Kebijakan Penghiliran Minim Kontribusi

KORANTEMPO, JAKARTA – Kebijakan penghiliran belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Perlu berfokus pada industrialisasi sektor lain.

KEBIJAKAN penghiliran atau hilirisasi industri yang terus digaungkan Presiden Joko Widodo dipastikan bakal berlanjut di era pemerintahan berikutnya. Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilihan Umum 2024 sepakat melanjutkan kebijakan tersebut. Hal itu setidaknya terlihat dari dokumen visi dan misi mereka serta berbagai pernyataan mereka kepada publik.

Program penghiliran memang menjadi salah satu andalan pemerintahan Jokowi dalam mengejar status Indonesia sebagai negara maju. Berkali-kali Jokowi menyebutkan pentingnya kebijakan ini. Salah satunya saat ia berbicara di hadapan anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia pada 31 Juli lalu.

Menurut Jokowi, peningkatan nilai tambah—dari sektor mineral, perkebunan, hingga perikanan—di dalam negeri bakal membantu Indonesia selangkah lebih dekat menuju status negara maju. “(Kalau itu semua bisa dilakukan) menurut hitung-hitungan World Bank, McKinsey, IMF, dan OECD, hal itu (bisa tercapai) pada 2040-2045,” tutur Jokowi kala itu.

Sejumlah ahli tak menampik besarnya peran penghiliran bagi perekonomian Indonesia. Namun, pada praktiknya, yang hingga kini baru terbatas pada hasil pertambangan, penghiliran belum memberikan hasil sesuai dengan harapan. Mereka memberi catatan yang sama: perlu ada perbaikan kebijakan penghiliran.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menyoroti kebijakan penghiliran yang berbasis larangan ekspor. Kebijakan tersebut justru memicu risiko ekspor ilegal dan penambangan ilegal.

“Dengan penegakan hukum yang lemah, tanpa pelarangan ekspor saja, negara sering dirugikan oleh rendahnya penerimaan pajak akibat praktik under-invoicing dalam ekspor komoditas,” tuturnya kepada Tempo, Ahad, 31 Desember 2023.

Contoh kasusnya adalah penghiliran nikel. Sejak 1 Januari 2020, pemerintah menutup keran ekspor bijih nikel. Kebijakan ini menekan harga nikel di pasar domestik hingga 50 persen lebih rendah dari harga internasional. Ekspor ilegal menjadi lebih menarik ketimbang memenuhi kebutuhan smelter di dalam negeri.

Aktivitas produksi nikel sulfat di PT Halmahera Persada Lygend, Pulau Obi, Maluku Selatan, 17 Juni 2023. TEMPO/Subekti

Harga yang anjlok berarti penurunan penerimaan royalti. Pemerintah memang bisa meningkatkan pendapatan ekspor nikel dari hanya kisaran US$ 3 miliar pada 2018 menjadi US$ 33 miliar pada 2022 setelah penghiliran. Namun, Yusuf mengingatkan, ada ongkos yang lebih besar dikeluarkan pemerintah dari stimulus buat pelaku usaha yang bersedia mengolah nikel. Pemerintah menawarkan tax holiday hingga membebaskan biaya pungutan ekspor yang mempengaruhi penerimaan pajak pertambahan nilai serta pajak ekspor.

Di pasar global, kebijakan ini telah mendongkrak harga nikel dunia. Yusuf mencatat pemain global pun terpacu mengembangkan jenis baterai dengan komponen non-nikel, seperti besi atau sulfur, yang harganya lebih murah. Kondisi ini mengancam cita-cita Indonesia menjadi hub baterai dunia.

Yusuf menilai pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan penghiliran berbasis larangan ekspor. Model serupa tak bisa diterapkan ke komoditas lain. Idealnya, penghiliran didorong oleh keunggulan komparatif, seperti birokrasi yang bersih dan efisien, pasokan tenaga kerja terlatih yang berlimpah, serta dukungan riset yang kuat dari universitas.

“Industrialisasi berbasis pelarangan ekspor adalah strategi usang yang distortif, rentan perburuan rente, dan tidak sejalan dengan tren dunia yang berfokus pada pengembangan rantai pasok global.”

Ke depan, penghiliran juga perlu memberi dampak pada kapasitas industri nasional, menyerap tenaga kerja lokal, dan menjaga kelestarian alam. Yusuf mengatakan ketiga hal itu penting menjadi pertimbangan agar kebijakan penghiliran tak jadi instrumen industrialisasi negara lain. Jangan sampai, ujar Yusuf, Indonesia hanya menjadi tempat relokasi industri tak ramah lingkungan sekaligus pemasok barang setengah jadi yang murah di pasar global.

Poin terakhir ini juga menjadi perhatian Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Dalam tiga tahun terakhir, kebijakan penghiliran belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi lantaran belum sampai produk turunan terakhir. Peningkatan nilai tambah nikel, misalnya, didominasi nickel pig iron (NPI) dan feronikel. Komoditas ini kemudian diekspor para pengusaha smelter untuk diolah di negara mereka menjadi produk turunan selanjutnya.

“Artinya nilai tambah ekonominya hanya ada di penyerapan tenaga dan bangun konstruksi smelter waktu awal,” ujar Komaidi. Dampaknya terbatas pada daerah sekitar pabrik berdiri. Sementara itu, hasil pengolahan NPI dan Fe dinikmati mitra dagang Indonesia. Investor tambang serta smelter tambang pun mayoritas berupa pemodal asing.

Komaidi menilai pemerintah belum menyiapkan penghiliran nikel secara terintegrasi antara industri hulu dan hilir. Kebijakan untuk memastikan serapan di pasar domestik dinilai penting agar manfaat program penghiliran bisa sepenuhnya dirasakan di Indonesia. “Pemerintah perlu bersinergi dengan banyak pihak untuk mewujudkannya.”

Pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN) Sultra PT ANTAM Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bachtiar mengatakan penghiliran yang baru berjalan tiga tahun serta masih terbatas pada beberapa produk tambang membuat efek kebijakan ini terhadap pertumbuhan ekonomi masih minim. Namun dia sependapat bahwa industri hilir yang belum berkembang menjadi kendala terbesarnya. Jika industri turunannya berdiri, ekspor produknya bakal memberi nilai tambah lebih besar.

Belum lagi tingginya investasi asing di sektor hulu. Menurut Bisman, besarnya porsi penanaman modal asing di sektor hulu memang tak salah. “Tapi penting juga memberikan prasyarat,” ujarnya. Misalnya, mewajibkan mereka untuk memberdayakan lebih banyak sumber daya lokal, baik barang, jasa, maupun tenaga kerja.

Untuk mengantongi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Bisman menilai pemerintah sebenarnya punya cara lebih mudah dibanding menggembar-gemborkan penghiliran dan memberi beragam stimulus. “Cara yang lebih cepat adalah konsisten untuk menegakkan aturan.”

Dia menyoroti praktik penyimpangan dan kebocoran di industri komoditas ini, yang terjadi lewat praktik penambangan dan ekspor ilegal.

Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan efek penghiliran nikel tak bisa disangkal belum signifikan mendorong perekonomian nasional. Sebab, industri padat modal ini memiliki karakternya sendiri.

“Manfaat yang masuk ke ekonomi lokal di mana pun relatif kecil dibanding yang masuk ke pemilik modal,” tuturnya.

Tugas pemerintah, kata Dendi, adalah menarik minat investor untuk mengisi industri antara hingga ke hilir di dalam negeri. Khususnya investasi dari lokal, meskipun bakal butuh waktu karena modal yang besar dan penguasaan teknologi. Dia juga berharap pemerintah ke depan tak menjadikan program penghiliran sebagai anak emas mengingat kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi masih minim.

Menurut Dendi, industrialisasi di sektor-sektor padat karya bakal berdampak lebih besar buat Indonesia, seperti tekstil, furnitur, dan elektronik. Pemerintah perlu menaruh perhatian lebih pada sektor tersebut lantaran pertumbuhannya mulai stagnan. “Dampak ekonomi industri penghiliran masih jauh dibanding industri padat karya.”

Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486452/belum-signifikan-manfaat-penghiliran