Mudarat Dominasi Investasi Swasta di IKN

KORANTEMPO, SINGAPURA — Kebutuhan pendanaan jumbo pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara menitikberatkan pada partisipasi sektor swasta. Pemerintah menetapkan pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara maksimal 20 persen. Sedangkan sisanya diharapkan berasal dari investor privat.

Merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, disebutkan bahwa indikasi kebutuhan pendanaan IKN sebesar Rp 466 triliun yang dibagi menjadi tiga indikasi pendanaan. Pertama APBN sebesar Rp 90,4 triliun, badan usaha/swasta sebesar Rp 123,2 triliun, serta kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sebesar Rp 252,5 triliun.

Sejumlah pengamat urban dan ekonom mengungkapkan perencanaan ini menimbulkan kekhawatiran yang berpotensi berdampak negatif terhadap ekonomi dan lingkungan di masa depan. Professor dari ETH Zurich, Stephen Cairns, mengungkapkan ketergantungan pada pendanaan swasta seperti yang terjadi di IKN berpotensi menggerus kontrol pemerintah. “Tidak ada jaminan komitmen keberlanjutan atau sustainability yang digaungkan itu akan dilaksanakan karena secara natural sektor privat cenderung berorientasi pada untung-rugi ekonomi,” ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Tren pembangunan kota oleh korporasi swasta memang tengah marak terjadi. Tak hanya IKN, tren serupa terjadi di Thailand, India, dan sejumlah kota lainnya di Asia. Keterbatasan anggaran pemerintah menjadi penyebab utama semakin meningginya hegemoni swasta dalam investasi pembangunan kota. “Pemerintah akhirnya akan seperti makelar tanah, menjual tanah-tanah negara kepada swasta,” kata Stephen.

Berdasarkan sejarah, pengembangan kota baru yang titik beratnya pada investasi swasta kerap berkorelasi negatif terhadap dampak sosial dan lingkungan. Sebab, secara jangka pendek investor akan lebih mengutamakan keuntungan dibanding isu keberlanjutan, yang sering diasosiasikan dengan tambahan biaya.

Associate Professor in Urban Design Monash University Indonesia, Eka Permanasari, mengungkapkan kekhawatiran itu semakin beralasan ketika investor swasta yang menyatakan komitmen untuk masuk ke IKN adalah mereka yang sebelumnya sudah banyak beroperasi di Pulau Jawa dan memiliki rekam jejak buruk soal lingkungan. “Di Jakarta atau di Jawa saja mereka tidak membangun dengan berkelanjutan. Ini jadi tidak relevan dan pantas diragukan komitmennya di IKN.”

Menurut dia, pengawasan menjadi kunci utama dalam mengantisipasi penyalahgunaan wewenang dan kepercayaan oleh sektor swasta ketika berkuasa membangun suatu kawasan atau kota baru. “Pemerintah harus memastikan mereka benar-benar patuh dan menjalankan komitmen pembangunan kota yang berkelanjutan, seperti menjaga lingkungan hidup, membangun gedung yang hemat energi, alih-alih menjalankan ‘business as usual’,” kata Eka.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengimbuhkan investasi domestik oleh konglomerasi besar existing di Indonesia, misalnya, menempati jajaran investor pelopor di IKN. Beberapa di antaranya adalah Pakuwon Group, Sinarmas, Salim Group, Adaro, dan Sedayu Group. “Dengan turut serta membangun IKN, mereka merasa mendapat pelindungan negara. Ada semacam backing politik bagi konglomerat yang terlibat membangun IKN,” ucapnya.

Pembangunan gedung dan kawasan kantor Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 17 Januari 2023. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Mekanisme terbaik untuk mengantisipasi risiko ini adalah membatasi peran investor swasta, khususnya yang terindikasi memiliki konflik kepentingan dalam proses perencanaannya. “Partisipasi masyarakat adat, masyarakat sekitar lokasi proyek, juga penting. Jadi, kalau ada daftar proyeknya yang bermasalah secara lingkungan dan lahan, mereka berhak menolak,” kata Bhima. Dengan demikian pembangunan yang terjadi dipastikan berkualitas.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan arus utama pembangunan kota di negara-negara berkembang yang umumnya didominasi oleh modal swasta memang cenderung rentan bersifat materialistik. “Tata ruang kota bergeser hanya untuk melayani pemilik modal,” ucapnya.

Fenomena ini disebabkan oleh daya tawar kota yang lemah terhadap investor swasta. Walhasil, pembangunan menjadi ajang delokalisasi dan mencerabut kota dari akar sejarahnya. “Kota sepenuhnya menjadi mesin pertumbuhan, ruang fisik kota tumbuh nyaris tanpa kendali, diseret kekuatan pasar.”

Menurut Yusuf, sikap ini berpotensi menciptakan fragmentasi dan segregasi, seperti daerah kaya dan miskin. Orientasi kota pun terfokus pada dimensi privat dari kemajuan material di bawah kendali korporasi. “Keindahan, keterbitan, dan kenyamanan dilakukan di bawah hegemoni pasar dan sepenuhnya merepresentasikan imajinasi kelompok kaya,” ujarnya.

Terlebih, dalam Undang-Undang IKN, pemerintahan lokal IKN berbentuk pemerintahan otorita, tanpa kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih secara demokratis. Padahal IKN adalah daerah setingkat provinsi.

Adapun Kepala Otorita IKN ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden, dengan masa jabatan yang bisa diperpanjang tanpa batasan. Dengan ketiadaan DPRD, warga IKN tidak memiliki representasi sama sekali dalam pemerintahan. “Hal ini dikombinasikan dengan rencana 80 persen pembiayaan IKN berasal dari modal swasta sehingga sulit berharap IKN bisa menjadi kota yang inklusif, hijau, dan berkelanjutan,” kata Yusuf.

Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Umum PSSI Erick Thohir saat meninjau perkembangan pembangunan Training Center (TC) PSSI di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 17 Januari 2023. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Tanggapan Otorita IKN

Adapun Chief Economist Otorita IKN Fauziah Zen menampik adanya risiko negatif dari besarnya pendanaan swasta dalam pembangunan IKN. Menurut dia, selama ini pemerintah dan otorita IKN memastikan investasi yang masuk telah melalui proses seleksi dan mencakup komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. “Mekanisme pengawasan akan berjalan tidak hanya dari lingkup internal otorita IKN, tapi juga dari Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan, dan masyarakat,” ujarnya.

Deputi Bidang Pendanaan dan Investasi OIKN Agung Wicaksono mengungkapkan ada setidaknya delapan tahap yang harus dilalui investor untuk akhirnya bisa merealisasi pembangunan proyek yang diincar. Pertama, penyampaian minat atau letter of intent (LoI). “Dalam LoI mereka menyampaikan minat mereka secara spesifik, misalnya pembangunan perumahan, hotel, pusat belanja, atau rumah sakit, lalu kami me-review dan menentukan prioritasnya siapa yang bisa jalan duluan berdasarkan fase pembangunan,” katanya.

Bagi investor yang terpilih akan diundang untuk mendiskusikan langkah lebih lanjut dengan OIKN sekaligus menyampaikan surat konfirmasi untuk diproses. Selanjutnya adalah penyampaian surat tanggapan dari OIKN untuk melanjutkan proses investasi disertai pengumpulan data dan berkas yang dibutuhkan. Tahap berikutnya adalah pengadaan studi kelayakan atau feasibility studies di lapangan.

“Setelah mereka melakukan feasibility studies, kami akan mengundang Kementerian Keuangan untuk mengevaluasi hasilnya dan kita lanjutkan dengan pengadaan tender,” ucapnya.

Tahap akhir adalah penandatanganan kesepakatan investasi antara investor dan OIKN untuk kemudian dilakukan ground breaking atau peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan. “Dalam setiap prosesnya akan dipastikan selalu mengacu pada proyek yang berkelanjutan, yang di dalamnya masterplan dan eksekusinya harus sesuai dengan komitmen yang telah disepakati,” kata Agung.

Tempo berupaya menghubungi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani soal komitmen swasta pada aspek lingkungan di IKN. Tapi, hingga berita diturunkan, Shinta tidak merespons pesan dan panggilan Tempo.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486817/risiko-buruk-dominasi-swasta-di-ikn