Masih Mahal Biaya Investasi

KORANTEMPO, JAKARTA – ALIRAN investasi yang mengucur ke Tanah Air tercatat naik tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir. Pada 2013, nilai investasi yang masuk sebesar Rp 398,3 triliun. Per tahun lalu, nilainya melonjak hingga Rp 1.207,2 triliun. Namun realisasi investasi itu tak membuat laju pertumbuhan ekonomi lebih moncer. Tingkat pertumbuhan stagnan di kisaran 5 persen setiap tahun. Bahkan, pada 2020-2021, pertumbuhan ekonomi tersebut melesu akibat adanya pandemi.

Kenaikan investasi yang tak diiringi peningkatan pertumbuhan ekonomi itu, menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, memperlihatkan biaya berinvestasi yang kian mahal alias tak efisien. Kondisi ini tergambar dalam nilai rasio produktivitas investasi alias incremental capital to output ratio (ICOR) Indonesia yang relatif tinggi.

Rizal mengatakan tingginya nilai ICOR menunjukkan efisiensi dalam investasi semakin rendah. “Artinya, biaya realisasi investasi terhadap output yang dihasilkan masih terbilang mahal,” ujarnya kepada Tempo, kemarin. Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi sulit tumbuh dengan cepat karena daya ungkit ekonomi dari investasi yang masuk kurang optimal.

Data yang dihimpun Tempo menunjukkan nilai ICOR beberapa negara tetangga pada 2018 berada di angka 3-5. Filipina, misalnya, memiliki ICOR 3,7; Thailand 4,5; Malaysia 4,6; dan Vietnam 5,2. Adapun Indonesia, pada waktu itu memiliki nilai ICOR sebesar 6,4.

Pekerja dengan bantuan alat berat melakukan pekerjaan pembangunan Jalan Tol Solo-Yogyakarta di Klaten, Jawa Tengah, 18 Desember 2023. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho

Istilah ICOR ini menjadi hangat diperbincangkan setelah diungkit dalam debat calon wakil presiden pada Jumat pekan lalu. Kala itu, calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengatakan punya target menurunkan nilai ICOR ke level 4-5 jika terpilih. “Sehingga investasi akan naik dan menumbuhkan trust dari calon investor,” ujar putra dari Presiden Joko Widodo itu.

Dalam lain kesempatan, calon presiden Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo juga sempat menyoroti perkara yang sama. Anies mengatakan nilai ICOR perlu diturunkan dengan sejumlah cara: mengefisienkan proyek-proyek, harmonisasi antara pemerintah dan swasta, serta menghindari duplikasi program. Ia membidik ICOR turun ke angka 5. Sementara itu, Ganjar membidik ICOR turun ke angka 4 untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi naik menjadi 7 persen.

Tren ICOR yang tinggi ini terjadi setidaknya mulai 2015, pada awal kepemimpinan Presiden Jokowi. Kala itu, nilai ICOR yang sebesar 4,9 pada 2014 naik ke 6,64 setahun setelahnya. Angka tersebut sempat turun tipis pada tahun-tahun setelahnya, tapi kembali meningkat ke 8,61 pada 2021. Kemudian, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan ICOR Indonesia per Maret 2023 telah mencapai 7,6.

Padahal pemerintahan Jokowi menggadang-gadang berbagai program dengan iming-iming peningkatan produktivitas investasi. Antara lain dengan reformasi struktural, mempercepat perizinan dan iklim investasi, menggenjot infrastruktur secara signifikan, hingga menelurkan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan berbagai kelonggaran bagi para pemodal.

Penyebab ICOR Tinggi

Tingginya nilai ICOR, menurut para ekonom, menjadi ponten merah bagi pemerintahan Jokowi. Musababnya, indikator itu menunjukkan masih banyak persoalan dalam konversi modal menjadi output perekonomian. Beberapa faktor penyebab ICOR masih tinggi, kata Rizal, adalah praktik korupsi masih marak, kondisi asimetri informasi, masih adanya pungutan liar atau ilegal, mahalnya biaya dan perizinan lahan, panjangnya birokrasi, hingga masih tingginya biaya logistik.

Meningkatnya nilai ICOR, kata Rizal, juga tak lepas dari strategi pembangunan pemerintah yang nyatanya gagal menurunkan biaya logistik. “Justru yang dibangun adalah infrastruktur yang tak membuat biaya logistik jadi lebih efisien, tapi justru semakin mahal,” ujarnya. Infrastruktur yang dimaksudkan misalnya pembangunan jalan tol yang menghubungkan berbagai daerah, tapi tidak dimanfaatkan pelaku usaha logistik karena tarifnya yang tinggi.

Pembangunan infrastruktur yang masif pada era Jokowi juga dinilai masih belum mendorong konektivitas dari hulu ke hilir. Beberapa infrastruktur besar pada era Jokowi juga belum berfungsi optimal, misalnya Bandar Udara Kertajati dan Pelabuhan Patimban. Peringkat indeks performa logistik Indonesia pun turun dari posisi ke-46 pada 2018 menjadi posisi ke-63 pada 2023. “Infrastruktur di zaman Presiden SBY jauh lebih efektif dan efisien dalam mendorong investasi dan kemudahan melakukan bisnis,” kata Rizal.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono sepakat tingginya ICOR pada era Jokowi banyak disumbang oleh rendahnya kualitas pembangunan infrastruktur serta arah pembangunannya yang keliru sehingga tidak meningkatkan efisiensi perekonomian. Tak hanya pembangunan jalan tol dan infrastruktur yang belum optimal operasinya, Jokowi juga dianggap banyak membangun infrastruktur berbiaya amat mahal tanpa nilai tambah ekonomi yang sepadan. Misalnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Buktinya, kata dia, sepanjang 2016-2022, pemerintah telah menyelesaikan 153 proyek strategis nasional senilai Rp 1.040 triliun. Namun, pada waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari target 7 persen yang dicanangkan Jokowi pada awal pemerintahannya. Sepanjang 2015-2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya mencapai 4,2 persen. “Andai kita tidak perhitungkan masa pandemi, tetap hanya akan mencapai 5,1 persen, jauh di bawah target Jokowi.”

Suasana pengurusan perijinan usaha pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Reformasi Struktural Jauh Panggang dari Api

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan tingkat ICOR sangat bergantung pada reformasi struktural yang digadang-gadang pemerintah karena rasio tersebut memperlihatkan besarnya biaya berbisnis di Indonesia. Reformasi struktural yang dimaksudkan pun bukan hanya soal kemudahan perizinan, tapi juga bagaimana berbagai program pemerintah bisa meningkatkan efisiensi biaya yang ditanggung pelaku usaha.

“Meskipun kita punya agenda reformasi yang bagus-bagus, implementasi lapangannya bisa dikatakan masih sangat jauh dari harapan karena implementasi tidak konsisten sehingga peningkatan efisiensi cost of doing business secara riil di lapangan masih sangat rendah,” kata Shinta.

Umumnya, negara berkembang menggenjot investasi infrastruktur pendukung dan adopsi teknologi di sektor kunci sehingga produktivitas serta daya saing ekonomi meningkat. Namun Shinta melihat Indonesia memiliki kondisi yang lebih kompleks karena penurunan daya tarik investasi ditentukan oleh reformasi regulasi dan birokrasi yang tidak memadai serta tak konsisten.

Proses adopsi teknologi dalam bisnis juga dianggap sangat lambat karena kualitas sumber daya manusianya masih terbatas. Akibatnya, sektor yang lebih berkembang di Indonesia adalah yang nilai tambahnya rendah. “Kami berharap pemerintah tidak hanya berfokus pada agenda-agenda reformasi, tapi juga berfokus pada peningkatan efisiensi dan daya saing usaha atau investasi,” kata Shinta.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Hariyadi Sukamdani juga menyoroti rendahnya kualitas investasi terhadap pembentukan lapangan kerja. Akibat kondisi ini, daya ungkit ekonomi investasi menjadi rendah. Hal ini terlihat dari laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal yang menyebutkan penyerapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi turun dari 4.594 orang pada 2013 menjadi 1.081 orang pada 2022.

Akibatnya, daya beli masyarakat tidak terungkit dan pemerataan pendapatan terhambat. Kondisi ini yang membuat pemerintah harus terus meningkatkan anggaran perlindungan sosial setiap tahun, alih-alih mengalokasikannya untuk pos yang lebih produktif.

Hariyadi mengatakan masalah yang membelit Indonesia ini hanya bisa diselesaikan jika pemerintah berani mengaudit berbagai program dan pembangunan secara profesional. Dari sana, barulah dapat ditemukan berbagai inefisiensi yang harus dibenahi pemerintah ke depan. Misalnya, soal biaya proyek pembangunan yang berpotensi lebih mahal di Indonesia dibanding di negara lain. “Bikin infrastruktur setuju, tapi kalau biayanya lebih mahal artinya ada pemborosan,” katanya.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486384/penyebab-icor-indonesia-tinggi