Dari Pandemi ke Endemi

Pandemi adalah ujian bagi setiap rezim politik di dunia, terlepas dari afiliasi ideologi-nya. Pandemi menantang setiap rezim politik apakah memiliki kapabilitas untuk membuat kebijakan yang mampu menahan ledakan infeksi virus, untuk melandaikan kurva secepatnya, untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, untuk melindungi kelompok paling rentan, untuk menyelamatkan setiap nyawa warga negara.

Secara menyedihkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling buruk di dunia dalam menghadapi pandemi. Superioritas ekonomi diatas kesehatan terus menjadi kebijakan utama meski berbagai indikator pandemi terus memburuk. Meski kerap disangkal, kegagalan penanggulangan pandemi adalah jelas dan nyata. Berbagai klaim dan jargon gagah tidak mampu menutupi besarnya korban jiwa dan beratnya beban sistem kesehatan nasional akibat pandemi.

Pemerintah terus berkukuh prioritas ekonomi atas kesehatan ketika pandemi semakin mengganas. Ketika lonjakan kasus tak tertahankan seiring adopsi new normal, pemerintah tidak menarik rem darurat (emergency brake policy) dengan kembali menerapkan PSBB, terlebih karantina wilayah (lockdown). Atas nama kebutuhan tinggi ekonomi, adopsi “new normal” terus dipertahankan meski korban pandemi semakin banyak berjatuhan.

Ketika WHO mengumumkan Covid-19 sebagai situasi darurat dunia pada akhir Januari 2020, Indonesia berkukuh dengan keyakinan bebas dari kasus Covid-19, bahkan dengan gagah memberi insentif bagi sektor pariwisata dalam paket stimulus ekonomi 25 Februari 2020. Setelah mengakui kasus Covid-19 pertama pada 2 Maret 2020, alih-alih mempersiapkan sistem kesehatan nasional secara serius, pemerintah justru kembali menggulirkan stimulus ekonomi pada 13 Maret 2020.

Hanya setelah Covid-19 menyebar cepat ke penjuru negeri, barulah pemerintah menetapkan status darurat kesehatan masyarakat melalui Keppres No. 11/2020 pada 31 Maret 2020, sekaligus memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai instrumen penanggulangan Covid-19 sebagaimana PP No. 21/2020. Melalui Perppu No. 1/2020 pada 31 Maret 2020 dan Perpres No. 54/2020 pada 3 April 2020 pemerintah terus mengukuhkan prioritas ekonomi atas kesehatan di tengah pandemi dengan alokasi anggaran pemulihan ekonomi jauh diatas intervensi kesehatan.

Pandemi telah membuka permasalahan struktural yang melandasi demokrasi kita: sistem politik yang terkooptasi oleh mereka yang hanya tertarik untuk mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan semata. Pemilu telah menjadi instrument legal untuk memupuk kekayaan dan kekuasaan oleh mereka yang sejak awal telah berlimpah dengan keduanya.

Jejak pandemi Indonesia adalah jejak hilangnya kesempatan untuk mencegah penyebaran virus sejak dini. Terlalu banyak waktu dan kesempatan yang terbuang oleh penyangkalan, kelalaian dan ketidakpekaan. Jejak pandemi Indonesia adalah jejak kelam hilangnya banyak nyawa, tumbangnya sistem kesehatan nasional dan memburuknya perekonomian.

Kini, per 21 Juni 2023, pemerintah secara resmi melalui Keppres No. 17/2023 telah mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia dan mengubah status faktual Covid-19 sebagai penyakit endemi. Per 20 Juni 2023, Indonesia secara resmi melaporkan 6,81 juta kasus positif dengan sekitar 162 ribu kematian.

Pandemi memberi banyak pelajaran berharga untuk pengelolaan negeri ini di masa depan: tentang lemahnya respon menghadapi krisis, tentang lemahnya kepemimpinan untuk keluar dari krisis, tentang kegagalan mencegah pandemi yang ganas, tentang kebebalan untuk terus memprioritaskan ekonomi diatas keselamatan warga. Pandemi memberi pengajaran penting bagi masa depan, bahwa mempertentangkan kesehatan publik dan keselamatan masyarakat dengan ekonomi adalah sesat fikir yang sangat berbahaya.

Ke depan, tantangan kita tidak semakin mudah. Pemanasan global akan memberikan tantangan yang semakin berat ke depan, baik kejadian-kejadian alam ekstrim maupun perubahan iklim dalam jangka Panjang. Seiring itu, potensi pandemi untuk terulang kembali adalah terbuka lebar. Terdapat puluhan keluarga virus, strain bakteri hingga disease “X” yang belum diketahui asal-usulnya, yang berpotensi memicu pandemi dan penyakit menular global di masa depan. Terkini, dunia kembali diguncang kehadiran varian baru Covid-19, “Eris”, cicit Omicron. Negeri ini selayaknya tidak mengulang kesalahan dan kegagalan di masa lalu. Semoga.

Yusuf Wibisono

Jakarta, 09 Agustus 2023