Candu Bansos untuk Atasi Kemiskinan

KORANTEMPO, JAKARTA – Rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap terlalu mengandalkan skema bantuan sosial (bansos) untuk menekan angka kemiskinan. Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan penurunan angka kemiskinan lewat pemberian bansos tidak bisa dianggap sebagai sebuah prestasi karena efeknya hanya untuk jangka pendek.

Meski urgen untuk menjaga daya beli dan tingkat konsumsi minimal, terutama pada masa krisis, skema itu dinilai tidak mengerek tingkat kesejahteraan masyarakat. “Yang dibutuhkan adalah instrumen jangka panjang, misalnya penguatan usaha kecil dan mikro serta penciptaan lapangan kerja yang berkualitas,” kata Yusuf kepada Tempo, kemarin.

Idealnya, kata Yusuf, wilayah cakupan dan intervensi dana dari pemerintah untuk bansos harus dikurangi dari waktu ke waktu. Mengecilnya peran bansos itu bisa menjadi indikator penanggulangan kemiskinan. Namun hal yang terjadi masih sebaliknya. Selama sedekade terakhir, menurut dia, bansos justru ditonjolkan sebagai program untuk menekan angka kemiskinan.

Beberapa program yang diandalkan pemerintah selama satu dekade terakhir adalah Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), serta Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Presiden Joko Widodo berdialog dengan pedagang saat pembagian bantuan sosial di Pasar Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 2022. TEMPO/Prima Mulia

Jumlah bantuan yang disediakan pemerintahan Jokowi tercatat melampaui skala bansos di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jumlah penerima PKH pada 2014, menjelang akhir masa jabatan SBY, tercatat sebanyak 2,7 juta keluarga. Cakupannya langsung melonjak ke 3,5 juta setahun kemudian. Pada 2016, penerima PKH berlipat ganda menjadi 6 juta keluarga sebelum mencapai 10 juta keluarga pada 2018. “Ukurannya membesar lima kali lipat di era Jokowi,” tutur Yusuf.

Jumlah penerima BPNT juga tercatat meningkat dari 15 juta keluarga pada 2014 menjadi lebih dari 20 juta keluarga pada 2020. Karena tekanan pandemi Covid-19 selama dua tahun, jumlah penerima BPNT Sembako sudah menyentuh 22 juta keluarga di Indonesia.

Namun, alih-alih menunjukkan besarnya komitmen penanggulangan kemiskinan, Yusuf meneruskan, jurus bansos itu malah menutupi fakta kelemahan pemerintah dalam hal pemberdayaan ekonomi rakyat. “Karena jelas-jelas konsumsi masyarakat miskin menjadi bergantung kepada pemerintah.”

Penyelenggaraan program bansos pun nyatanya tak bersih-bersih amat. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, setidaknya ada satu kasus bansos yang menyeret bekas Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, dan beberapa anak buahnya. Pada 23 Agustus 2021, Juliari divonis bersalah karena terbukti menerima suap Rp 32,4 miliar dari rekanan penyedia paket bansos penanganan Covid-19.

Namun, alih-alih menjatuhkan hukuman berat, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya menghukum Juliari selama 12 tahun penjara, membayar uang pengganti Rp 14,597 miliar, dan mencabut hak politiknya selama empat tahun.

Setelah Juliari dipenjara, kasus korupsi bansos justru makin lebar. Mei lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut dugaan korupsi penyaluran bansos beras untuk penerima PKH di Kementerian Sosial 2020-2021. Dalam kasus ini, bekas Direktur Utama PT Bhanda Ghara Reksa—badan usaha milik negara bidang jasa logistik—Kuncoro Wibowo, bersama sejumlah anak buahnya diduga memanipulasi distribusi bansos beras.

Dugaan korupsi bansos beras ini disebut merugikan negara sampai Rp 127,5 miliar. Selain Kuncoro, setidaknya sudah ada enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Juliari, yang tengah menjalani masa tahanan, turut kembali diperiksa KPK. Hingga saat ini, kasus tersebut belum masuk ke pengadilan.

Selain diwarnai kasus korupsi, pemerintah tak konsisten dalam menganggarkan dana untuk program bansos. Hal ini, kata Yusuf, membuyarkan upaya penurunan tingkat kemiskinan nasional. Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) sempat dinaikkan hingga 61,5 persen pada masa pandemi, dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020. Setahun kemudian, dana perlinsos turun 6 persen, lalu berkurang lagi 1,6 persen pada 2022.

Anggaran perlinsos kembali berkurang 4,7 persen pada 2023. Namun, pada tahun depan, anggaran perlinsos dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 justru bakal naik 12 persen secara tahunan, dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun. “Terlihat unsur politik pada tahun pemilu. Dengan luasnya kemiskinan di Indonesia, bansos menjadi alat elektoral.”

Tak Signifikan Menekan Kemiskinan

Janji penghapusan kemiskinan juga muncul dalam dokumen visi-misi tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum 2024. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, berambisi menekan angka kemiskinan ke 4-5 persen sampai 2029.

Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menawarkan janji penurunan angka kemiskinan ke level 6 persen. Adapun janji penurunan angka kemiskinan dari duet Ganjar Pranowo-Mahfud Md. sebesar 2,5 persen. Target ketiga pasangan itu tergolong ambisius, mengingat tingkat kemiskinan masih bertengger di kisaran 9 persen sebelum dan setelah masa pandemi.

Peneliti lain Ideas, Shofie Azzahrah, mengimbuhkan, program pemulihan ekonomi pasca-pandemi juga hampir berdampak nihil terhadap rasio kemiskinan. Merujuk pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hingga Maret 2023, tingkat kemiskinan Indonesia berada di level 9,36 persen, mewakili 25,9 juta orang yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Tingkat kemiskinan masih lebih rendah pada September 2019. Sebelum masa pandemi, kemiskinan tercatat di angka 9,22 persen atau setara dengan 24,8 juta orang. “Kelihatan bahwa kebijakan pemerintah belakangan ini, termasuk bansos, belum memulihkan situasi ekonomi,” ujar Shofie.

Warga menyaksikan debat perdana Capres dan Cawapres 2024 melalui tayangan televisi di Jakarta, 12 Desember 2023. ANTARA/ Erlangga Bregas Prakoso

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Riza Annisa Pujarama, mengatakan catatan tingkat kemiskinan pada Maret lalu itu jauh dari target 7,5-8,5 persen yang dikejar pemerintah pada 2023. Berlanjutnya program bansos, menurut dia, bisa saja mengurangi angka kemiskinan pada tahun ini, tapi tipis. “Angka (kemiskinan) belum dirilis lagi oleh BPS, tapi kemungkinan besar tetap tidak kurang dari 9 persen.”

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (CORE) Mohammad Faisal mewanti-wanti pemerintah agar tetap memantau masyarakat yang baru keluar dari bawah garis kemiskinan. Pasalnya, sebagian besar dari kategori tersebut masih tergolong rentan miskin. “Mereka tidak dihitung dalam angka kemiskinan, tapi sebenarnya masih miskin.”

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Suprayoga Hadi menyatakan pemerintah akan lebih intensif bermitra dengan beragam pihak, terutama dalam hal penghapusan kemiskinan ekstrem. Menurut Hadi, butuh kebijakan khusus lintas lembaga untuk menurunkan sedikitnya 1,8 persen angka kemiskinan. “Demi mencapai 7,5 persen pada 2024,” tuturnya, seperti dikutip dari situs web resmi kelembagaan Wakil Presiden RI.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486293/dampak-bansos-terhadap-kemiskinan