Minim Sentuhan Pemerintah dalam Boikot Produk Pro-Israel

KORANTEMPO, JAKARTA – HAMPIR dua bulan seruan boikot terhadap produk-produk yang disinyalir terafiliasi Israel beredar di media sosial seiring dengan meletusnya perang Israel-Palestina pada pertengahan Oktober lalu. Seruan boikot itu terus bergulir hingga saat ini, ketika dua pihak bertukar tahanan.

Di Indonesia, ajakan boikot produk-produk yang dianggap terafiliasi Israel telah berimbas pada penurunan konsumsi beberapa produk fast-moving consumer goods (FMCG), yang merupakan produk pareto, hingga 15-20 persen. “Itu menurut laporan anggota Aprindo di beberapa daerah yang sangat terkena dampak,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey kepada Tempo, kemarin.

Kabupaten atau kota yang terimbas boikot itu, berdasarkan data Aprindo, tersebar di beberapa provinsi, antara lain Jawa Barat, beberapa provinsi di Sumatera, Bangka Belitung, beberapa provinsi di Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Turunnya pembelian di tingkat konsumen tersebut otomatis membuat peretail mengurangi pemesanan kepada produsen.

Jenis produk yang terkena boikot bermacam-macam dan dari beberapa merek. Dari produk makanan dan minuman, makanan dan susu bayi, makanan dan susu remaja, hingga kosmetik. Roy mengatakan ajakan boikot barang-barang terafiliasi Israel mengurangi transaksi retail lantaran tak semua konsumen beralih ke produk lain yang tidak dikaitkan dengan Israel.

“Produk FMCG yang diboikot tidak serta-merta bisa digantikan dengan produk lokal,” kata Roy. Ia mengatakan konsumen tidak mudah mengganti produk yang biasa dikonsumsi karena spesifikasi atau kandungannya belum tentu sama dengan produk lain. Karena itu, banyak konsumen justru mengerem pembeliannya di retail karena adanya ajakan boikot tersebut.

Menurut Roy, porsi produk FMCG mencapai 80 persen di rak dagangan peretail. Sedangkan sisanya adalah bahan kebutuhan pokok. Meski demikian, sumbangan produk pareto terhadap omzet memang hanya 20-25 persen. Sedangkan bahan kebutuhan pokok menyumbang omzet 80 persen. Meski begitu, Roy khawatir turunnya penjualan FMCG akibat boikot ini akan mempengaruhi industri secara keseluruhan.

Roy mengatakan seruan boikot sempat mereda dan surut saat adanya gencatan senjata antara Israel dan pasukan Hamas, beberapa waktu lalu. Selain itu, ada desakan dari banyak negara agar gencatan senjata ini bersifat permanen. Namun ia khawatir imbas dari opini yang telah terbentuk selama ini akan panjang di dalam negeri.

“Fenomena ini berangsur surut. Tapi masih ada beberapa daerah yang bupati atau wali kotanya sudah mengeluarkan edaran, dan belum dicabut,” ujar Roy. Ia mendesak pemerintah melakukan langkah cepat dan terukur untuk mencegah dampak boikot ini berkepanjangan dan berimbas pada perekonomian domestik. Terutama untuk produk yang bahan baku, produksi, serta tenaga kerjanya dipenuhi di dalam negeri. “Kalau mau boikot semestinya produk yang diproduksi di Israel. Negara harus hadir saat ada polemik seperti ini.”

Pemerintah Diminta Turun Tangan

Pengunjung berada di bagian produk minuman berpemanis di salah satu toko retail, Jakarta, 23 November 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna

Desakan agar pemerintah hadir mengatasi persoalan ini juga disuarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Pelaksana tugas harian Ketua Umum Kadin Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan aksi boikot yang belakangan marak terjadi perlu ditindaklanjuti pemerintah untuk menciptakan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif.

“Aksi boikot merugikan dunia usaha karena dilakukan terhadap sektor usaha yang beroperasi di Indonesia, menyerap tenaga kerja Indonesia, meskipun perusahaan-perusahaan itu diduga terafiliasi dengan pihak yang terlibat konflik di Palestina,” kata Yukki.

Padahal, kata Yukki, Majelis Ulama Indonesia sudah menegaskan bahwa lembaganya tidak pernah merilis daftar produk yang berafiliasi dengan Israel. Dalam klarifikasinya, MUI juga menyatakan belum mengetahui apakah daftar produk target boikot yang beredar di Internet itu benar-benar produk Israel dan afiliasinya atau tidak.

Karena itu, ia mengimbau masyarakat menyikapi dengan bijak kemunculan daftar produk yang terafiliasi dengan Israel. Selain itu, dia meminta masyarakat berhati-hati memilih sumber pemberitaan mengenai boikot produk Israel agar tidak termakan pemberitaan bohong.

MUI sebelumnya memang mengeluarkan seruan untuk menghindari bertransaksi produk yang berkaitan dengan Israel. Seruan itu dikeluarkan dalam bentuk fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Isinya, MUI merekomendasikan umat Islam menghindari transaksi produk yang terafiliasi dengan Israel atau mendukung agresi Israel di Palestina.

“Umat Islam diimbau untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang berafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, pada Sabtu, 11 November lalu, melalui keputusan MUI.

Tak lama setelah dirilisnya fatwa tersebut, media sosial  diramaikan oleh daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel. Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas menyatakan lembaganya tidak mengeluarkan fatwa haram untuk produk yang terafiliasi dengan Israel. MUI, kata dia, hanya mengharamkan tindakan mendukung Israel yang menjajah Palestina. “MUI tidak kompeten untuk merilis produk Israel atau yang terafiliasi ke Israel,” ujar Anwar.

Hingga saat ini, pemerintah pun belum mengeluarkan ketentuan resmi mengenai boikot tersebut, kendati sejumlah pejabat sempat berpendapat mengenai boikot tersebut. Wakil Presiden Ma’ruf Amin, misalnya, meminta lembaga-lembaga terkait menjelaskan teknis mengenai produk yang terafiliasi dengan Israel agar fatwa MUI itu tidak berdampak luas ke sektor-sektor ekonomi yang tidak terkait. “Supaya tidak semua ke mana-mana.”

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim juga sempat mengatakan bahwa kementeriannya sedang mengkaji produk-produk mana saja yang bisa masuk dalam daftar boikot untuk mendukung Palestina. “Boikot itu sifatnya harus selektif,” ujarnya pada 22 November lalu. Karena itu, perlu ada data produk yang terafiliasi dan tidak langsung dengan Israel. Musababnya, tak sedikit produk yang masuk daftar boikot di media sosial sebenarnya diproduksi oleh tenaga kerja dalam negeri.

Sepekan setelah itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan justru mengatakan bahwa pemerintah tidak memboikot produk mana pun. “Soal daftar produk-produk yang diboikot, pemerintah tidak memboikot produk mana pun,” ucap Zulkifli dalam rapat kerja bersama Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat pada 27 November lalu.

Kendati demikian, ia berpendapat masyarakat boleh saja melakukan aksi boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel. Pemerintah tidak akan melarang tindakan masyarakat tersebut. “Saya kira jelas, terang, tidak abu-abu. Kami tidak melarang produk mana pun. Selama sesuai dengan ketentuan yang ada, silakan saja.”

Boikot sebagai Pernyataan Politik

Warga mengikuti aksi dukungan untuk Palestina di Jakarta, 20 Oktober 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan boikot adalah pernyataan politik bahwa Indonesia membela Palestina. Meski demikian, ia berujar, secara ekonomi dampaknya pasti akan lebih banyak pada perekonomian Indonesia dibanding Israel. Karena itu, ia mengatakan langkah boikot produk Israel harus dilakukan secara terukur dan efektif.

“Jangan sembarangan dan tidak overkill. Justru membunuh perekonomian kita sendiri, sementara dampaknya ke Israel justru minimal,” kata Piter. Menurut dia, perlu ada kepastian bahwa produk-produk yang diboikot benar-benar pantas diboikot. Misalnya jika memiliki keterkaitan langsung dengan kejahatan Israel terhadap Palestina.

Untuk itu, Piter mengatakan pemerintah harus hadir menjelaskan produk yang diboikot beserta alasannya. Dengan demikian, tidak ada pihak yang memanfaatkan ajakan boikot ini untuk kepentingan memenangi persaingan usaha secara tidak sehat dengan mengeluarkan daftar sendiri.

Dalam jangka sepekan atau dua pekan, boikot dinilai tidak akan berdampak besar pada perekonomian. Namun, jika berlangsung berbulan-bulan, dampaknya akan sangat besar. “Dampak terburuk adalah gelombang PHK yang berujung pada terpangkasnya daya beli masyarakat,” kata Piter.

Momentum Membesarkan Produk Lokal

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, sepakat pemerintah semestinya memfasilitasi agar gerakan boikot yang dilakukan masyarakat lebih terarah, produktif, sekaligus mendorong capaian kinerja pemerintah. Selain untuk mendeklarasikan dukungan terhadap Palestina, pemerintah bisa menjadikan gerakan boikot ini sebagai momentum membangun dan membesarkan produk lokal.

Musababnya, partisipasi konsumen dalam boikot akan mendorong mereka mencari produk substitusi, yang dipandang tidak berafiliasi dengan Israel. “Hal ini merupakan momentum bagi produk dan merek lokal untuk tampil dan berkembang,” ujar Yusuf. Ia memandang sifat boikot yang diadopsi di Indonesia sejatinya adalah boikot parsial yang berfokus pada produk-produk prioritas dan bukan boikot penuh.

Bersamaan dengan itu, Yusuf melihat pemerintah seharusnya mendorong upaya sistematis untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot. “Dengan demikian gerakan boikot tidak hanya akan menjadi gerakan kultural terhadap kejahatan Israel, tapi juga sebagai kebijakan afirmatif untuk usaha mikro dan pengusaha lokal.”

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/485888/dampak-boikot-produk-pro-israel