TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menanggapi soal politik gentong babi dalam Pemilu 2024 yang diungkap dalam film Dirty Vote. Politik gentong babi merupakan cara berpolitik menggunakan uang negara dan menggelontorkannya ke daerah-daerah pemilihan agar penguasa bisa dipilih kembali. Salah satunya dengan cara mempolitisasi bantuan sosial atau Bansos.
Yusuf mengatakan Bansos telah dipolitisasi sedemikian rupa untuk keuntungan elektoral personal Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sebab, kebijakan itu menguntungkan Cawapres nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra kandung Presiden.
Bahkan, Yusuf menilai politik gentong babi telah dilakukan Jokowi sejak lama. “Indikasi politisasi Bansos oleh Presiden Jokowi sebenarnya sudah terlihat sejak Pilpres 2019, bahkan dilakukan sejak awal naik ke tampuk kekuasaan,” ujar Yusuf saat dihubungi Tempo pada Selasa, 13 Februari 2024.
Yusuf juga menyebutkan penyaluran Bansos pada era Jokowi dilakukan tiada henti dalam setahun terakhir. Bukan hanya Bansos reguler, tetapi juga Bansos ad-hoc. Menurut dia, hal ini jelas bukan upaya penanggulangan kemiskinan atau kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Kebijakan itu, menurut Yusuf, justru mencerminkan hasrat politik yang tak tertahankan untuk meraih dukungan elektoral secara instan dalam Pemilu 2024 yang sudah di depan mata.
Ia lantas mencontohkan hal tersebut terlihat jelas pada jumlah keluarga penerima bantuan program keluarga harapan atau PKH pada 2014. Penerima bantuan PKH pada akhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebanyak 2,7 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Namun pada 2015, jumlah KPM meningkat menjadi 3,5 juta keluarga. Pada 2016, jumlah KPM kembali naik dan menjadi 6 juta keluarga. Kemudian sejak 2018, jumlah KPM dilipatgandakan lagi menjadi 10 juta keluarga.
Demikian pula jumlah penerima bantuan pangan non tunai atau BPNT. Yusuf menuturkan angka penerima BNPT terus meningkat, dari kisaran 15 juta keluarga pada 2015 menjadi kisaran 21 juta keluarga sejak 2020.
Seiring perluasan Bansos ini, Yusuf mencatat anggaran belanja Bansos melonjak signifikan dari Rp 49,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 112,5 triliun pada 2019. Ia menggarisbawahi anggaran belanja bansos yang sangat besar itu terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir.
Yusuf menuturkan anggaran belanja Bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun. Angka ini jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019. Dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Mitigasi Risiko Pangan, maka anggaran belanja Bansos 2024 yang Rp 152,3 triliun masih akan bertambah Rp 11,25 triliun.
Namun lonjakan cakupan dan besaran Bansos seperti PKH dan BPNT ini, menurut Yusuf, bukan indikasi besarnya komitmen pemerintah menanggulangi kemiskinan. Dia menilai kebijakan ini memiiki motif kepentingan elektoral karena volume Bansos yang besar dan berkelanjutan rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik pragmatis jangka-pendek.
“Bansos menjadi arena perburuan rente ekonomi sekaligus mendapatkan simpati publik untuk kepentingan elektoral penguasa,” ucap Yusuf.
Tercatat anggaran perlindungan sosial (Perlinsos) juga meningkat signifikan pada masa pandemi. Jumlahnya dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020. Angka ini tumbuh 61,5 persen. Namun setelahnya anjlok, turun sebesar 6 persen pada 2021, lalu kembali turun 1,6 persen pada 2022, Angkanya juga diproyeksikan turun 4,7 persen pada 2023.
Meski begitu, anggaran Perlinsos melesat pada saat menjelang Pemilu 2024. Anggaran dari sebesar Rp 439 triliun pada 2023, naik menjadi Rp 494 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. “Angkanya tumbuh 12,4 persen. Ini adalah fenomena electoral budget cycle (siklus anggaran Pemilu),” kata Yusuf.
Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1833790/terkini-bisnis-alternatif-akses-menuju-stasiun-kereta-cepat-halim-jokowi-resmi-buka-iims-2024?tracking_page_direct