Hari-hari ini kita kembali menyaksikan salah satu fenomena terbesar negeri ini, mudik. Bagi masyarakat perantau, mudik adalah sebuah kewajiban. Ia adalah penyambung utama silaturahmi yang memberi energi baru untuk melanjutkan kehidupan di tanah perantauan. Hal ini kemudian bertemu dengan semangat religius Ramadhan dan Idul Fitri, yang akhirnya menciptakan mudik sebagai salah satu event ritual rutin tahunan terbesar di dunia. Di tahun 2009 ini diperkirakan akan terdapat 27,25 juta pemudik, naik hampir dua kali lipat dari pemudik tahun 2006 yang sekitar 14,42 juta orang. Dari puluhan juta pemudik ini, pengguna angkutan umum diprediksi mencapai 16,25 juta orang, sedangkan pengguna sepeda motor dan mobil pribadi mencapai 11 juta orang.
Dari satu perspektif, mudik adalah fenomena sosial yang positif. Mudik memberi andil yang besar dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan, solidaritas, dan harmoni sosial. Mudik juga menjaga nilai-nilai kultural antara pemudik dengan daerah asal-nya. Dampak ekonomi mudik juga tidak bisa dipandang remeh. Bersamaan dengan mudik, triliunan rupiah uang mengalir setiap tahun-nya ke daerah asal pemudik yang menggerakkan roda perekonomian lokal, memberi jaminan sosial dan melepaskan penduduk dari kemiskinan, walau mungkin temporer. Perekonomian nasional juga bergerak seiring pergerakan puluhan juta manusia, terutama melalui jalur konsumsi seperti di sektor transportasi, komunikasi, perdagangan, hotel, dan restoran.
Dengan berbagai argumen diatas, kita umumnya kemudian memberi toleransi besar bagi mudik, memberinya pembenaran dengan THR, memfasilitasi-nya dengan acara mudik bersama, dan bahkan mendorong-nya dengan membuat jadwal libur panjang setiap Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah dan swasta berlomba memberi kemudahan bagi para pemudik, mulai dari penyediaan armada transportasi hingga posko siaga mudik.
Inefisiensi Sosial-Ekonomi
Namun, ditinjau dari perspektif makro-jangka panjang, fenomena mudik sesungguhnya adalah inefisiensi, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Secara sosial, mudik identik dengan berbagai kerumitan yang sering menimbulkan biaya sosial yang tidak kecil. Pergerakan puluhan juta manusia dalam waktu yang relatif bersamaan rentan dengan berbagai masalah mulai dari kasus-kasus kriminalitas, kecelakaan transportasi yang menelan korban harta dan jiwa, hingga kemacetan luar biasa di berbagai jalur mudik.
Secara ekonomi, mudik menghabiskan begitu banyak sumber daya ekonomi. Sebagai misal, di tahun 2009 ini diperkirakan jumlah sepeda motor yang digunakan untuk mudik akan mencapai 3,9 juta unit. Untuk pergerakan jutaan kendaraan roda dua ini dipastikan puluhan juta liter BBM akan dihabiskan dan puluhan ton polutan dihasilkan hanya oleh pemudik sepeda motor ini saja. Untuk memfasilitasi pergerakan jutaan kendaraan darat ini, ribuan hektar tanah pertanian dikorbankan dan puluhan trilyun anggaran publik dihabiskan untuk membangun berbagai infrastruktur transportasi darat.
Secara makro, inefisiensi ekonomi dari mudik menjadi semakin tidak bisa dipandang remeh. Jika setiap pemudik menghabiskan Rp 1 juta untuk biaya pulang-pergi, maka dengan 27,25 juta orang pemudik, di tahun 2009 ini kita menghabiskan Rp 27,25 trilyun hanya untuk biaya transportasi mudik saja. Ditambah lagi para pemudik umumnya membawa uang atau oleh-oleh, yang umumnya untuk tujuan konsumsi jangka pendek di kampung halaman (demonstration effect). Jika setiap pemudik membawa uang atau oleh-oleh rata-rata Rp 2 juta per orang, maka di tahun 2009 ini pemudik menghabiskan Rp 54,5 trilyun. Bayangkan jika dana puluhan triliun tersebut yang setiap tahunnya habis sebagai konsumsi jangka pendek, kita gunakan untuk kegiatan ekonomi produktif-investasi, tentu akan memberi dampak ekonomi yang jauh lebih besar dan lestari dalam jangka panjang.
Akar Penyebab
Fenomena mudik di Indonesia berakar pada dua hal pokok. Pertama, ketidakseimbangan pembangunan antara Indonesia Barat dan Timur, khususnya antara Jawa dan Non-Jawa. Disparitas antar daerah ini sudah terjadi sejak awal pembangunan, dan hingga kini belum ada perbaikan berarti, bahkan nampak semakin mengental. Pada 1975, Kawasan Barat Indonesia (KBI) menguasai 84,6% PDB Nasional dengan Jawa yang hanya 9% dari luas wilayah menguasai 46,7% PDB nasional dan menjadi tempat bermukim 63,2% penduduk Indonesia. Lebih dari tiga dekade kemudian, pada 2008, KBI menguasai 81,3% PDB nasional dengan meninggalkan Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang hanya menguasai 18,7%. Dan supremasi Jawa atas Non-Jawa terlihat jelas dimana pada 2008 Jawa menguasai 57,9% PDB nasional dengan tiga propinsi-nya yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat, menguasai 46,0% PDB nasional.
Kedua, kesenjangan yang lebar antara perkotaan dan pedesaan. Daerah perkotaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi modern seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, komunikasi, dan jasa keuangan, mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari daerah pedesaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi tradisional seperti sektor pertanian dan pertambangan-penggalian. Pada 2008, pertumbuhan sektor pertanian hanya 4,8%, jauh dibawah sektor transportasi dan komunikasi yang tumbuh 16,7%, sektor listrik, gas dan air bersih 10,9%, dan sektor keuangan 8,2%. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional tahun 2008 hanya 14,4%, padahal hingga Februari 2009 sektor ini masih menampung 41,2% dari total tenaga kerja kita.
Kemiskinan sejak lama terkonsentrasi di daerah pedesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 44,2 juta orang, atau 81,5% dari total penduduk miskin. Lebih tiga puluh tahun kemudian, angka ini membaik namun masih tetap tinggi. Per Maret 2009, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 20,6 juta orang, sekitar 63,4% dari total penduduk miskin.
Kemajuan Jawa dan daerah perkotaan inilah yang menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat bagi urbanisasi, dan ketertinggalan luar Jawa dan daerah pedesaan menjadi faktor pendorong-nya (push factor). Puluhan juta manusia mengadu nasib ke kota karena kemiskinan di desa. Daerah-daerah maju menarik jutaan tenaga kerja terdidik dan terlatih, meninggalkan daerah miskin sehingga menjadi semakin tertinggal. Derap pembangunan di daerah maju tidak menyebarkan manfaat (spread effect), namun justru menghisap sumber daya perekonomian sehingga terkonsentrasi di daerah-daerah kaya (backwash effect), membuat daerah tertinggal tak pernah mampu mengejar ketertinggalannya.
Inilah wajah asli mudik. Ia adalah wajah kegagalan kita menciptakan pembangunan yang berkeadilan, antara KBI dan KTI, antara kota dan desa, antara sektor modern dan tradisional. Mudik adalah wajah kegagalan kita mentransformasi sektor pertanian kita menjadi sektor agro-industri modern berdaya saing tinggi. Mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan sumber-sumber keunggulan baru perekonomian. Mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemanusiaan, yang kemudian memaksa puluhan juta orang berdiaspora bahkan hingga ke ujung belahan dunia, meninggalkan sanak keluarga untuk sekedar menyambung nyawa. Mudik adalah wajah kegagalan kita mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial.
Dari tahun ke tahun, kita sibuk menghadapi mudik sebagai sebuah ritual rutin, yang bahkan seolah disakralkan. Namun tak banyak yang kita lakukan, jika tidak bisa dikatakan tidak ada, untuk mengurangi atau bahkan menghapus dampak negatif-nya. Beginilah kita, selalu melihat sesuatu dari luar dan terbiasa dengannya, namun malas untuk melihat akar masalah, terlebih mengatasi-nya.
Yusuf Wibisono, “Ekonomi Mudik”, Koran Tempo, 17 September 2009.