Terang-terangan Mempolitisasi Bansos

Politikus memanfaatkan program bansos dalam kampanye pemilu. Anggaran program ini kerap naik pada tahun politik.

KORANTEMPO, JAKARTA — ACARA kampanye calon presiden-calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang dihadiri Zulkifli Hasan di Kendal, Jawa Tengah, pada 26 Desember 2023, berbuntut panjang. Zulkifli, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Menteri Perdagangan, dituding “menjual” program bantuan sosial alias bansos pemerintah sebagai konten kampanye politik.

Dalam cuplikan pidato yang disiarkan stasiun televisi nasional dan beredar di media sosial, Zulkifli menyebut bahwa bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) adalah pemberian Presiden Joko Widodo. Ia pun lantas mempromosikan PAN sebagai partai pendukung Jokowi sekaligus pendukung Gibran—anak sulung Jokowi—sebagai calon wakil presiden.

“Yang kasih bansos sama BLT siapa? Yang suka sama Jokowi angkat tangan! Pak Jokowi itu PAN. PAN itu Pak Jokowi. Makanya kita dukung Gibran. Cocok?” kata Zulhas—panggilan Zulkifli Hasan—dikutip dari cuplikan video yang belakangan viral tersebut. Akibat pernyataan itu, ia dianggap mempolitisasi program bantuan sosial pemerintah yang dananya berasal dari anggaran negara.

Jokowi memang kerap membagikan bansos secara langsung. Ia biasa menjalankan aktivitas ini kala melakukan kunjungan dinas ke daerah. Pada 27 Desember 2023, misalnya, Jokowi mendatangi Kantor Pos Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur, untuk membagikan BLT El Nino kepada masyarakat secara langsung. Dalam kunjungan itu, Jokowi didampingi Zulhas dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa serta Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani.

Dalam acara tersebut, Jokowi menyatakan BLT senilai Rp 400 ribu per penerima tersebut diberikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat karena kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok. “BLT El Nino ini digunakan karena ada kenaikan harga barang, beras yang naik dikit, ini dipakai untuk nutup itu,” katanya.

Beberapa pekan sebelumnya, pada 13 Desember 2023, Jokowi juga menebar bantuan uang tunai kepada sejumlah petani senilai masing-masing Rp 1,2 juta dan paket bahan pokok di Kecamatan Kesesi, Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam kunjungan tersebut, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Bupati Pekalongan Fadia Arafiq turut menemani.

Pada 4 Desember 2023, saat mengunjungi Nusa Tenggara Timur untuk meninjau sejumlah proyek, Jokowi membagikan beras cadangan pemerintah atau beras Bulog kepada keluarga penerima manfaat di Labuan Bajo. Di sana, Jokowi juga mengumumkan soal penambahan BLT El Nino pada November dan Desember 2023.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. ANTARA/Jessica Wuysang

Pidato Zulkifli yang membawa-bawa pembagian bansos dalam kampanyenya itu menuai reaksi para calon presiden peserta Pemilu 2024. Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, misalnya, mewanti-wanti bahwa bansos tidak boleh diklaim sebagai bantuan dari kantong pribadi. Anggaran bansos, dia melanjutkan, berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat.

Capres lainnya, Ganjar Pranowo, meminta bansos tidak dipolitisasi. “Karena itu haknya rakyat,” kata Ganjar saat berkunjung ke Pasar Kebon Agung, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu, 30 Desember 2023.

Tak hanya para capres, pernyataan Zulhas juga dikritik Wakil Ketua Komisi Perdagangan DPR Aria Bima. Politikus PDIP—partai pengusung Ganjar—itu menyatakan bakal memanggil dan mempertanyakan sikap Zulkifli dalam rapat bersama komisinya di parlemen. “(Pernyataan) itu adalah politisasi bansos yang tidak perlu, yang digunakan pemberitaan untuk rakyat hanya untuk mendapatkan politik elektoral. Itu sesuatu yang tidak manusiawi.”

Toh, Zulhas tak ambil pusing atas tudingan-tudingan tersebut. “Diomongin apa saja boleh. Semakin diomongin, semakin bagus,” ujar dia saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Januari lalu. Ia pun menyatakan siap menjelaskan tudingan tersebut kepada DPR.

Sebagai catatan, Zulhas juga pernah menggunakan program pemerintah lain saat tampil di depan publik sebagai Ketua Umum PAN. Pada 9 Juli 2022, ia menggelar program pembagian minyak goreng murah “Minyakita” besutan Kementerian Perdagangan kepada warga di Telukbetung Timur, Bandar Lampung, Lampung. Dalam acara itu, Zulhas mengkampanyekan putrinya, Futri Zulya Savitri, yang maju sebagai calon anggota legislatif PAN di daerah pemilihan Lampung I.

Anggaran Bansos Naik Setiap Tahun Politik

Pola-pola yang memperlihatkan politisasi program bansos, menurut para ekonom, memang kerap terjadi pada tahun politik. Salah satunya, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, terlihat dari kebijakan penganggaran program bantuan sosial oleh pemerintah. Data menunjukkan bahwa setiap kali memasuki masa hajatan pemilihan umum, pemerintah pasti memperbesar anggaran bansos. Pola ini tak hanya terjadi di era pemerintahan Jokowi, tapi juga pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Berdasarkan pengamatan Tempo atas dokumen Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, belanja bantuan sosial kerap ditambah satu tahun sebelum pemilu dan pada tahun pelaksanaan pemilu. Pada 2008, misalnya, belanja bansos naik 16 persen menjadi Rp 57,74 triliun dibanding pada tahun sebelumnya. Pada tahun pelaksanaan pemilihan presiden 2009, belanja bansos kembali membengkak 27,8 persen menjadi Rp 73,81 triliun.

Pola serupa terjadi pada 2013 dan 2014. Kala itu, pemerintah menggelontorkan anggaran belanja bansos Rp 92,14 triliun, naik 21,85 persen dibanding pada 2012. Setahun kemudian, anggarannya kembali naik menjadi Rp 97,02 triliun. Kemudian, pada 2018, belanja pemerintah untuk program bantuan sosial mencapai Rp 84,32 triliun, naik 52,5 persen dari anggaran pada 2017. Memasuki tahun Pemilu 2019, pengeluaran untuk bansos bertambah menjadi Rp 112,48 triliun.

Pada 2023, belanja bansos sebetulnya turun 9,32 persen menjadi Rp 146,47 triliun dibanding pada tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi karena, pada periode 2020-2022, pemerintah menggelontorkan anggaran bansos secara besar-besaran untuk menjaga daya beli masyarakat pada masa pandemi Covid-19. Namun, pada tahun ini, anggaran itu kembali didongkrak menjadi Rp 157,3 triliun. Jumlah ini lebih besar Rp 45 triliun ketimbang anggaran belanja bansos pada 2019 atau masa sebelum pandemi.

Kebiasaan menambah anggaran bansos pada tahun politik ini, menurut Bhima, dibarengi dengan berbagai risiko. Dari politisasi program bansos hingga korupsi. “Efektivitas bansos biasanya akan rendah meski anggarannya sangat besar,” kata dia. Apalagi tak semua bansos disalurkan dalam bentuk tunai.

Bentuk program bansos pun kian beragam. Sejak tahun lalu, pemerintah meluncurkan bantuan pangan beras 10 kilogram untuk setiap keluarga penerima manfaat. Mulanya, program itu disalurkan sejak Maret hingga Mei 2023 untuk 21,3 juta penerima. Pembagian kembali dilakukan pada September sampai November 2023. Belakangan program ini terus diperpanjang hingga Juni 2024. Dalih pemerintah: untuk meringankan dampak El Nino terhadap masyarakat miskin.

Tak hanya bantuan beras, pemerintah juga mengguyur masyarakat dengan bantuan langsung tunai El Nino di luar BLT reguler. BLT El Nino diberikan pada periode November-Desember 2023 dengan total anggaran mencapai Rp 7,52 triliun. Program ini menyasar 18,8 juta keluarga penerima manfaat yang masing-masing menerima bantuan Rp 400 ribu per dua bulan. Belakangan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengusulkan BLT El Nino diperpanjang. “Kalau memang tepat sasaran, kita lanjutkan lagi,” kata Ketua Umum Partai Golkar—anggota koalisi pendukung Prabowo-Gibran.

Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan bantuan sembako kepada petani saat melakukan kunjungan kerja di area persawahan Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, 13 Desember 2023. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Efektivitas Bansos Masih Meragukan

Di sisi lain, guru besar ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Arief Yusuf Anshory, mengatakan pemberian bantuan sosial reguler oleh pemerintah sebetulnya sudah cukup memberikan dampak terhadap perekonomian ataupun kesejahteraan masyarakat penerima. Persoalannya, penyaluran program ini juga masih punya banyak masalah.

Salah satu pangkal masalah ketidaktepatan penyaluran bansos adalah basis data yang digunakan, yakni Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Menurut Arief, penggunaan basis data itu membuat target penyaluran bansos meleset hingga 50 persen. “Jadi ada yang berhak, tapi tidak dapat, dan sebaliknya, ada yang tidak berhak menerima, tapi dapat.”

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menilai besarnya anggaran bansos juga dapat menimbulkan mudarat lantaran berpotensi dimanfaatkan sebagai alat kepentingan elektoral. “Bahkan rentan disalahgunakan untuk menjadi arena perburuan rente ekonomi, selain untuk mendapatkan simpati publik.”

Yusuf tak memungkiri kehadiran berbagai program bansos membantu masyarakat bertahan di tengah tekanan perekonomian. Minimal agar daya beli mereka tetap terjaga. Namun pemberian bantuan sosial semata dianggap tak akan pernah bisa menjadi solusi penanggulangan kemiskinan.

“Bansos harus selalu diikuti dengan program penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, terutama di sektor pertanian, perdagangan, dan industri manufaktur,” kata Yusuf. Seiring dengan pemberdayaan masyarakat, pemerintah semestinya bertahap mengurangi anggaran bansos. Turunnya alokasi duit untuk bansos menjadi indikator keberhasilan pemerintah.

Kebijakan pemerintah untuk terus menambah anggaran bansos, menurut Yusuf, justru menunjukkan kelemahan pemerintah dalam memberdayakan perekonomian rakyat dan menciptakan lapangan pekerjaan secara luas. Walhasil, akibat kegagalan itu, daya beli masyarakat berpenghasilan rendah harus terus ditopang negara. “Dengan kemiskinan yang tersebar luas, bansos akan selalu mendatangkan keuntungan elektoral bagi penguasa.”

Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi yakin bansos dengan orientasi kepentingan elektoral tidak akan berdampak besar bagi perbaikan perekonomian negara. Bahkan, menurut dia, politisasi bansos bisa disebut sebagai penyelewengan keuangan negara sekaligus penyalahgunaan kewenangan dan jabatan.

“Belanja keuangan negara itu sudah diatur. Kalau kemudian diada-adakan karena kepentingan politik, itu penyelewengan,” ujar Badiul. Penyelewengan yang dimaksudkan bukan hanya soal moral dan etik, tapi juga bisa berupa pelanggaran hukum. Karena itu, kata dia, para pemangku kepentingan harus lebih jeli mengawasi penyaluran bansos pada tahun politik.

Demi Menjaga Stabilitas

Pemerintah enggan mengakui adanya politisasi bansos kendati Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan jelas-jelas menggunakan program ini dalam kampanye partainya. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pemberian bansos merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam strategi penanggulangan kemiskinan.

Program tersebut, kata Ari, pendanaannya bersumber dari APBN serta telah disetujui bersama pemerintah dan DPR. “Jadi tidak ada hubungannya dengan proses pemilu,” ujar dia, Kamis, 4 Januari lalu. Ari juga menyatakan target sasaran bansos sudah jelas dan penyalurannya melibatkan berbagai level pemerintahan, dari tingkat pusat, daerah, hingga desa. “Pelaksanaan di lapangan juga terbuka untuk diawasi oleh berbagai pihak.”

Adapun Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Ferry Irawan menjelaskan alasan pemerintah kembali menambah anggaran dan memperpanjang beberapa program bansos. Salah satunya kondisi ketidakpastian global dan domestik yang membuat harga pangan, terutama beras, meningkat. “Sehingga adanya bantuan pangan beras dan BLT El Nino bisa menahan kenaikan harga beras, terutama pada momen-momen hari besar keagamaan nasional pada 2023.”

Pada tahun ini, kata Ferry, fenomena iklim El Nino diperkirakan berlanjut, setidaknya sampai April 2024. Hal ini berdampak pada mundurnya musim tanam dan masa panen raya padi. Dengan alasan itu, pemerintah kembali melanjutkan pemberian bansos untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat. “Sehingga dapat mendukung pencapaian target inflasi yang rendah dan stabil.”

Sumber :https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486531/politisasi-bansos-di-masa-pemilu