KORANTEMPO, JAKARTA – Tingginya jumlah utang pemerintah yang pada Desember 2023 mencapai Rp 8.114,9 triliun ternyata belum optimal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan masih tinggi, yakni 9,36 persen pada Maret 2023 dengan jumlah penduduk miskin 25,9 juta jiwa.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Eko Listiyanto, mengatakan kenaikan utang yang berdampak minim pada kesejahteraan menunjukkan ketidakselarasan antara pembangunan ekonomi dan sosial. “Kaum miskin ditinggalkan dalam strategi pembangunan nasional,” katanya kepada Tempo, Kamis, 25 Januari 2024.
Masifnya pembangunan infrastruktur, Eko mengimbuhkan, juga tidak menekan ongkos logistik, sehingga gagal menekan kenaikan biaya kebutuhan dasar. Pembangunan yang dibiayai utang pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, lebih banyak dinikmati kelas menengah. Dia mencontohkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan Ibu Kota Nusantara, serta pembangunan berbagai bandara, pelabuhan, dan jalan tol.
Kenaikan harga barang yang mendorong inflasi inilah yang akhirnya menggencet kelas ekonomi bawah. “Setelah gagal mengelola harga bahan pokok, pemerintah mengambil jalan pintas dengan memberikan bantuan sosial (bansos),” kata Eko.
Penyaluran bansos, kata Eko, adalah indikator kegagalan pemerintah dalam melindungi kaum miskin karena kewalahan mengatur harga-harga bahan pokok. Alih-alih memberikan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, kata dia, Presiden Joko Widodo malah membangga-banggakan program bansos.
Eko menuturkan utang yang ditarik di zaman Jokowi tidak membuat pertumbuhan ekonomi lebih baik. Dia membandingkan penarikan utang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu mencetak pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen. Sedangkan di era Jokowi, ekonomi tumbuh tak lebih dari 5 persen.
Tingginya jumlah utang, tutur dia, hanya dapat dikompensasi jika pemerintah berhasil menaikkan produktivitas nasional. Pertumbuhan produktivitas akan menghasilkan penerimaan negara yang lebih besar. “Kalau pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, berarti kita mundur. Setidaknya ekonomi tumbuh 7 persen agar produktivitas nasional naik.”
Presiden Joko Widodo (kanan) meninjau pembangunan kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 17 Januari 2024. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Tumpukan Beban Bunga Utang
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan tumpukan utang pemerintah yang menggunung menyebabkan beban utang sangat besar, berupa cicilan pokok dan bunga utang. Stok utang yang terus meningkat akan makin melemahkan potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang di masa depan.
“Dengan kata lain, kita sudah masuk dalam jebakan utang, berutang untuk bayar utang,” katanya. Menurut Yusuf, banyak bukti empiris kontemporer yang menunjukkan bahwa makin tinggi stok utang pemerintah, makin rendah pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo menuturkan, secara nominal, nilai utang pemerintah memang terus meningkat. Namun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun tiap tahun. Pada 2021, rasio utang terhadap PDB 40,7 persen; tahun selanjutnya 39,7 persen; dan tahun lalu 38,6 persen.
Penurunan rasio utang, kata Wahyu, menunjukkan penurunan risiko utang. “Berarti produktivitas utang lebih tinggi dibanding risikonya, sehingga risiko utang terkendali dalam batas yang bisa dikelola,” ujarnya. Wahyu berujar, utang pemerintah tergolong produktif karena pertumbuhan PDB nominal lebih tinggi daripada pertumbuhan utang.
Yusuf mengatakan kenaikan utang membuat alokasi anggaran publik semakin tidak bersifat pro-rakyat miskin karena habis terpakai untuk membayar bunga utang. Sebagian besar anggaran publik mengalir ke kelompok investor pemegang surat utang Indonesia, bahkan ke luar negeri.
Kondisi tersebut membuat daya beli dan permintaan agregat selalu tertekan. Yusuf menuturkan beban bunga utang terus meningkat, dan pasca-pandemi Covid-19, angkanya melejit sangat tinggi. Sementara pada 2015 beban bunga utang di kisaran Rp 150 triliun, dalam APBN 2024 angkanya telah mendekati Rp 500 triliun.
Yusuf menyebutkan beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan perpajakan pada 2020. “Jauh di atas batas aman di 7-10 persen. Seiring dengan pemulihan ekonomi, beban ini menurun, namun tidak signifikan,” katanya. Pada 2023, rasio bunga utang terhadap penerimaan perpajakan diproyeksikan masih berada di kisaran 20,6 persen dan 21,5 persen pada 2024.
Pekerja menata gas LPG ukuran 3 kg di Pasar Rebo, Jakarta, 25 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Menggerus Pendapatan Negara
Yusuf menuturkan hampir seperempat penerimaan perpajakan habis untuk membayar beban bunga utang. Akibatnya, ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas. Dia mengatakan beban bunga utang dalam APBN 2023 senilai Rp 441 triliun untuk sejumlah kecil investor, setara dengan hampir seluruh subsidi dan bantuan sosial utama bagi rakyat. “Dari subsidi LPG tabung 3 kilogram, subsidi listrik, hingga BLT Desa,” katanya.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menuturkan tingginya belanja pemerintah, termasuk yang berasal dari utang, berseberangan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat karena masalah korupsi yang sistemis. Level korupsi pada zaman sekarang, kata dia, lebih besar jika dibanding pada era Presiden Soeharto. “Kini merata dari level bawah. Kalau dulu cuma per kelompok yang korup,” katanya.
Agus memperkirakan lebih dari 30 persen anggaran pemerintah dikorupsi. Dia mengibaratkan penangkapan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan serta kasus Asuransi Jiwasraya dan Asabri sebagai gunung es kasus penyalahgunaan uang negara.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486911/mengapa-utang-naik-tapi-ekonomi-melambat