TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai ada aspek yang lebih penting dalam mengerek penerimaan pajak negara, alih-alih memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan menjadi Badan Penerimaan Negara sebagaimana yang diusung calon presiden Prabowo Subianto. Prabowo dalam kampanyenya ingin memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan agar rasio penerimaan pajak negara lebih besar.
“Kita mengapresiasi jika Capres memiliki rencana reformasi perpajakan,” tuturnya kepada Tempo, dikutip pada Rabu, 21 Februari 2024.
Alih-alih merombak struktur kelembagaan, reformasi perpajakan yang jauh lebih penting kata Yusuf adalah meningkatkan basis perpajakan dari kelompok terkaya dan menutup kebocoran pajak akibat rendahnya integritas pegawai pajak. Reformasi ini tidak bergantung pada pemisahan Ditjen Pajak dan membentuknya menjadi lembaga baru sebagai Badan Penerimaan Negara yang langsung dibawah Presiden. Akan tetapi, lebih banyak bergantung pada kemauan dan keberanian politik Presiden.
“Menjadi tidak berguna pembentukan lembaga baru jika tidak didukung oleh dukungan politik Presiden agar pegawai pajak bisa menjangkau kelompok terkaya yang selama ini undertax.”
Selain itu, langkah reformasi berikutnya menurut Yusuf adalah dengan meningkatkan optimalisasi penerimaan perpajakan dari kelompok terkaya yang selama ini masih undertax. Dia mengatakan, kekayaan kelompok terkaya yang selama ini undertax terutama pada sektor properti, sektor otomotif dan sektor pertambangan.
“Sektor real estate dan otomotif sejak lama menjadi pilihan orang kaya untuk menyembunyikan kekayaan dengan memanipulasi harga properti dan kendaraan, transaksi yang tidak dideklarasikan hingga penggunaan identitas palsu dalam transaksi,” kata Yusuf.
Sementara itu, sektor pertambangan banyak menerima insentif perpajakan seperti program hilirisasi nikel, serta banyak terjadi praktik pengalihan keuntungan, hingga pertambangan dan ekspor ilegal.
Reformasi berikutnya menurut Yusuf, adalah menutup kebocoran pajak yang berasal dari kelemahan pegawai pajak itu sendiri. Perbaikan sumber daya manusia (SDM) perpajakan seharusnya tak hanya terfokus pada kenaikan tunjangan kinerja pegawai pajak yang sangat tinggi. Namun, juga perlu diiringi dengan perbaikan integritas dan akuntabilitas pegawai pajak.
“Reformasi SDM pajak terpenting adalah dengan pelaporan harta kekayaan yang diiringi dengan sanksi keras atas ketidakjujuran pelaporan dan penerapan asas pembuktian terbalik atas kekayaan pegawai pajak yang tidak wajar,” katanya.
Yusuf mengatakan, kinerja penerimaan perpajakan di era Presiden Joko Widodo terbilang rendah. Penerimaan perpajakan Indonesia dalam satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal itu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kapasitas fiskal terendah, tidak hanya di kawasan, bahkan juga di dunia.
Rata-rata rasio pajak negara-negara di Asia Tenggara telah melampaui 15 persen dari PDB. Bahkan, rata-rata rasio pajak negara maju telah berada di atas 30 persen dari PDB. Dalam komparasi internasional, rasio pajak Indonesia yang di kisaran 10 persen dari PDB ini setara dengan negara seperti Uganda, Bangladesh dan Nigeria.
Terlepas dari berbagai kebijakan reformasi perpajakan yang digulirkan selama era pemerintahan Presiden Jokowi, kinerja penerimaan perpajakan Indonesia menurut Yusuf tidak banyak berubah. Seperti misalnya tax amnesty dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta pengembangan core tax system.
“Tax ratio 2023 sebesar 10,23 persen dari PDB ini bahkan masih lebih rendah dari tax ratio di awal Presiden Jokowi pada 2015 yang 10,76 persen dari PDB. Jadi, kita tidak melihat adanya kenaikan kinerja fiskal pasca reformasi perpajakan,” ujar Yusuf.
Dalam upaya meningkatkan kinerja fiskal, kata dia, hal paling mendasar adalah memastikan bahwa kenaikan penerimaan perpajakan adalah hasil nyata dari reformasi. Hal ini berkat keberhasilan menutup kebocoran pajak dan meningkatkan penerimaan pajak dari mereka yang selama ini undertax, bukan karena aggressive tax collection, mengejar wajib pajak yang selama ini sudah patuh membayar pajak.
“Berburu di kebun binatang itu namanya,” kata dia.
Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1836089/prabowo-ingin-bentuk-badan-penerimaan-negara-ekonom-lebih-penting-kemauan-presiden-pajaki-orang-kaya