DETIKFINANCE, JAKARTA– Pemerintah berencana untuk memperketat aturan soal produk tembakau sebagai zat adiktif dan konsumsi rokok elektrik atau vape melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif. Saat ini aturan tersebut masih diharmonisasikan dengan Kementerian dan Lembaga lainnya. Kementerian Kesehatan juga belum bisa memastikan kapan aturan bisa selesai dan mulai berlaku.
Menanggapi hal tersebut Staf Peneliti Kebijakan Kesehatan Publik Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas), Fajri Azhari mengungkapkan secara keseluruhan RPP yang dipaparkan oleh Kemenkes terlihat jelas bertujuan untuk mengurangi prevalensi perokok di Indonesia, yang otomatis harusnya juga berdampak ke pelaku usahanya yaitu industri rokok.
Mulai dari warung kaki lima sampai perusahaan besar produsen rokok lainnya. Dia menambahkan RPP yang disosialisasikan mendapat penolakan dari kelompok anti pengendalian tembakau karena menganggap RPP tersebut merugikan usaha mereka.
Namun, faktanya selama ini penjualan rokok tetap mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir. Berdasarkan laporan Kemenkeu, produksi rokok di tahun 2022 tercatat mencapai 324 miliar batang rokok. “Melesat signifikan dibanding tahun 2005 dengan jumlah produksi sebanyak 222 miliar batang rokok. Artinya, bisnis industri rokok di negeri ini nyaris tidak terganggu walaupun memiliki berbagai aturan pengendalian rokok,” kata dia saat dihubungi detikcom, Senin (13/11/2023).
Permintaan dikeluarkannya pengaturan produk tembakau dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan juga disampaikan oleh pelaku industri, setelah berbagai pihak menyuarakan hal yang sama.
“Senada dengan pandangan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), pelaku industri menyampaikan bahwa muatan dalam aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan tersebut dikhawatirkan berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi mengungkapkan RPP Kesehatan tidak ideal untuk mengatur tembakau karena tidak satu rumpun dengan upaya perbaikan sistem dan tata kelola kesehatan nasional.
“Kalau dilihat dari kelompoknya, seharusnya yang satu rumpun. Tembakau bukan bagian dari tenaga medis, dokter, bukan bagian dari obat, dan sejenisnya,” kata dia.
Maka, pihaknya mendorong dilakukannya pemisahan regulasi produk tembakau dari RPP Kesehatan. “Lebih baik aturan produk tembakau kembali kepada Peraturan Pemerintah 109/2012 yang dirasa sudah komprehensif dan tinggal memperkuat implementasinya,” ujarnya.
Menurut Benny dalam UU tidak ada larangan, yang ada hanya pengendalian. Jika aturan di RPP Kesehatan tersebut disahkan, ia meyakini terdapat sejumlah potensi masalah yang dapat terjadi karena draft aturan ini memuat berbagai larangan bagi industri tembakau yang legal, termasuk larangan iklan.
“Pertama, banyaknya larangan, seperti melarang promosi dan iklan itu akan menjadi kesempatan bagi rokok ilegal semakin berkembang dan dibeli masyarakat,” terangnya.
Kedua, lanjut Benny, ketika konsumsi masyarakat perokok sudah banyak bergeser ke rokok ilegal, maka penjualan rokok legal akan mengalami penurunan signifikan. Pada akhirnya, produksi dan serapan tembakau dari petani akan berkurang.
“Nah, ini seperti yang disampaikan Ibu Dirjen (Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri), larangan iklan akan berdampak kepada terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” paparnya.
Gelombang PHK tersebut diperkirakan bukan hanya berpotensi terjadi di industri hasil tembakau saja. Tetapi, juga berpotensi terjadi di industri lain.
Maka, Benny menambahkan, wajar jika pasal-pasal produk tembakau dalam RPP Kesehatan ini menjadi perhatian serius pemerintah dari pos perindustrian, pertanian, dan ketenagakerjaan. “Seharusnya pos keuangan seperti Bea Cukai dan Kementerian Keuangan juga serius melihat persoalan ini. Sebab penerimaan negara akan turun,” imbuhnya.
Sumber :https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7034498/pengetatan-aturan-rokok-bisa-bikin-warung-kecil-juga-terdampak