KOMPAS, JAKARTA – Atas nama stabilisasi harga beras dan pengendalian inflasi, bantuan sosial beras untuk keluarga miskin terus digulirkan pemerintah menjelang pemilu dan bahkan menerabas masa panen raya padi tahun depan.
Bansos beras semula digulirkan pada Maret hingga Mei 2023 untuk meredam lonjakan harga beras dan menjaga konsumsi masyarakat. Untuk menjaga daya beli masyarakat karena harga beras masih terus bertahan tinggi, program bansos beras ini kembali disalurkan pada September hingga November 2023.
Terkini, demi mengantisipasi kerawanan akibat El Nino yang diperkirakan masih akan bertahan hingga Februari 2024, pemerintah kembali memperpanjang bansos beras bahkan hingga tujuh bulan, dari Desember 2023 hingga Juni 2024.
Dengan kata lain, pemberian bansos beras akan berimpitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) putaran pertama pada Februari 2024, panen raya padi di sekitar April-Mei 2024, dan pilpres putaran kedua pada Juni 2024.
Nuansa politis
Meski pemerintah berargumen bahwa perpanjangan bansos beras ini penting untuk menjaga inflasi pangan, terutama menjelang Ramadhan dan Idul Fitri pada Maret-April 2024, nuansa politis dari hal ini sulit dihindari.
Lebih jauh, sumber pengadaan beras untuk bansos 10 kilogram beras bagi 22 juta keluarga penerima manfaat ini adalah cadangan beras pemerintah di Perum Bulog yang dominan berasal dari impor.
Dengan kata lain, pemberian bansos beras akan berimpitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) putaran pertama pada Februari 2024, panen raya padi di sekitar April-Mei 2024, dan pilpres putaran kedua pada Juni 2024.
Dengan perpanjangan program yang berimpitan dengan masa panen raya padi, maka bansos beras berpotensi menjatuhkan harga gabah yang merugikan petani.
Bansos beras adalah satu dari sekian banyak program perlindungan sosial yang alokasi anggarannya berada di bawah diskresi pemerintah.
Fenomena kenaikan anggaran yang berpihak pada rakyat menjelang pemilu, terutama dalam bentuk anggaran perlindungan sosial (perlinsos), telah terlihat di Indonesia sejak era pilpres secara langsung pada 2004. Fenomena ini bahkan cenderung menguat di dekade terakhir, sesuatu yang dikenal sebagai electoral budget cycles.
Menjelang Pemilu 2019, kenaikan anggaran penanggulangan kemiskinan bahkan telah terlihat sejak 2018 dan berpuncak di 2019. Menjelang Pemilu 2024, meski presiden petahana tidak lagi ikut bertarung, partai dan pasangan capres ”yang didukung petahana” berkepentingan dengan kenaikan anggaran kemiskinan ini.
Anggaran perlinsos meningkat signifikan pada masa pandemi Covid-19 dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020 atau tumbuh 61,5 persen.
Namun, setelahnya anjlok 6,0 persen pada 2021 dan turun lagi 1,6 persen pada 2022, serta diproyeksikan turun 4,7 persen pada 2023.
Barulah menjelang Pemilu 2024, anggaran perlinsos naik dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 atau tumbuh 12,4 persen. Fenomena electoral budget cycle jelas terlihat di sini.
Dengan kemiskinan yang luas, electoral budget cycles menjadi fenomena yang sering muncul di banyak pemilu di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal, dan menjadi instrumen bagi petahana untuk mempertahankan kekuasaan atau melanggengkan dinasti politiknya.
Hingga kini, angka kemiskinan kita masih tinggi. Dengan ukuran kemiskinan resmi dari BPS, pada Maret 2023, angka kemiskinan nasional kita masih 9,36 persen, sedikit turun dari 9,57 persen pada September 2022.
Angka ini masih sangat jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang mematok angka kemiskinan 2024 hanya di 6,5-7,5 persen. Secara aktual, angka kemiskinan kita tecermin dari jumlah penerima program perlinsos yang mencapai 40 persen.
Keuntungan elektoral
Dengan kemiskinan yang tersebar luas, bansos akan selalu mendatangkan ”keuntungan elektoral” bagi penguasa, terlebih ketika bansos mengambil bentuk program yang bersifat ”bagi-bagi uang”.
Anggaran perlinsos yang berada di kisaran Rp 500 triliun setiap tahunnya ini secara umum digunakan untuk program bansos, seperti Program Keluarga Harapan dan bansos pangan sembako, bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional, beasiswa seperti Program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar, dana siap pakai bencana, subsidi BBM dan subsidi elpiji tabung 3 kilogram, subsidi bunga kredit usaha rakyat, dan bantuan langsung tunai desa.
Dengan desain kebijakan bansos yang lebih banyak bersifat ”bagi-bagi uang”, bansos menjelang pemilu dipastikan akan memberi keuntungan elektoral kepada penguasa dan calon yang diasosiasikan dengan penguasa.
Dengan sekitar 40 persen penduduk menerima bansos, maka keuntungan elektoral petahana dan calon yang didukung oleh petahana dipastikan signifikan.
Publik, terutama dari kelas bawah, memberikan penilai yang sangat tinggi untuk bansos. Berbagai survei sejumlah lembaga menunjukkan bahwa pemberian bansos oleh pemerintah berkontribusi signifikan dalam menjaga tingginya tingkat kepuasan masyarakat (approval rating) terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berada di kisaran 70-80 persen.
Gelontoran bansos signifikan meningkatkan kepercayaan dan kepuasan publik terhadap pemerintah.
Dengan karakter penerima bansos adalah masyarakat kelas bawah yang berpendidikan rendah dan dengan literasi politik yang terbatas, maka dampak bansos menjelang pemilu terhadap elektoral petahana diduga kuat adalah besar.
Dengan sekitar 40 persen penduduk menerima bansos, maka keuntungan elektoral petahana dan calon yang didukung oleh petahana dipastikan signifikan.
Yusuf WibisonoDirektur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies)
Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/11/21/bansos-jelang-pemilu?open_from=Artikel_Opini_Page