KORANTEMPO, JAKARTA – TIDAK sampai tiga dekade lagi jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 65 tahun diperkirakan meningkat tiga kali lipat dari jumlah saat ini. Namun hanya 6-10 persen dari mereka yang bakal menerima jaminan pensiun pada 2050 jika skema program tersebut tak segera dibenahi.
“Ini skenario paling pesimistis,” ujar Manajer Program Jaminan Sosial untuk Kantor Indonesia dan Timor Leste International Labour Organization (ILO), Ippei Tsuruga, dalam diskusi daring, kemarin, 14 November 2023.
Ia menjelaskan, dengan cakupan jaminan pensiun yang rendah tersebut, masyarakat berusia di atas 65 tahun berpotensi tetap harus bekerja karena tidak ada jaminan penghasilan. Kalau pun tidak begitu, kehidupan generasi tua harus ditanggung oleh penduduk angkatan kerja. Padahal jumlah penduduk angkatan kerja diprediksi lebih sedikit ketimbang populasi masyarakat berusia lanjut.
Karena itu, ILO menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk mereformasi skema jaminan pensiun. Reformasi ini diperlukan untuk memastikan lebih banyak masyarakat yang menerima dana pensiun pada hari tua. Temuan ILO pada 2022 menunjukkan bahwa proporsi warga senior Indonesia yang menerima semua jenis jaminan sosial pensiun masih sangat rendah dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.
Persentase penerima dana pensiun di Indonesia pada tahun lalu hanya sekitar 14,8 persen dari semua penduduk berusia di atas 65 tahun. Capaian Indonesia hanya unggul dari Laos dan Kamboja yang menempati peringkat paling bontot. Sedangkan negara-negara tetangga Indonesia, Brunei Darussalam dan Timor Leste, persentasenya sudah 100 persen.
Ippei mengatakan, Indonesia memerlukan skema jaminan pensiun universal dan perluasan cakupan program jaminan pensiun yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).
Tiga Lapis Skema Jaminan Pensiun
Aktivitas kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, 15 Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Dengan demikian, akan ada tiga lapis jaminan pensiun, yakni jaminan pensiun universal yang mencakup seluruh angkatan kerja dengan berbagai rentang pendapatan, jaminan pensiun untuk pekerja berpenghasilan menengah dan tinggi, serta suplemen sukarela yang saat ini berbentuk program Jaminan Hari Tua BP Jamsostek.
ILO mengusulkan tiga skema jaminan pensiun universal yang bisa diadopsi Indonesia. Pertama, skema pensiun sosial, yakni adanya manfaat merata bagi semua penduduk di atas usia tertentu, misalnya sebesar Rp 500 ribu per bulan, yang dananya berasal dari anggaran negara.
Pemerintah dapat memulai pelaksanaan skema ini bagi 6 juta penduduk yang berusia di atas 75 tahun dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp 36 triliun. Nantinya, cakupan skema pensiun sosial bisa diperluas menjadi 20 juta penduduk berusia di atas 65 tahun dengan anggaran Rp 118 triliun. Skema ini meniru skema yang diterapkan di Thailand.
Skema kedua adalah bantuan iuran bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dibiayai negara. Sedangkan masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi akan mendapat jaminan pensiun yang didanai dari iuran rutin dengan besaran yang naik bertahap. Jumlah manfaat pensiun bagi penduduk yang mengiur mandiri bisa lebih besar daripada penduduk yang dibiayai pemerintah. Skema ini mengadopsi praktik di Vietnam.
Sedangkan skema ketiga adalah program pensiun nasional yang mencakup pekerja penerima upah dan bukan penerima upah. Dalam skema ini, setiap penduduk angkatan kerja harus mengiur wajib, misalnya Rp 300 ribu, agar mendapat manfaat pensiun Rp 1 juta per bulan. Bagi pekerja penerima upah, program tersebut ditambah dengan program jaminan pensiun yang iurannya berdasarkan persentase gaji. Dengan demikian, manfaat yang diterima pun lebih besar.
Saat ini, ada beberapa program pensiun di Indonesia. Selain jaminan pensiun yang diselenggarakan BP Jamsostek, program pensiun ada yang diselenggarakan oleh Taspen dan Asabri untuk karyawan perusahaan badan usaha milik negara dan pegawai negeri sipil. Di samping itu, ada dana pensiun pemberi kerja dan dana pensiun lembaga keuangan.
Pekerja Informal Belum Terlindungi
Layar pelayanan kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, 15 Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Menyitir Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, program Jaminan Pensiun yang diselenggarakan BP Jamsostek memberi manfaat pasti sebesar 1 persen dikalikan masa iur dan rata-rata upah tertimbang. Pada 2023, manfaat minimum diperkirakan sebesar Rp 383.400 per bulan dan manfaat maksimum Rp 4.598.100 per bulan. Untuk mendapatkan manfaat ini, peserta harus mengiur rutin minimum 15 tahun sebesar 3 persen dari upah yang dilaporkan—terdiri atas 1 persen iuran pekerja dan 2 persen iuran pemberi kerja.
Jika masa iur masih di bawah 15 tahun, peserta hanya mendapat manfaat sekaligus berupa akumulasi iuran ditambah dengan hasil pengembangan. Untuk saat ini, program Jaminan Pensiun baru bisa diikuti oleh pekerja penerima upah alias pekerja formal. “Pekerja informal masih tidak bisa ikut Jaminan Pensiun karena aturan dalam regulasi,” kata Deputi Direktur Bidang Perencanaan Strategi BP Jamsostek, Hendra Nopriansyah.
Hal tersebut menjadi salah satu tantangan bagi BP Jamsostek untuk meningkatkan jumlah peserta program Jaminan Pensiun. Hingga Agustus 2022, jumlah peserta Jaminan Pensiun baru sebanyak 13,65 juta orang atau 39 persen dari total peserta BP Jamsostek yang mencapai 34,82 juta orang.
Hendra mengatakan, pada masa pandemi Covid-19 lalu, sebagian peserta program Jaminan Pensiun menjadi non-aktif karena beralih profesi menjadi pekerja non-formal atau peserta bukan penerima upah. Kepesertaan ini terus digenjot BP Jamsostek, mengingat Indonesia akan memasuki era populasi menua pada 2030, yang juga menjadi tahun awal pembayaran manfaat Jaminan Pensiun.
Di samping soal kepesertaan, Hendra berujar, tantangan yang dihadapi program Jaminan Pensiun adalah soal manfaat yang masih sangat kecil bila dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat. Hal itu berkaitan dengan tingkat iuran yang belum pernah dievaluasi dan disesuaikan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015.
Kondisi tersebut juga diperkirakan berdampak pada pembiayaan manfaat. Dengan besaran iuran dan jumlah kepesertaan saat ini, pembayaran manfaat diprediksi hanya terpenuhi sampai 2055. “Mulai 2056, jumlah pembayaran manfaat diproyeksikan melebihi jumlah penerimaan iuran.”
Hendra mengatakan, BP Jamsostek telah mengkaji agar Jaminan Pensiun bisa menjadi program inklusif yang mencakup seluruh pekerja, baik sektor formal maupun informal. Namun, menurut dia, regulasi masih menjadi hambatan. Karena itu, ia menyebutkan perlu ada aturan mengenai program Jaminan Pensiun untuk pekerja informal.
Deputi Direktur The Prakarsa, Victoria Fanggidae, mengatakan bahwa rendahnya cakupan program Jaminan Pensiun harus menjadi perhatian pemerintah karena berisiko meningkatkan kemiskinan. Ia mengatakan hasil riset lembaganya menunjukkan banyak lansia yang masih harus menanggung anak dan cucunya.
“Kalau jangkauan Jaminan Pensiun hanya 6 persen, bisa jadi satu dari tiga orang bekerja adalah lansia di 2050,” ujarnya. Bila hal ini terjadi, kualitas pembangunan manusia akan sangat rendah. Sebab, para lansia dengan kemampuan fisik dan kognitif yang sudah menurun masih harus menanggung kehidupannya dan generasi di bawahnya.
Memacu Lapangan Kerja Formal
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, sepakat bahwa, tanpa adanya jaminan dana pensiun, para lansia akan rentan miskin dan telantar. Akibatnya, kemiskinan akan meningkat tajam seiring bertambahnya individu berusia lanjut. “Saat ini sekitar setengah lansia berasal dari kelas ekonomi 40 persen terbawah, sehingga ada juga yang masih harus bekerja.”
Untuk itu, ia melihat ada beberapa hal yang perlu diantisipasi pemerintah dari rendahnya penduduk yang memiliki jaminan pensiun ini. Pertama, memacu penciptaan kerja di sektor formal secara progresif. Strategi industrialisasi harus berfokus pada industri padat karya dan penghiliran sektor pertanian-peternakan, bukan penghiliran tambang yang padat modal dan dipenuhi pekerja asing. Hingga kini, sekitar 60 persen tenaga kerja di Tanah Air masih bekerja di sektor informal yang umumnya tidak memberikan jaminan pensiun.
Kedua, kata Yusuf, pemerintah perlu menguatkan modal sosial masyarakat dengan memberi perhatian pada program ketahanan keluarga. Saat ini sekitar 15 persen lansia tinggal sendirian dan 25 persen lainnya tinggal berdua dengan pasangan. Hal ini membuat lansia rentan telantar. Untuk itu, pemerintah perlu menguatkan perlindungan sosial bagi penduduk usia lanjut, antara lain berupa jaminan kesehatan universal serta jaminan pangan dan kebutuhan dasar penduduk lansia lainnya.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/485575/pekerja-indonesia-rentan-miskin