KORANTEMPO, JAKARTA – Peningkatan utang pemerintah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebutkan tidak ada hasil istimewa dari utang pemerintah yang menembus Rp 8.114,9 triliun per Desember 2023.
Tingginya utang yang selaras dengan kenaikan beban bunga utang, kata dia, justru membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta mengurangi belanja negara. Kenaikan jumlah utang membuat anggaran untuk kepentingan publik tersedot bagi pembayaran bunga utang.
Berkurangnya ruang fiskal ini, kata dia, melemahkan kemampuan negara untuk mengurangi tingkat kemiskinan, termasuk progam menurunkan angka stunting. “Ini menjadi masalah utama yang sangat memprihatinkan akibat melemahnya kemampuan APBN,” katanya, Kamis, 25 Januari 2024.
Anthony menilai kebijakan fiskal lebih berpihak kepada pemilik modal dan masyarakat menengah-atas. Dia mempertanyakan perbaikan kondisi masyarakat miskin. Tingkat kemiskinan hanya turun dari 10,96 persen pada 2014 menjadi 9,22 persen pada 2019, dan naik lagi menjadi 9,36 persen pada Maret 2023. “Tidak ada peningkatan kesejahteraan yang berarti, tidak ada pengurangan angka kemiskinan yang berarti,” katanya.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengatakan alokasi pembayaran bunga utang dalam APBN 2024 senilai Rp 497 triliun kepada sejumlah kecil investor setara dengan anggaran untuk puluhan program utama kementerian/lembaga.
Sejumlah program tersebut antara lain pelindungan sosial (Rp 78,1 triliun), pelayanan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (Rp 76 triliun), infrastruktur konektivitas (Rp 87,8 triliun), ketahanan sumber daya air (Rp 41,5 triliun), perumahan dan kawasan permukiman (Rp 35,4 triliun), modernisasi alat utama sistem persenjataan TNI dan Polri (Rp 76 triliun), pendidikan anak usia dini dan wajib belajar 12 tahun (Rp 29 triliun), pendidikan tinggi (Rp 46,8 triliun), serta ketersediaan akses dan konsumsi pangan berkualitas (Rp 8,4 triliun).
Gali Lubang Tutup Utang
Warga membuka informasi mengenai surat berharga negara dari situs web www.kemenkeu.go.id di Jakarta, 25 Februari 2022. TEMPO/Nita Dian
Pembenaran pemerintah, kata dia, untuk berutang umumnya spekulatif, yakni utang digunakan untuk kegiatan produktif yang akan menggenjot pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya penerimaan perpajakan dari aktivitas ekonomi diharapkan meningkat lebih tinggi daripada pertumbuhan utang. Namun kegagalan mendorong pertumbuhan dan menarik pajak harus dibayar mahal dengan berutang kembali.
Pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan surat berharga negara (SBN). Pada masa pandemi Covid-19, penerbitan SBN melonjak menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. “Pasca-pandemi, penerbitan SBN kembali ke ‘level normal’ di kisaran Rp 1.097 triliun pada 2022,” ujar Yusuf.
Peningkatan besaran utang baru setiap tahun berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Dia mengatakan utang baru dibuat untuk menutup kewajiban utang lama. Akibatnya, stok utang tidak pernah menurun. Pengelolaan portofolio utang hanya berupa debt switching serta buyback, dengan pemanis syarat dan ketentuan yang lebih baik. Pada 2024, rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak masih berada di kisaran 21,5 persen.
Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menuturkan peningkatan utang pemerintah merupakan imbas dari pandemi. Kala itu, penerimaan pajak tidak dapat menutupi kebutuhan belanja yang bertambah. Peningkatan utang pemerintah ini memiliki konsekuensi berupa kenaikan penerimaan perpajakan dalam jangka menengah hingga panjang untuk membayar pokok dan bunga utang.
Porsi belanja bunga utang, kata dia, terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. “Untuk 2024, belanja bunga utang menjadi salah satu pos belanja terbesar,” kata Yusuf. Peningkatan nilai utang otomatis membuat beban utang untuk fiskal pada masa depan ikut meningkat. Konsekuensi dari tingginya belanja bunga utang adalah menyempitnya ruang buat belanja lain yang lebih produktif, seperti pengentasan kemiskinan.
Stabilitas Rupiah Terancam
Karyawan tengah menghitung lembaran uang rupiah dan dolar AS di tempat penukaran valuta asing di Jakarta, 4 Oktober 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Kenaikan jumlah utang juga mempengaruhi kebutuhan dolar Amerika Serikat dan stabilitas nilai tukar rupiah. Ketika utang valas jatuh tempo, permintaan dolar AS atau mata uang asing lainnya meningkat. Peningkatan itu akan memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
Persaingan dengan swasta dalam menarik utang membuat pemerintah harus menawarkan suku bunga yang lebih tinggi. Keadaan tersebut akan membuat beban pembayaran bunga utang pada masa mendatang meningkat. Efek lainnya adalah swasta kesulitan berinvestasi karena ongkos pembiayaan menjadi lebih mahal.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menuturkan utang pemerintah saat ini dalam kondisi sehat dan risiko utang membaik. Dia mengakui outstanding utang pemerintah per 31 Desember 2023 sebesar Rp 8.144,7 triliun, setara dengan 38,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dia menjelaskan, rasio tersebut membaik dibanding pada Desember 2022 yang sebesar 39,7 persen dan Desember 2021 sebesar 40,7 persen.
Suminto mengungkapkan peningkatan rasio utang terhadap PDB Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah direspons dengan konsolidasi fiskal yang lebih cepat. Defisit APBN memang sempat melewati angka 3 persen dari PDB pada 2020 dan 2021 dalam rangka pembiayaan defisit. Namun, pada 2022, defisit APBN tinggal 2,35 persen dan menyusut kembali menjadi 1,65 persen pada 2023.
Soal stabilitas rupiah, Suminto menjelaskan, risiko nilai tukar makin kecil lantaran porsi utang dalam valas terus turun. “Turunnya porsi utang valas menunjukkan kapasitas pasar domestik yang meningkat, di antaranya berkat literasi dan inklusi keuangan yang lebih baik,” ucapnya. Ia mengimbuhkan, sepanjang 2023, arus modal masuk ke pasar SBN Indonesia mencapai Rp 79,87 triliun, sementara imbal hasil surat utang negara (SUN) 10 tahun turun 46 basis point.
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Melchias Marcus Mekeng, tidak mempermasalahkan kebijakan pemerintah yang terus menambah utang baru sepanjang bisa menaikkan PDB. Sebab, ketika PDB meningkat, penerimaan negara juga bertambah. “Kita jangan melihat nilai nominal utangnya saja, tapi juga manfaat dari utang tersebut,” katanya. Dia menegaskan, utang pemerintah harus digunakan untuk kegiatan yang produktif dan mengejar pertumbuhan ekonomi. Mekeng menilai, selama kemampuan membayar pemerintah masih bagus, utang bisa dianggap produktif.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486914/bola-salju-utang-pemerintah