Banyak Tantangan Mendongkrak Rasio Pajak

KORANTEMPO, JAKARTA – Meski realisasi penerimaan pajak naik 5,9 persen, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia menurun. Dalam konferensi pers realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), 2 Januari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan rasio pajak terhadap PDB pada 2023 sebesar 10,21 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya, yakni 10,39 persen.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan penerimaan perpajakan masih cenderung stagnan. “Selama satu dekade terakhir, rasio pajak hanya berada di kisaran 10 persen dari PDB,” ujarnya, kemarin.

Secara umum, rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB dalam periode waktu tertentu. Angka rasio ini digunakan untuk mengukur optimalisasi kapasitas administrasi perpajakan negara dalam menghimpun penerimaan pajak.

Menurut Yusuf, penurunan rasio pajak menempatkan Indonesia dalam daftar negara-negara dengan kapasitas fiskal terendah. “Tidak hanya di kawasan, tapi juga di dunia,” katanya.

Pengunjung membaca brosur di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta,20 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Berdasarkan laporan bertajuk “Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023” yang dirilis Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), rasio pajak Indonesia masih di bawah rata-rata negara lain. Pada 2021, rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah 10,9 persen. Sedangkan rasio pajak di negara-negara Asia dan Pasifik rata-rata sebesar 19,8 persen.

Menurut Yusuf, kinerja penerimaan perpajakan Indonesia tidak banyak berubah. Target rasio pajak tahun ini bahkan masih lebih rendah dari rasio pajak di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada 2015, yakni sebesar 10,76 persen dari PDB. “Jadi belum terlihat adanya kenaikan kinerja fiskal pasca-reformasi perpajakan,” ujarnya.

Tantangan Meningkatkan Rasio Pajak

Peneliti perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, mengatakan ada beberapa tantangan untuk menaikkan rasio pajak. Tantangan itu di antaranya masih ada beberapa sektor yang undertaxed alias kontribusi terhadap PDB-nya lebih tinggi daripada penerimaan pajak. Salah satunya adalah sektor pertanian. Kontribusi sektor ini terhadap perekonomian, kata Fajry, tak sebanding dengan kontribusinya dalam pajak. “Begitu pula dengan sektor konstruksi dan real estate. Hal ini disebabkan oleh adanya fasilitas pajak atau perlakuan khusus,” ucapnya.

Masalah lainnya adalah basis penerimaan pajak yang kurang optimal. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dan Direktorat Jenderal Pajak, sebagian besar penduduk Indonesia masih di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Menurut Fajry, idealnya pajak penghasilan orang pribadi menjadi kontributor terbesar penerimaan pajak. Karena itu, penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang tinggi menjadi salah satu kunci agar rasio pajak meningkat. “Optimalisasi penerimaan PPh orang pribadi juga harus tetap dilakukan,” ujarnya.

Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Ferry Irawan mengatakan hal serupa. Menurut Ferry, saat ini sektor informal belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem perpajakan di Indonesia. “Karena itu, pemerintah berusaha menggenjot rasio pajak dengan memberlakukan nomor induk kependudukan (NIK) menjadi nomor pokok wajib pajak (NPWP) untuk memudahkan administrasi wajib pajak,” katanya.

Selain itu, menurut Ferry, pemberian insentif perpajakan masih kurang efektif dan efisien. Pemberian insentif perpajakan dianggap tidak selalu berdampak langsung pada perekonomian dalam waktu singkat. Namun insentif untuk sektor-sektor strategis diharapkan mampu memberikan nilai tambah yang tinggi pada perekonomian nasional. “Karena itu, pemerintah selalu berupaya memberikan insentif perpajakan terarah dan terukur,” ujarnya.

Adapun upaya untuk menaikkan rasio pajak, Ferry menjelaskan, pemerintah akan mendorong tingkat kepatuhan dan menerapkan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan. “Sistem perpajakan digital diharap mampu menangkap aktivitas ekonomi dan pemberlakuan pajak digital.” Penerimaan pajak pun akan digenjot. Dalam APBN 2024, kata Ferry, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.309,9 triliun. “Dengan target rasio pajak tahun ini sebesar 10,1 persen terhadap PDB,” ucapnya.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486587/mengapa-rasio-pajak-indonesia-rendah