KORANTEMPO, JAKARTA — Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memangkas tingkat bunga pinjaman online (pinjol) meresahkan pelaku industri. Chief Executive Officer Akseleran Ivan Tambunan mengatakan penurunan tingkat bunga, khususnya untuk segmen produktif, cukup memberatkan industri. Terlebih, penyelenggara dituntut dapat mencapai tingkat bunga pinjaman maksimum 0,067 persen per hari pada 1 Januari 2026.
“Perlu diingat bahwa pinjaman produktif fintech lending ini tidak menggunakan agunan berupa fixed asset sehingga dari sisi risiko akan berbeda,” ujarnya kepada Tempo, kemarin. Ia khawatir, dengan tingkat bunga sebesar 0,067 persen per hari, penyaluran pinjaman produktif kepada peminjam atau borrower skala mikro, seperti pedagang online, kian mengecil.
“Saat ini saja rata-rata total cost untuk borrower Akseleran di bawah 2 persen per bulan. Tapi untuk produk-produk tertentu yang size-nya relatif kecil, bisa saja di atas itu,” ucap pria yang juga anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Bidang Hukum, Etika, dan Perlindungan Konsumen tersebut.
Penyesuaian tingkat bunga juga dikhawatirkan bakal menggerus minat pemberi pinjaman atau lender untuk memberikan pendanaan karena tingkat risiko yang tidak sebanding. “Untuk produk tertentu menjadi tidak feasible. Mereka akan keberatan membiayai yang kecil-kecil.”
Co-Founder & President Director Investree Adrian Gunadi mengiyakan, untuk model bisnis yang berfokus pada segmen produktif, penurunan suku bunga kemungkinan besar bakal diikuti oleh berkurangnya minat para lender memberikan pendanaan. “Penurunan suku bunga mungkin akan meningkatkan demand atau minat peminjam. Sebaliknya minat lender mungkin berkurang karena tingkat bunga dianggap tidak sepadan dengan risikonya.”
Kinerja platform pun berpotensi terkena dampak, khususnya pada kecepatan layanan dan penyaluran pinjaman. Pasalnya, jika lender mengurangi porsi pendanaannya, proses pendanaan pinjaman menjadi lebih lama. Menurut Adrian, secara umum penetapan tingkat bunga pinjaman erat kaitannya dengan tingkat risiko. Jika suku bunga rendah, tingkat risikonya juga rendah. Begitu juga sebaliknya. Walhasil, ketika ada tingkat risiko tinggi tapi tingkat bunga rendah, calon pemberi dana tak akan tertarik.
Di sisi lain, para peminjam bakal mendapat keuntungan karena biaya pinjaman yang dikeluarkan menjadi lebih rendah. Adapun margin atau keuntungan usaha dapat meningkat. “Harapannya, pelaku UMKM menjadi lebih maju dan kompetitif,” ujar Adrian. Adapun di Investree saat ini, tingkat bunga pinjaman yang dikenakan kepada peminjam adalah 12-20 persen per tahun atau minimal 1 persen per bulan.
Sebagaimana diketahui, OJK memutuskan untuk menurunkan batas maksimum tingkat bunga pinjol secara bertahap. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, mengatakan otoritas juga turut membedakan besaran tingkat bunga untuk pinjaman produktif serta konsumtif.
Sebelumnya, AFPI menetapkan suku bunga pinjaman maksimum 0,4 persen per hari yang dipukul rata untuk seluruh jenis pembiayaan. “Kini pinjaman produktif didorong jauh lebih rendah untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan kepada UMKM seluas-luasnya,” kata Agusman.
Untuk pinjaman produktif, per 1 Januari 2024, tingkat bunga pinjaman maksimum yang dikenakan sebesar 0,1 persen per hari, dan pada 1 Januari 2026 hingga seterusnya kembali diturunkan menjadi 0,067 persen per hari. Sedangkan untuk pinjaman konsumtif, per 1 Januari 2024 ditentukan tingkat bunga maksimum sebesar 0,3 persen per hari, per 1 Januari 2025 tingkat bunganya kembali turun menjadi 0,2 persen per hari, hingga pada 1 Januari 2026 dan seterusnya menjadi 0,1 persen per hari.
Adapun penyaluran pinjaman untuk sektor produktif yang saat ini disyaratkan sebesar 30 persen dari total portofolio, dalam lima tahun ke depan ditargetkan harus mencapai lebih dari 70 persen. Seluruh ketentuan itu tertuang dalam pembaruan aturan teknis penyelenggaraan industri pinjol, yaitu dalam Surat Edaran OJK Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Warga membuka daftar aplikasi pinjaman online di Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia
Tingkat Kredit Macet Bisa Turun
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengungkapkan langkah koreksi suku bunga pinjaman pinjol diyakini bakal membawa dampak positif pada kinerja industri fintech lending. “Di satu sisi pengenaan bunga sangat tinggi untuk mengkompensasi risiko kredit. Di sisi lain, karakter peminjam umumnya adalah kelas bawah yang unbankable dan memiliki kebutuhan tinggi. Maka, eksploitasi terhadap konsumen kelas bawah sering terjadi,” ujarnya.
Tingkat bunga pinjaman yang dipangkas otoritas pun cukup jauh dibanding ketika industri meregulasi aturan tersebut secara mandiri. Pada awalnya, maksimum tingkat bunga pinjaman fintech lending sangat mencekik, yakni mencapai 0,8 persen per hari, alias 24 persen per bulan, atau setara dengan 288 persen per tahun.
Menurut Yusuf, pembatasan suku bunga pinjol berpotensi mendorong perbaikan kualitas kredit dan penurunan kredit macet. “Suku bunga tinggi akan selalu memperburuk risiko gagal bayar melalui tiga jalur.” Pertama, tingkat bunga tinggi bakal membuat beban bunga dan pengembalian utang menjadi lebih berat bagi peminjam. Kedua, suku bunga tinggi telah menarik semakin banyak risiko bagi peminjam. Ketiga, suku bunga tinggi berpotensi memaksa peminjam terlibat dalam aktivitas yang lebih berisiko demi memenuhi pembayaran utang.
Dia pun menyoroti ihwal perbedaan antara tingkat suku bunga pinjaman untuk kebutuhan produktif dan konsumtif. “Seharusnya tidak ada perbedaan mencolok di antara keduanya karena kemampuan membayar dua segmen ini sebenarnya tidak banyak berbeda.” Idealnya, kata Yusuf, tingkat bunga pinjaman fintech lending dapat terus ditekan hingga batas maksimum mencapai 0,05 persen per hari atau 18 persen per tahun. Besaran itu setara dengan tingkat bunga kredit mikro perbankan. “Seterusnya diharapkan mendekati suku bunga kredit usaha rakyat di kisaran 7 persen per tahun.”
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan pengaturan ulang mengenai tingkat bunga dan biaya pinjol menunjukkan keberpihakan otoritas kepada pelindungan konsumen. Namun, dalam pelaksanaannya, kata dia, harus tetap diikuti dengan konsistensi serta pengawasan ketat.
“Penawaran yang lebih kompetitif ini harus diimbangi dengan informasi yang sempurna ke masyarakat. Jangan sampai nanti ada biaya-biaya tersembunyi yang pada akhirnya menjadikan bunga pinjaman lebih besar berkali lipat,” ucapnya. Selain itu, dibutuhkan evaluasi penentuan tingkat suku bunga pinjaman tersebut sembari mempertimbangkan tingkat imbal hasil yang diterima oleh investor atau lender.
Peneliti ekonomi digital dari Institute Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras Adha menimpali otoritas perlu memantau ketat perkembangan realisasi penyaluran pembiayaan fintech lending pasca-implementasi aturan baru tersebut. “Bagi investor atau lender, memang kebijakan ini berpotensi menekan keuntungan atau imbal hasil yang diterima. Namun, dengan besarnya pasar Indonesia, mereka masih dapat terus memperbesar ceruk pasar.”
Ihwal pinjaman konsumtif yang sering kali menjerat masyarakat ke dalam utang, Izzudin menyarankan agar ada perbedaan perlakuan tingkat bunga pinjaman secara signifikan. “Ibaratnya memberikan semacam disinsentif kepada masyarakat yang mau melakukan pinjaman konsumtif melalui pinjol. Apabila dengan bunga 0,3 persen masih banyak yang terjerat, layak dipertimbangkan untuk dapat dinaikkan lagi besaran bunganya,” katanya.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/485505/pro-kontra-aturan-baru-pinjol