Menyingkap Dugaan Kartel Pinjol

TEMPO.CO, Jakarta — KPPU menemukan dugaan praktik kartel penetapan bunga pinjaman online (pinjol). OJK akan mengevaluasi pengawasan pinjol.

PANDU Syahputra terduduk memandangi layar telepon selulernya yang terus berkedip. Pesan berisi peringatan pembayaran tagihan dari sebuah platform pinjaman online (pinjol) terus membanjiri ponselnya, setelah dia gagal melunasi utangnya sesuai dengan tenggat sejak dua bulan lalu.

“Waktu itu terpaksa meminjam karena ada kebutuhan keluarga mendesak untuk biaya kesehatan. Memang prosesnya cepat, tapi ternyata bunga dan biaya lain-lain tinggi,” ucap dia kepada Tempo, kemarin.

Saat mengajukan pinjaman, Pandu mendapat pencairan sebesar Rp 3,2 juta untuk tenor 28 hari. Dari jumlah itu, Pandu dikenai bunga dan biaya layanan Rp 440 ribu. Maka total yang harus dibayar sebesar Rp 3.640.000. Namun jumlah tagihan itu terus berlipat ketika dia gagal menepati pembayaran sesuai dengan tenggat. “Sekarang jumlah yang harus saya bayar menyentuh Rp 4 juta karena keterlambatan dihitung denda setiap hari.”

Karyawan swasta 31 tahun itu cukup kaget dengan jumlah utang yang terus menumpuk. Padahal dia memastikan sudah memilih penyelenggara pinjol alias fintech lending resmi yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Saya belum mampu melunasi karena gaji bulanan masih habis untuk keperluan pengobatan keluarga. Saya sudah minta tambahan waktu, tapi bunga terus berjalan dan teror peringatan bayar tagihan terus masuk,” ucapnya. Pandu pun bertekad segera melunasi utangnya agar segera keluar dari jerat bunga tinggi industri pinjol.

Sejumlah alat dari jaringan sindikat pinjaman online ilegal saat gelar barang bukti di Bareskrim Polri, Jakarta, 15 Oktober 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Dugaan Kartel Pinjol

Keluhan bunga pinjol yang menyengsarakan para peminjam sudah lama dan telah berkali-kali disuarakan masyarakat, terutama lewat media sosial. Belakangan isu ini kembali mencuat setelah dikabarkan bahwa sejumlah nasabah pinjol yang tak mampu melunasi utangnya memilih mengakhiri hidup.

Fenomena itu pun mendapat sorotan. Namun, alih-alih OJK yang bergerak memeriksa penerapan bunga tinggi oleh perusahaan pinjol, inisiatif itu malah datang dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Rabu lalu, lembaga ini mulai menyelidiki dugaan kartel penetapan suku bunga pinjaman yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI).

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan penyelidikan awal ini berangkat dari inisiatif KPPU berdasarkan informasi dan berita yang berkembang di masyarakat. “Dugaan yang ditangani adalah ada asosiasi pelaku usaha yang seharusnya bersaing, tapi mereka malah secara bersama-sama mengatur biaya yang dibayarkan konsumen,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Berdasarkan penelitian, KPPU menemukan adanya pengaturan oleh AFPI untuk menentukan komponen pinjaman bagi konsumen. Bentuk pengaturan itu adalah penetapan suku bunga flat 0,8 persen per hari dari jumlah aktual pinjaman yang diterima konsumen. Deswin menuturkan KPPU menemukan penetapan AFPI itu diikuti semua anggota yang terdaftar di Asosiasi, dengan jumlah total 89 entitas fintech lending.

Tindakan AFPI itu, di mata KPPU, berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Karena itu, temuan ini kami tindaklanjuti untuk memperjelas identitas terlapor, pasar bersangkutan, dugaan pasal undang-undang yang dilanggar, kesesuaian alat bukti, ataupun kesimpulan perlu atau tidaknya dilanjutkan ke tahap penyidikan,” kata Deswin.

Pada dasarnya, ia melanjutkan, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian atau kesepakatan dengan pelaku usaha pesaingnya dalam menetapkan harga atas suatu barang dan jasa yang harus dibayar konsumen pada pasar yang sama.

Merespons temuan KPPU tersebut, Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menyatakan menghormati langkah yang diambil Komisi dan siap bekerja sama. “Kami akan mendukung dengan memberikan informasi yang lebih presisi mengenai masalah penetapan batas maksimum biaya layanan.”

Dia menjelaskan, Asosiasi menetapkan batas maksimal suku bunga dan biaya layanan justru untuk menghindari praktik predatory lending yang kerap dilakukan perusahaan pinjol ilegal. “Kami menetapkan bunga maksimum 0,8 persen per hari, kemudian ditinjau kembali, dan terakhir diturunkan menjadi maksimum 0,4 persen per hari.”

Meski AFPI menetapkan batas bunga maksimum, kata Kuseryansyah, pada praktiknya tak sedikit perusahaan pinjol yang menetapkan bunga dan biaya layanan lebih kecil dari 0,4 persen per hari. Hal itu didasarkan pada produk dan profil risiko setiap platform fintech lending. Lazimnya, penetapan suku bunga maksimum dilakukan berdasarkan inventarisasi komponen biaya layanan fintech lending. “Seperti biaya-biaya untuk KYC (know your customer), tanda tangan digital, asuransi, penagihan, kemudian bunga yang dibayar ke pemberi pinjaman (lender).”

Anggota AFPI Bidang Hukum, Etika, dan Perlindungan Konsumen, Ivan Tambunan, mempertanyakan temuan KPPU itu. Pasalnya, pengaturan batasan biaya dan bunga yang dilakukan Asosiasi adalah batas maksimum. “Kalau pengaturan harga dalam konteks kartel, seharusnya untuk harga minimum yang merugikan konsumen. Kalau ini, kan yang diatur bunga maksimum, justru untuk melindungi konsumen.”

Saat kembali dimintai konfirmasi, Deswin menyatakan, dalam penyelidikan dugaan kartel pinjol, KPPU tak membedakan pengaturan bunga maksimal atau bunga minimal. “Fokusnya adalah kesepakatan atau perjanjian antar-pelaku usaha yang bersaing.” Praktik ini berpotensi membentuk pasar persaingan tidak sempurna, tidak sehat, dan dapat merugikan kepentingan umum.

Pada proses penyelidikan nanti, KPPU akan memanggil dan meminta keterangan sejumlah pihak, dari AFPI, entitas penyelenggara fintech lending, hingga OJK selaku pengawas. KPPU pun membentuk satuan tugas khusus untuk menangani persoalan tersebut.

Proses penyelidikan awal akan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 14 hari, terhitung sejak keputusan pembentukan satgas. Ihwal dampak kerugian yang ditimbulkan, KPPU akan mendalaminya bersamaan dengan proses penyelidikan.

Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, 2018. TEMPO/Tony Hartawan

OJK Akan Atur Bunga Pinjol

Kebijakan AFPI menetapkan batas atas suku bunga dan biaya layanan itu dimungkinkan. Sebab, selama ini OJK memberikan keleluasaan kepada Asosiasi dengan kebijakan self-regulatory organization (SRO). OJK menerapkan kebijakan ini karena lebih relevan dengan pasar dan industri pinjol. Dengan demikian, kebijakan yang diambil dapat sejalan dengan dinamika pasar.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menjelaskan bahwa penerapan prinsip SRO bagi industri pinjol dilakukan untuk memberikan fleksibilitas yang mendukung pertumbuhan industri. “Industrinya memang masih baru dan terus tumbuh sehingga ke depan perlu diarahkan, khususnya terkait dengan orientasi pembiayaan.”

Maraknya kasus yang menimpa industri pinjol, toh pada akhirnya mendorong OJK meninjau ulang kebijakan SRO tersebut. Setelah KPPU menemukan dugaan praktik kartel di industri ini, OJK akan mengevaluasi pengawasan secara menyeluruh. Otoritas, kata Agusman, bakal memperbaiki regulasi serta mengambil alih wewenang penentuan bunga dan layanan pinjol secara langsung. “Ke depan, suku bunga ini akan kami atur langsung.”

Sementara itu, Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat menyesalkan temuan KPPU tersebut. Anggota Komisi Keuangan DPR, Said Abdullah, mengatakan AFPI seharusnya tidak diizinkan mengatur diri sendiri dengan alasan apa pun. Terlebih industri ini beroperasi dengan mengumpulkan dana publik. “Jika ada ruang kosong yang hampa aturan, dampaknya seperti yang terlihat saat ini, dugaan skandal kartel terjadi. OJK ceroboh,” ujarnya.

Sebagai regulator, OJK dibentuk untuk mengatur keseluruhan industri jasa keuangan dalam satu atap. Karena itu, seharusnya tidak ada pelaku industri keuangan yang diberi kewenangan mengatur praktik usahanya sendiri walau hanya terbatas pada aspek tertentu. “Kehadiran aturan dari OJK dibutuhkan untuk melindungi masyarakat tanpa perlu membebani industri yang masih akan tumbuh,” kata Said.

Ia menyayangkan temuan dugaan praktik kartel justru dilakukan KPPU, alih-alih OJK sebagai regulator dan pengawas industri jasa keuangan. Hal ini, menurut Said, menunjukkan kapasitas pengawasan OJK terhadap industri fintech lending belum optimal. “Atau jangan-jangan mereka tahu, tapi membiarkannya. Nanti Komisi XI DPR akan memanggil OJK,” ujarnya.

Aksi Bela Korban Pinjaman Online di depan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, 2019. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat

OJK Tak Boleh Lepas Tangan

Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan tingkat suku bunga maksimum yang ditetapkan AFPI sebesar 0,4 persen per hari atau 12 persen per bulan terhitung masih sangat tinggi. “Terutama dibanding suku bunga kredit usaha rakyat yang hanya di kisaran 7 persen per tahun.”

Tingginya suku bunga di industri pinjol, menurut Yusuf, menjadikan beban bunga dan pengembalian utang menjadi lebih berat bagi peminjam. Kondisi ini pun membuat semakin banyak masyarakat dengan kategori risiko tinggi yang menjadi peminjam. Akibatnya, peminjam akan terpaksa terlibat dalam aktivitas berisiko demi memenuhi kewajiban pembayaran utang.

Dengan karakter pasar demikian, kata Yusuf, seharusnya sejak awal OJK mengawal penetapan suku bunga agar tidak terjadi eksploitasi terhadap peminjam yang umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah. “Maka menjadi sebuah kesalahan besar ketika OJK menyerahkan penetapan batas atas ini justru ke asosiasi pinjol. Jelas asosiasi akan berpihak kepada perusahaan pinjol.”

Berdasarkan catatan Ideas, awalnya AFPI menetapkan suku bunga maksimal pinjol sebesar 0,8 persen per hari. Namun, pada 2021, OJK merilis hasil riset yang menyatakan tingkat suku bunga wajar pinjol sebesar 0,30-0,45 persen per hari. Karena itu, Asosiasi membuat kesepakatan baru dengan menurunkan tingkat bunga pinjaman maksimal 0,4 persen per hari. “Tapi dalam praktiknya, bunga maksimal itu hanya berlaku untuk kredit konsumtif dengan tenor di bawah 30 hari,” ujar Yusuf.

Peneliti Institute for Development and Economics and Finance, Nailul Huda, menuturkan OJK perlu menyusun peraturan yang bisa menjadi rujukan industri dalam menentukan bunga dan biaya pinjaman. “Ketentuannya harus tidak memberatkan peminjam sekaligus tetap menarik bagi pemberi pinjaman.” Otoritas juga perlu memasukkan perhitungan AFPI tentang biaya operasional dan model bisnis yang dijalankan.

Dengan keterlibatan OJK, kata Huda, prinsip pengaturan diri sendiri yang selama ini melekat pada AFPI akan gugur. “Otoritas harus memiliki kewenangan menetapkan suku bunga harian agar tidak ada lagi kesan industri yang menentukan suku bunga.”

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/484860/dugaan-kartel-pengaturan-bunga-pinjol