Agresi brutal Israel terhadap Gaza dalam sepekan terakhir, kembali menoreh luka bagi Palestina. Setiap kali duka Palestina terbuncah, setiap kali itu pula dunia mengutuk Israel. Lebih enam dekade berlalu, namun kebijakan dan sikap penjajah Israel tidak berubah sedikit-pun. Berbagai respon masyarakat dunia terhadap kejahatan Israel umumnya temporer, pragmatis-jangka pendek, dan retoris, yang cenderung tidak efektif dan tidak mampu merubah situasi secara signifikan. Di antara sedikit pilihan-pilihan respon yang signifikan dan efektif adalah boikot ekonomi.
Gerakan “Boycott, Divestment and Sanctions” (BDS), atau “Palestinian Civil Society Call for Boycott, Divestment and Sanctions” diluncurkan tahun 2005, yang berjuang untuk melawan kolonisasi, penjajajahan dan apartheid yang dilakukan Israel di Palestina. Gerakan ini serupa dengan “Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI)” yang diluncurkan setahun sebelumnya.
Pada 29 April 2012, gerakan BDS mulai menuai kemenangan ketika jaringan supermarket terbesar kelima di Inggris, Co-operative Group (Co-op), mengumumkan kebijakan bahwa mereka tidak lagi menjual produk yang berasal dari pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Co-op menjadi grup supermarket besar pertama di Eropa yang melakukan boikot tersebut. Dan secara megejutkan, pada 27 September 2012, dari Markas PBB di New York, Indonesia melalui Menlu Marty Natalegawa secara luar biasa dan sangat lugas menyerukan boikot terhadap seluruh produk yang dihasilkan di wilayah pendudukan Israel. Seruan Indonesia ini merupakan penegasan dari sikap Komite Pembebasan Palestina Gerakan Non-Blok.
Berbagai peristiwa diatas menumbuhkan asa terhentinya penjajahan atas Palestina. Logika gerakan BDS adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi atau dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak asasi manusia terbukti sia-sia karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan dunia. Logika persuasi juga menunjukkan kebangkrutannya karena tidak ada “pendidikan” buat orang-orang Israel tentang mengerikannya penjajahan dan bentuk penindasan lainnya justru makin meningkat. Logika dialog antara Palestina dan Israel yang masih populer juga terbukti gagal dengan menyedihkan.
Boikot: Perspektif Ekonomi-Politik
Boikot dapat dipandang sebagai etika dan moral dalam konsumsi. Tidak ada keputusan pembelian dan investasi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu. Dan sistem pasar semestinya merefleksikan moralitas dari masyarakatnya. Keputusan membeli dan konsumsi tidak hanya didasarkan pada kriteria harga berbasis utility semata, namun juga kriteria moral dalam seluruh aktivitas produksi.
Kriteria moral ini merupakan bagian dari arus besar perpindahan dari commodity markets ke service economy dimana seluruh aktivitas ekonomi dipandang sebagai value chain dan untuk setiap rantai itu konsumen harus turut bertanggungjawab. Dalam perspektif kapitalisme kontemporer, inilah yang disebut sebagai konsumerisme yang beretika (ethical consumerism). Membeli adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka.
Kasus terbaik boikot adalah boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi terhadap afrika selatan mengambil tiga bentuk, yaitu boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak, dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan. Boikot dimulai sejak 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan, dan berpuncak pada pertengahan 1980-an ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan. Pada 1990, apartheid berakhir. Seluruh sanksi ekonomi dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden pada 1994.
Hal krusial disini adalah bagaimana menerjemahkan boikot menjadi sebuah perubahan kebijakan. Mekanisme boikot adalah dilema yang dialami negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot. Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan.
Mengelola Boikot: Perspektif Sejarah
Agar boikot tidak berhenti pada tataran wacana, boikot harus direncanakan dan dikelola agar efektif dan berkelanjutan. Sejarah menunjukkan mengelola boikot adalah tidak mudah. Boikot terhadap Israel telah dideklarasikan Liga Arab sejak 1945. Primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negara-nya, diluncurkan tak lama setelah Perang Arab-Israel 1948. Pada 1950, Liga Arab memperluas boikot dengan meluncurkan secondary boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel. Untuk mengkoordinasi gerakan boikot ini, Liga Arab mendirikan Central Boycott Office (CBO) di Damaskus pada 1951. Pada 1954, Liga Arab menambah panjang daftar boikot dengan mengeluarkan tertiary boycott, boikot terhadap pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary boycott.
Namun, seiring waktu, boikot Liga Arab ini melemah. Mesir menjadi yang pertama meninggalkan boikot pada 1980, diikuti Yordania pada 1995. Pada 1994, beberapa negara Teluk menghapus secondary dan tertiary boycott. Kini, hampir seluruh negara Arab tidak lagi menerapkan secondary dan tertiary boycott.
Kegagalan boikot Liga Arab disebabkan banyak faktor. Pertama, besarnya jumlah produk yang diboikot namun tidak diikuti dengan mekanisme blacklist dan pengelolaan boikot yang memadai. Besarnya jumlah produk yang di-blacklist juga menimbulkan resistensi anggota yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Kedua, inkonsistensi boikot. Boikot seringkali rentan ketika berhadapan dengan kepentingan rezim berkuasa dan kroni-kroni-nya. Ketiga, kelemahan pengawasan. Boikot menjadi tidak efektif ketika banyak produk blacklist yang di re-ekspor ke dunia Arab. Siprus disinyalir sebagai salah satu titik transshipment terbesar. Keempat, boikot kental bernuansa kewilayahan, yaitu arab, tidak bersifat universal.
Apakah kini boikot Israel mungkin untuk dilakukan secara global? Keputusan untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan boikot ditentukan oleh persepsi publik akan probabilitas keberhasilan boikot dan biaya yang mereka tanggung akibat boikot. Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot ditentukan oleh kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan dalam komunikasi pro-boikot. Untuk hal ini maka menjadi penting bagi pengelola dan aktivis pro-boikot untuk secara masif menyampaikan pesan-pesan boikot yang elegan dan rasional.
Sedangkan biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi. Maka menjadi penting untuk berfokus pada beberapa produk “prioritas” yang akan diboikot sebagai representasi boikot (partial boycott). Di saat yang sama, harus ada upaya sistematis untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot.
Di saat yang sama, dibutuhkan upaya besar untuk membangun ekspektasi bahwa boikot akan dilakukan oleh publik secara luas sehingga akan menimbulkan dampak besar. Dalam jangka pendek, ketika ketergantungan terhadap produk-produk global begitu kuat, hal ini terlihat begitu sulit. Yang dibutuhkan disini adalah langkah-langkah perintis yang konsisten. Langkah-langkah kecil ini akan membesar ketika pihak-pihak terkait akan berekspektasi gerakan boikot diikuti banyak pihak. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, boikot Israel oleh Indonesia akan banyak berarti bagi perjuangan Palestina melawan penjajahan Israel.
Yusuf Wibisono, “Agenda Boikot Israel”, Republika, 21 November 2012.