TEMPO.CO, JAKARTA – PT Kereta Cepat Indonesia China diperkirakan terus mengurangi tarif kereta cepat Jakarta-Bandung untuk menggenjot tingkat keterisian moda anyar ini. Target 30 ribu penumpang per hari sulit tercapai bila tarif keretanya mahal.
Bahkan target 10 ribu penumpang yang dibidik pada periode awal pengoperasian diproyeksikan muskil digapai. “Yang sekarang dilakukan itu pokoknya kereta cepat ini harus diselamatkan dengan bagaimana caranya menarik sebanyak mungkin penumpang. Salah satunya tarif enggak boleh mahal,” ujar ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance, Faisal Basri, dalam sebuah diskusi di Universitas Paramadina, kemarin.
Musababnya, Whoosh—jenama untuk kereta cepat Jakarta-Bandung—mesti bersaing dengan beberapa moda lain, seperti kereta api Argo Parahyangan, angkutan shuttle, bus, hingga mobil pribadi, yang menawarkan ongkos lebih murah. Belum lagi, kata Faisal, kalau pasar yang dibidik adalah masyarakat yang hendak berwisata sekeluarga. Ongkos yang perlu dikeluarkan untuk satu rombongan akan berlipat lebih tinggi ketimbang moda lain, terutama kendaraan pribadi.
Di luar itu, kereta cepat Jakarta-Bandung kalah soal fleksibilitas titik naik dan turun penumpang. Moda-moda transportasi jalan raya memungkinkan penumpang naik-turun di titik yang paling dekat dengan lokasi awal dan tujuan sehingga ongkos semakin efisien. Karena itu, Faisal yakin strategi menekan harga menjadi pilihan jika perusahaan ingin target keterisian tercapai.
Masalahnya, strategi itu diprediksi membuat periode balik modal semakin lama. Argumen Faisal ini didasari hitungan sederhana. Dengan asumsi kapasitas setiap rangkaian 601 orang dan tingkat keterisiannya 100 persen, waktu operasi 17 jam per hari dengan jumlah 36 kali perjalanan dan beroperasi sepanjang tahun, tarif Rp 300 ribu per hari, serta nilai investasi Rp 114,4 triliun, maka proyek ini baru balik modal setelah sekitar 48 tahun. Angka itu pun tidak menghitung ongkos operasi, bunga pinjaman, pendapatan non-operasional, dan variabel lain.
Waktu balik modal akan semakin lama jika asumsinya tidak ideal. Misalnya, ketika tingkat keterisian hanya 75 persen, break-even point tercapai dalam 64 tahun. Lalu apabila jumlah perjalanan hanya 30 perjalanan per hari, waktu kembalinya nilai investasi mencapai 77,3 tahun. Selanjutnya, jika tarif kereta diturunkan menjadi Rp 250 ribu per perjalanan, periode balik modal makin lama lagi: 92,7 tahun. Pergerakan kurs juga akan memperlama periode tersebut jika rupiah melemah. Dari hitung-hitungan tersebut, KCIC akan dihadapkan pada pilihan menekan tarif untuk meningkatkan keterisian tapi balik modal lebih lama atau mempercepat balik modal tapi keterisian jauh dari target.
Calon penumpang saat bersiap menaiki kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh di Stasiun Halim, Jakarta, 17 Oktober 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Tarif Promo Whoosh Rp 150 Ribu
Toh, prediksi Faisal tersebut nyatanya terbukti. KCIC kemarin mengumumkan tarif promo Whoosh sebesar Rp 150 ribu untuk sekali jalan sepaket dengan kereta pengumpan dari Stasiun Padalarang ke Stasiun Bandung atau sebaliknya. Sebelumnya, KCIC mengenakan tarif promo Rp 300 ribu.Tarif yang berlaku pada 18 Oktober-30 November 2023 tersebut diumumkan pada Sabtu, 14 Oktober lalu.
Sejak penjualan dengan tarif Rp 300 ribu itu dibuka pada 14-17 Oktober lalu, total tiket yang terjual baru 10.200 lembar untuk perjalanan pada 18-23 Oktober 2023. Rinciannya, 3.050 pemesanan tiket perorangan dan 7.150 lainnya pemesanan untuk rombongan. Setiap hari Whoosh dijadwalkan melayani tujuh perjalanan ke Bandung dan tujuh perjalanan ke Jakarta, dengan kapasitas kereta 601 penumpang per perjalanan.
Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi berharap tarif promo terbaru Rp 150 ribu per perjalanan itu akan membuat keterisian penumpang maksimum setiap hari. Artinya, terdapat 8.414 penumpang per hari. “Kami ingin mengajak lebih banyak orang merasakan kereta cepat karena saya yakin, begitu duduk, mereka pasti merasakan perbedaan,” ujarnya. Ia yakin tarif Rp 150 ribu itu akan menjadi daya tarik bagi masyarakat lantaran besarannya sama dengan moda-moda lain, seperti mobil shuttle.
Setelah masa promo selesai, Dwiyana mengatakan perusahaan akan mengumumkan kembali tarif yang ditetapkan untuk setiap perjalanan kereta cepat Jakarta-Bandung. Ia tak menutup kemungkinan tarif itu di bawah harga yang sudah digembar-gemborkan beberapa waktu lalu, yakni Rp 300 ribu per perjalanan. Tarif itu direncanakan bergerak dinamis seiring dengan potensi permintaan setiap waktunya. Ketika periode sepi, tarif akan diturunkan. Sementara itu, pada akhir pekan atau pada masa liburan, harga akan dipatok tinggi.
Rencana penetapan tarif tersebut juga akan dibarengi dengan eksplorasi strategi pemasaran ke depan. Dengan demikian, Dwiyana yakin, seiring dengan bertambahnya jumlah perjalanan yang dilayani, perusahaan akan bisa mencapai target 30 ribu penumpang per hari. Keterisian tersebut menjadi penting lantaran dalam beberapa waktu ke depan pendapatan dari penjualan tiket akan menjadi penopang utama penerimaan perusahaan sebelum meningkatnya penerimaan non-tiket.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono melihat perkara tarif masih akan menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih moda transportasi pada rute Jakarta-Bandung. Musababnya, kereta cepat tak bisa bersaing dalam hal fleksibilitas perjalanan dibanding moda transportasi jalan raya. Kecepatan yang digadang-gadang Whoosh juga dianggap semu bila melihat perjalanan point-to-point. Artinya, penumpang masih butuh waktu dari titik awal ke stasiun dan dari stasiun ke destinasi tujuan. Adapun stasiun-stasiun kereta cepat didesain tidak berada di pusat kota.
Calon penumpang saat memesan tiket kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh melalui ticket vending machine di Stasiun Halim, Jakarta, 17 Oktober 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Yusuf menilai tarif promo awal kereta cepat yang sebesar Rp 300 ribu masih sulit menarik masyarakat yang sudah terbiasa membeli tiket moda angkutan lain dengan harga Rp 100-200 ribu sekali jalan. Maka ceruk yang mungkin dibidik adalah pengguna mobil pribadi yang selama ini menghabiskan biaya untuk bensin, biaya tol, hingga perawatan mobil. Namun faktor kenyamanan kemungkinan besar akan mencegah mereka berpindah ke kereta cepat.
Karena itu, Yusuf khawatir tarif promo akan menjadi permanen demi mengejar jumlah penumpang. Ujung-ujungnya, kegagalan perseroan menarik penumpang berpotensi membuat pemerintah menggelontorkan subsidi bagi tiket tersebut dan akhirnya akan membebani anggaran negara dalam jangka panjang. Pada akhirnya, apabila perusahaan hanya mengandalkan penerimaan dari tiket, Yusuf mengatakan sulit memprediksi kapan proyek tersebut akan balik modal. “Perkiraan yang paling realistis untuk masa balik modal ini, menurut saya, adalah masa konsesi yang diminta oleh konsorsium.”
Guru besar Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, sepakat bahwa proyek sepur berkecepatan 350 kilometer per jam itu tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan dari tiket untuk bisa mengejar balik modal. Apalagi penerimaan dari tiket saja diperkirakan masih kurang untuk sekadar menutup biaya operasi dan perawatan selama setahun. Asumsinya, biaya operasi dan perawatan sebesar 3-5 persen dari nilai investasi. Dengan mengasumsikan nilai investasi sekitar Rp 112 triliun serta biaya operasi dan perawatannya 3 persen, setidaknya perusahaan perlu sekitar Rp 3 triliun.
Di sisi lain, jika perusahaan menetapkan tarif rata-rata Rp 300 ribu per penumpang per perjalanan dan jumlah penumpang setidaknya 10 ribu penumpang per hari, dalam 350 hari operasi selama setahun perusahaan hanya meraup Rp 1,05 triliun. Angka tersebut masih belum memperhitungkan inflasi, bunga pinjaman, hingga biaya modal yang telah dikeluarkan. “KCIC harus mampu menambah jumlah penumpang menjadi lebih dari 30 ribu penumpang per hari melalui berbagai strategi, seperti iklan serta menyediakan atraksi untuk bisa menarik dan memindahkan penumpang dari moda lain,” ujar Sutanto. Namun bentuk pengembangan itu juga akan memerlukan modal tambahan yang perlu diperhitungkan lagi. Karena itu, perusahaan juga harus menambah penerimaan dari jalur non-tiket.
Atas berbagai pandangan tersebut, Dwiyana mengatakan perusahaannya akan berupaya mencapai target balik modal selama 40 tahun. Selain dari tiket, ia mengatakan perusahaan akan menggenjot penerimaan dari pos non-tiket, misalnya dengan pengembangan kawasan berbasis transit, hak penamaan prasarana, hingga penyewaan lapak-lapak di stasiun kereta cepat. Untuk saat ini, penerimaan non-tiket yang sudah masuk salah satunya dari penyewaan lapak.
Adapun untuk pengembangan kawasan di sekitar stasiun, menurut Dwiyana, ada kemungkinan baru dimulai lima tahun lagi. Saat ini perseroan masih menjajaki investor untuk pengembangan tersebut sekaligus membenahi operasi untuk menggaet lebih banyak penumpang. “Trennya itu farebox (penerimaan dari tiket) dulu, baru non-farebox,” ujar Dwiyana. “Jadi kami menata penerimaan dari tiket, dan bila kemudian jumlah penumpangnya banyak, tentunya investor untuk TOD (transit-oriented development) akan datang sendiri, kok.”
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/485062/kapan-kereta-cepat-balik-modal