengolahan nikel terkonsentrasi di tiga daerah saja, yaitu Morowali, Halmahera Selatan, dan Halmahera Tengah. Ketiadaan permintaan pasar domestik membuat produk setengah jadi nyaris seluruhnya diekspor sehingga manfaat penciptaan nilai tambah justru dinikmati negara lain. “Glorifikasi keberhasilan penghiliran dengan merujuk nilai ekspor nikel dan produk turunannya justru menjadi ironi besar,” kata Yusuf.

Walau begitu, ia membenarkan bahwa penghiliran komoditas adalah kebijakan yang sangat positif dan penting untuk menjadi negara maju. Hanya, penghiliran mesti ditopang birokrasi yang efisien, tenaga kerja yang terlatih, hingga dukungan riset dari universitas. Dengan begitu, penghiliran akan dapat meningkatkan kapasitas industri nasional, menyerap tenaga kerja lokal, dan menjaga kelestarian alam. “Tanpa rencana transfer teknologi, penguasaan industri, pelindungan lingkungan hidup, serta pengembangan industri hilir, kita hanya menjadi tempat relokasi industri kotor sekaligus menjadi pemasok barang setengah jadi ke kapitalis global,” ujar dia.

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, pernah mengatakan Uni Eropa berharap Indonesia mematuhi panel WTO. Ia mengakui Indonesia telah lama berkeinginan memberikan nilai tambah yang tinggi pada produk pertambangan dalam negeri, khususnya nikel. Namun Uni Eropa berharap penghiliran tetap menghormati aturan perdagangan. “Kami percaya penghiliran akan menarik banyak minat dari perusahaan Eropa. Tapi saat ini tentu saja kami memiliki situasi di mana hal itu terhalang,” kata Piket.

Persiapan Banding Pemerintah

Pemerintah sendiri memastikan sudah mempersiapkan sejumlah strategi untuk melawan Uni Eropa di pengadilan banding. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan telah bekerja sama dengan tim kuasa hukum dan tim ahli dalam penanganan sengketa nikel untuk mempertahankan kebijakan larangan ekspor. Berbagai kementerian dan lembaga juga berkoordinasi untuk memastikan argumen dalam persidangan dapat mematahkan keputusan panel WTO. “Pemerintah sudah menyusun poin-poin untuk menganulir keputusan panel WTO dan mengkaji dari berbagai aspek agar dapat menang,” katanya kepada Tempo, 25 April lalu.

Salah satu poin tersebut adalah pentingnya larangan ekspor supaya sejalan dengan peraturan di dalam negeri. Pemerintah mewajibkan penambang sumber daya alam mengolah komoditas tersebut di dalam negeri, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.

Tujuan penghiliran ini, antara lain, adalah melipatgandakan nilai komoditas dibanding dijual dalam kondisi mentah. Dampak pembangunan fasilitas pengolahan mineral di dalam negeri yang diharapkan pemerintah adalah tumbuhnya industri dan tambahan lapangan kerja baru. Terlebih saat ini nikel sudah menjadi produk esensial bagi Indonesia, yang memiliki mimpi mengembangkan industri baterai kendaraan listrik dan baja. “Larangan ekspor juga bersifat sementara,” ujarnya.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/484460/sikap-wto-atas-banding-nikel-indonesia